Ibu Palestina: Nyanyian Gaza yang Tak Padam

Saya sudah pernah menulis puisi “Ibu Palestina” yang diposting tanggal 11 Januari 2010 di blog ini. Silakan klik link berikut untuk membaca: Ibu Palestina. Maka puisi kali ini adalah lanjutannya, atau versi terbarunya. Selamat membaca!



Sejak kecil, Kakekku bercerita

Tentang Palestina, tanah impianku yang abadi.

Ayahku mengenang pantai Gaza, riuhnya pasar,

Wangi laut yang memeluk setiap sudut ingatan.

Mereka bilang, di sini, damai pernah bersemayam,

Muslim, Kristen, Yahudi, bernapas dalam satu irama.

Tapi aku? Aku tak pernah mencicipi damai itu.

Aku hanya kenal Gaza, benteng yang terkepung.

 

Kini, aku seorang ibu.

Matahari membakar,

Langit memerah.

Asap membumbung,

Aku bersandar di antara puing-puing

Menantang lapar, menantang haus,

Menengadah menantang matahari,

Tanpa takut, tanpa cemas,

Karena aku, ibu para mujahidin.

 

Setiap fajar, aku melihat reruntuhan.

Bau mesiu, tangis yang tak putus.

Namun, aku berbisik pada buah hatiku, di tengah debu:

"Bangun! Bangunlah anakku,

Lihat, keadilan kita telah datang.

Lari! Kejarlah mereka, penindas durjana,

Dengan tubuhmu, batumu, dengan aumanmu,

ALLAHU AKBAR!

Biar mereka tahu, ”Palestina negeri para singa!"

 

Aku melihat, melalui celah puing-puing,

Anjing-anjing itu ketakutan,

Bersembunyi di balik sarang-sarang besi mereka.

Berteriak melolong, mencari perlindungan dari kawanan mereka.

 

Si licik berkumpul,

Jumlah mereka, alangkah banyaknya!

Tapi hanya berani pada ibumu, dan anak-anak kecil,

Lihat gaya mereka datang,

Terbang dari langit, merangkak di tanah,

Dengan tipu daya dan kebiadaban,

Kecanggihan tanpa sehelai pun prikemanusiaan.

 

Mereka hancurkan rumah kami, yang dibangun dengan darah dan cinta.

Mereka bakar kebun zaitun, warisan para leluhur.

Anakku bertanya, "Ibu, mengapa kita kelaparan?"

Aku hanya bisa memeluknya erat, menunjuk ke langit yang mulai gelap,

Mengingat Ayahku, Kakekku, semua yang telah tiada.

Sejak Oktober dua ribu dua puluh tiga,

Hingga kini, di pertengahan dua ribu dua puluh lima,

Gaza adalah luka menganga, dunia adalah saksi bisu.

Namun, di tengah ratapan, ada janji yang tak pernah mati.

 

Karena singa-singa yang kelaparan, pantang patah arang!

Tunggu saja sampai kalian yang kami makan

Kami adalah keturunan para pemberani, pewaris kesabaran.

Tunggu saja,

Kami akan bangkit, dari setiap debu dan reruntuhan.

Keadilan akan tegak, dan tanah kami akan kembali bernafas.

Tunggu saja,

Sampai Gaza bernyanyi merdeka!


Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Ibnu Taimiyah dan Pengkhianatan: Sebuah Refleksi di Zaman Modern

Tulisan Baru

Arsip

Tampilkan selengkapnya