Bensin Ustaz vs. Gaji Guru: Ironi di Balik Mimbar dan Meja Belajar


Sebagai seorang ustaz yang jadwal ceramah Ramadan saya cukup padat, ada sebuah kontradiksi mencolok yang kian hari kian terasa aneh. Bukan karena lelah, tapi karena pemandangan yang terhampar di depan mata. Izinkan saya berbagi pengamatan ini, dan mari kita renungkan bersama.

Ketika "Bensin Ustaz" Lebih Mahal dari "Gaji Guru"

Di banyak daerah, termasuk di tempat saya di Bukittinggi, seorang ustaz yang mengisi ceramah singkat—hanya sekitar 30 hingga 40 menit—bisa menerima insentif minimal Rp200.000, bahkan ada yang mencapai Rp400.000. Materinya? Seringkali berupa konsep dasar yang diulang-ulang, kadang diselipi senda gurau agar jemaah tertawa.

"Hilang kantuk kita mendengar ceramah Ustaz ini, sakit perut karena ketawa," begitu pujian yang sering saya dengar. Miris? Ya, terkadang.

Namun, mari kita bandingkan dengan para guru. Mereka menghabiskan berjam-jam setiap hari, dari pagi hingga sore, di sekolah maupun universitas. Sebelum mengajar, mereka harus membaca, meneliti, dan menguasai materi kompleks agar bisa disajikan dengan mudah. Mereka bertanggung jawab penuh terhadap perkembangan intelektual, mental, dan spiritual murid.

Dengan segudang tugas dan tanggung jawab itu, apakah mereka mendapatkan upah yang setara? Sayangnya tidak. Mayoritas guru, terutama di tingkat dasar dan menengah, tidak mendapatkan Rp200.000 per hari. Bahkan, penghasilan bulanan mereka seringkali hanya berkisar antara Rp1,2 juta hingga Rp1,5 juta. Itu berarti kurang dari Rp50.000 per hari!

Guru: Tonggak Peradaban yang Terabaikan?

Fakta ini adalah cerminan nyata dari rendahnya perhatian masyarakat terhadap dunia pendidikan. Kita sering mengeluh dan mengkritik pemerintah tentang kurangnya perhatian di bidang ini. Namun, kita seolah lupa betapa rendahnya profesi guru di mata kita sendiri.

Padahal, tanpa guru, mustahil lahir para pemimpin hebat, pakar, dan ahli ilmu pengetahuan. Tanpa guru, peradaban tidak akan terbentuk, dan generasi emas hanyalah mimpi belaka. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa guru adalah tonggak peradaban.

Dakwah vs. Profesi: Sebuah Dilema Etika

Saya tidak mengatakan bahwa ceramah itu tidak penting. Ceramah dan kultum punya peran vital dalam membentuk kesalehan umum dan mengarahkan semangat keislaman. Itu sangat penting!

Namun, jika dibandingkan dengan pendidikan generasi muda—yang merupakan tumpuan harapan dan penerus perjuangan kita—prioritas seharusnya lebih diberikan kepada mereka. Lalu, mengapa "uang bensin ustaz" yang berdakwah jauh lebih besar dari "gaji guru" yang mengajar?

Ironisnya, berceramah bukanlah sebuah profesi utama, melainkan kewajiban dan tanggung jawab keilmuan seorang ustaz. Sementara itu, mengajar adalah sebuah profesi di mana seorang guru menggantungkan ekonomi keluarganya.

Maka, jangan heran jika kita melihat banyak guru dan orang berilmu yang akhirnya meninggalkan idealisme mereka, banting setir mencari jalan lain demi menghadapi realitas kehidupan yang semakin menghimpit.

Apa yang Salah, dan Apa yang Bisa Kita Lakukan?

Fenomena ini mengajak kita untuk bertanya: Apa sebenarnya yang salah dalam cara kita menghargai pendidikan dan para pendidiknya?

  • Menurut Anda, mengapa disparitas ini bisa terjadi di masyarakat kita?

  • Peran apa yang bisa kita ambil sebagai individu atau komunitas untuk meningkatkan penghargaan terhadap profesi guru?

Mari kita diskusikan. Karena pada akhirnya, masa depan bangsa ini sangat bergantung pada bagaimana kita memperlakukan mereka yang berdedikasi membentuk generasi penerus kita.

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Ibnu Taimiyah dan Pengkhianatan: Sebuah Refleksi di Zaman Modern

Tulisan Baru

Arsip

Tampilkan selengkapnya