Membongkar Tirai Tafsir: "Percaya untuk Memahami" atau "Percaya untuk Tetap Kuat"?
Sebuah ungkapan singkat dari Kitab Yesaya 7:9, "Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan mengerti," telah melintasi zaman, mengukir jejaknya dalam sejarah pemikiran, khususnya di Eropa Abad Pertengahan. Frasa ini, yang pada awalnya mungkin terdengar seperti undangan mendalam untuk merenungkan iman, justru menjadi senjata ampuh yang digunakan oleh otoritas Gereja.
Pada masa itu, interpretasinya cenderung dogmatis: "Percayalah saja, jangan bertanya, sebab jika tidak, kamu tidak akan pernah memahami." Dalam konteks ini, keimanan bukanlah sebuah perjalanan intelektual atau spiritual, melainkan sebuah kepatuhan tanpa syarat. Doktrin Gereja menjadi kebenaran mutlak yang tidak boleh dipertanyakan, selembar selubung tebal yang menutupi ruang untuk pemikiran kritis dan eksplorasi pribadi. Pemahaman dibekukan, dikondisikan pada penyerahan total terhadap dogma yang ada.
Namun, roda sejarah terus berputar. Setelah badai revolusi melanda Eropa, mengguncang fondasi kekuasaan gerejawi, sesuatu yang menarik terjadi pada ayat ini. Maknanya, seolah-olah, ikut bergeser. Ayat yang dulunya menjadi benteng doktrin, kini mengalami transformasi hermeneutika yang mencolok: "Jika kamu tidak percaya, kamu tidak akan kuat (kokoh)."
Pergeseran ini sangatlah signifikan. Dari "mengerti" menjadi "kuat", maknanya berubah dari sebuah keharusan intelektual menjadi penekanan pada ketahanan dan stabilitas. Jika pada Abad Pertengahan tujuannya adalah membungkam pertanyaan, kini fokusnya beralih pada pemeliharaan komunitas atau institusi.
Inilah ironi dan sekaligus tantangan besar dalam hermeneutika Kitab Suci. Bagaimana sebuah teks yang dianggap sebagai "Firman Tuhan" dapat begitu fleksibel, berubah dan disesuaikan sedemikian rupa dengan kepentingan zaman atau penguasa? Apakah ini menunjukkan kelenturan teks yang luar biasa, atau justru kerentanan terhadap manipulasi?
Peristiwa ini menjadi pengingat tajam akan bahaya interpretasi yang bias dan bagaimana kekuasaan dapat membentuk narasi keagamaan. Ketika Kitab Suci diubah "seenaknya saja sesuai kepentingan," integritas dan keaslian pesannya terancam. Ini bukan lagi tentang mencari kebenaran ilahi, melainkan tentang membenarkan agenda manusiawi.
Fenomena ini mengajak kita untuk selalu kritis dan reflektif dalam menafsirkan teks-teks sakral, tidak hanya dari Alkitab tetapi dari tradisi keagamaan mana pun. Kita perlu bertanya: Apakah interpretasi yang kita terima benar-benar berasal dari esensi teks itu sendiri, ataukah ia adalah cerminan dari kepentingan, kekuasaan, atau prasangka yang ada? Hanya dengan keberanian untuk bertanya, kita dapat berharap untuk memahami, tidak sekadar percaya buta, apalagi tunduk pada pemaksaan.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...