Ibnu Taimiyah dan Pengkhianatan: Sebuah Refleksi di Zaman Modern


 Imam Ibnu Taimiyah, seorang ulama besar abad ke-13, dikenal tegas dan tanpa kompromi dalam pandangannya terhadap kelompok-kelompok yang ia anggap menyimpang dari ajaran Islam. Dalam konteks invasi Mongol yang meluluhlantakkan dunia Islam, Ibnu Taimiyah secara terbuka menuduh Syi'ah Batiniyah dan Isma'iliyah sebagai pengkhianat.

Tuduhan ini muncul dari anggapan bahwa kelompok-kelompok tersebut memberikan dukungan, bahkan menjalin aliansi, dengan pasukan Mongol dalam menyerang kaum Muslimin. Bagi Ibnu Taimiyah, tindakan semacam itu adalah pengkhianatan terbesar terhadap umat Islam.



Sejarah yang Tak Dapat Dilupakan

Pandangan Ibnu Taimiyah tak bisa dilepaskan dari konteks sejarah yang penuh gejolak. Invasi Mongol kala itu bukan sekadar serangan militer, tetapi sebuah ancaman eksistensial terhadap peradaban Islam. Maka, setiap bentuk kolaborasi dengan musuh dianggap sebagai dosa besar yang mengancam persatuan umat.

Kelompok seperti Syi'ah Batiniyah dan Isma'iliyah, yang memiliki kekuatan politik di beberapa wilayah dan sering berkonflik dengan penguasa Sunni, dituduh memanfaatkan kekacauan politik demi kepentingan kelompoknya sendiri — bahkan jika itu berarti mengorbankan solidaritas umat.



Ibnu Taimiyah di Hadapan Realitas Kontemporer

Sekarang, mari kita bayangkan: Bagaimana jika Ibnu Taimiyah hidup di era kita saat ini?

Di zaman modern, kita justru menyaksikan beberapa negara mayoritas Sunni menjalin aliansi strategis dengan kekuatan asing seperti Amerika Serikat dan bahkan Israel — dua entitas yang kerap dianggap melawan kepentingan dunia Muslim.

Kolaborasi ini tak lagi sekadar wacana, tetapi hadir nyata dalam bentuk:

  • Kerjasama militer dan intelijen

  • Dukungan politik dan diplomasi

  • Aliansi ekonomi dan teknologi

Namun, aliansi-aliansi ini tak jarang justru memperpanjang konflik, memperbesar luka kemanusiaan, dan memecah solidaritas umat.



Pengkhianatan dalam Wajah Baru?

Jika dulu bantuan kepada pasukan Mongol disebut pengkhianatan, apakah dukungan strategis terhadap kekuatan asing yang berujung pada konflik internal Muslim juga bukan pengkhianatan dalam wajah baru?

Contoh konkret dapat kita lihat dari berbagai konflik di Timur Tengah, di mana intervensi asing — yang didukung oleh aliansi regional — menciptakan:

  • Gelombang pengungsian

  • Krisis kemanusiaan besar-besaran

  • Fragmentasi politik dan sosial antarumat Islam

Bagi Ibnu Taimiyah, yang dikenal teguh menjaga tauhid dan persatuan umat, kondisi ini bisa saja dianggap lebih tragis daripada sekadar kolaborasi politik biasa. Ia mungkin akan mengecam keras tindakan-tindakan yang melemahkan kekuatan internal umat dan menguntungkan musuh secara strategis.



Pertanyaan yang Menggantung: Di Mana Garis Pengkhianatan?

Refleksi atas pemikiran Ibnu Taimiyah ini mengantar kita pada satu pertanyaan besar:

Apakah yang dulu disebut pengkhianatan masih relevan untuk menilai dinamika geopolitik Muslim hari ini?

Beberapa pertanyaan lain ikut menggantung:

  • Apakah ancaman eksternal saat ini sama beratnya dengan Mongol di masa lalu?

  • Bisakah kolaborasi demi stabilitas atau keuntungan ekonomi dibenarkan, jika dampaknya adalah perpecahan dan penderitaan umat?

  • Apa makna loyalitas umat Islam dalam dunia global yang saling terhubung?


Penutup: Sebuah Arah untuk Perenungan

Kehadiran pemikiran Ibnu Taimiyah dalam diskursus modern mendorong kita untuk:

  • Mengkaji ulang makna pengkhianatan dan loyalitas secara kontekstual

  • Menimbang etika geopolitik dari kacamata solidaritas umat

  • Menegaskan kembali pentingnya persatuan dalam menghadapi ancaman global

Bukan untuk membeku di masa lalu, melainkan untuk menghidupkan semangat keberpihakan kepada umat, terutama di saat banyak kepentingan saling tarik-menarik atas nama diplomasi dan stabilitas.


🟠 Apakah kita sedang menjaga umat, atau justru menjualnya?
Sebuah pertanyaan yang mungkin akan terus menggantung di langit sejarah.

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Tulisan Baru

Arsip

Tampilkan selengkapnya