Melampaui Stigma: Menyingkap Murji'ah dan Salafisme dalam Cermin Teologi Politik Islam


Di balik hamparan sejarah pemikiran Islam yang kaya dan kompleks, kelompok Murji’ah sering muncul dalam narasi yang simplistis, bahkan tendensius. Mereka kerap dicap sebagai kelompok “penjilat kekuasaan” yang mengamankan singgasana Bani Umayyah dengan legitimasi agama. Namun, apakah label itu mencerminkan kenyataan secara utuh? Atau justru menutupi keragaman dan ketegangan internal yang sebenarnya mewarnai kelompok ini?

Sejarah mencatat bahwa Murji’ah tak sesederhana itu. Di satu sisi, mereka memang mendukung stabilitas politik dengan menunda penghakiman atas pelaku dosa besar—termasuk penguasa. Namun, di sisi lain, mereka juga pernah menjadi garda depan perlawanan terhadap rezim Umayyah yang korup dan eksploitatif. Inilah paradoks Murji’ah: di antara loyalitas dan perlawanan, antara stabilitas dan keadilan, antara penundaan teologis dan aksi radikal.

Irja': Akar Teologis dari Dualisme Politik

Konsep sentral Murji’ah adalah irja’ (الإرجاء)—sebuah penundaan atau penangguhan penghakiman atas iman seseorang sampai Allah sendiri yang menentukannya. Mereka meyakini bahwa iman adalah keyakinan dalam hati, tak terhapus oleh dosa. Sebaliknya, amal perbuatan tidak menjadi tolak ukur keimanan secara langsung. Ini bertentangan dengan Khawarij yang sangat ketat dalam mengaitkan dosa besar dengan kekufuran.

Namun menariknya, dari satu akar teologis ini, tumbuh dua cabang politik yang sangat berbeda:

  1. Murji’ah Pro-Kekuasaan: Cabang ini memanfaatkan irja’ untuk menjustifikasi ketaatan kepada penguasa, berapa pun bobroknya moral mereka. Ini sangat menguntungkan dinasti Umayyah yang kerap dituding menyimpang dari ajaran Islam. Dengan logika “iman tetap sah meski amal rusak,” penguasa dilindungi dari kritik keagamaan. Teologi ini menciptakan tameng ilahiah atas kekuasaan duniawi.

  2. Murji’ah Pembela Keadilan: Di sisi lain, muncul tokoh-tokoh Murji’ah yang memanfaatkan irja’ sebagai alat pembebasan sosial. Mereka menolak diskriminasi terhadap mualaf non-Arab yang masih diperas jizyah (pajak), padahal telah bersyahadat. Mereka menegaskan bahwa hanya Allah yang berhak menilai keimanan, bukan penguasa atau elit agama. Ini bukan hanya retorika teologis, tapi bentuk nyata dari perlawanan terhadap kolonialisme internal dan dominasi Arab-sentris dalam Islam awal.

Dengan kata lain, irja’ bisa menjadi senjata kekuasaan atau pedang keadilan—tergantung siapa yang mengangkatnya.



Dari Murji’ah ke Salafisme Istana: Warisan Lama dalam Kemasan Baru

Fenomena yang dikenal sebagai "Salafisme Istana" (Salafiyyat al-Balat) atau "Salafisme Penguasa" (Salafiyah Sulthaniyah) dalam dunia Islam kontemporer memperlihatkan bagaimana sejarah bisa berulang dalam bentuk yang mengejutkan. Ini adalah kelompok-kelompok yang mengaku mengikuti jejak Salaf (generasi awal Islam), namun praktiknya justru menyerap unsur-unsur dari dua kutub ekstrem masa lalu: Murji’ah dan Khawarij.

Unsur Murji’ah dalam Salafisme Istana

Seperti Murji’ah klasik yang mendewakan stabilitas dan menunda penghakiman atas penguasa, Salafisme Istana juga cenderung membungkam kritik terhadap rezim. Narasi taat pada ulil amri didorong hingga nyaris absolut, bahkan ketika penguasa menindas rakyat atau bersekutu dengan kekuatan asing yang anti-Islam. Kritik dianggap fitnah, demonstrasi dicap makar, dan oposisi dimaknai sebagai pemberontakan terhadap agama.

Ini adalah bentuk baru dari legitimasi politik atas nama agama—mirip seperti yang pernah terjadi pada era Umayyah, namun dengan bahasa yang lebih modern dan media yang lebih canggih.

Unsur Khawarij yang Tersembunyi

Ironisnya, meski mereka lunak terhadap penguasa, Salafisme Istana justru sangat keras terhadap sesama Muslim yang berbeda pandangan. Mereka mudah melabeli kelompok lain sebagai ahli bid’ah, sesat, atau menyimpang. Dakwah pun menjadi eksklusif, elitis, dan seringkali penuh penghakiman. Ini mencerminkan wajah Khawarij dalam bentuk baru: cepat mengkafirkan, menciptakan garis pemisah yang kaku dalam komunitas Islam, dan menolak perbedaan dalam masalah furu’ (cabang agama) sebagai seolah-olah persoalan ushul (pokok).

Dengan kata lain, Salafisme Istana adalah fusi paradoksal: mewarisi pembiaran politik ala Murji’ah sekaligus kerasnya sosial-keagamaan ala Khawarij.


Menembus Kabut Sejarah: Mewaspadai Reduksi Ideologi

Ketika kita menyederhanakan Murji’ah sebagai “penjilat kekuasaan,” kita gagal melihat dimensi pemberontakan sosial yang justru menjadi bagian penting dari sejarah mereka. Dan ketika kita mengagungkan Salafisme sebagai jalan murni generasi awal, tanpa menyadari keretakan internal dan penyimpangan politisnya, kita sedang mengulangi kesalahan yang sama: memakai label tanpa mengupas isi.

Sejarah pemikiran Islam tidak bisa dibaca secara hitam-putih. Ia penuh ironi, kontradiksi, dan dinamika yang mencerminkan perjuangan manusia dalam memahami Tuhan, kekuasaan, dan keadilan.

Penutup: Membaca Kembali Warisan, Menyusun Ulang Sikap

Kini, lebih dari sekadar nostalgia atas masa lalu, kajian tentang Murji’ah dan Salafisme Istana membuka ruang refleksi: apakah kita sedang mereproduksi model-model lama dalam bentuk yang lebih halus? Apakah kita sedang mengulang logika penundaan keadilan demi stabilitas semu?

Yang pasti, memahami Murji’ah bukan hanya tentang mengenang aliran yang nyaris terlupakan, tapi juga membuka mata terhadap wajah-wajah kontemporer dari teologi politik yang terus bertransformasi. Kita butuh keberanian untuk menembus kabut stigma, mengurai paradoks, dan menjawab tantangan zaman dengan integritas intelektual dan keberpihakan terhadap keadilan.





Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Ibnu Taimiyah dan Pengkhianatan: Sebuah Refleksi di Zaman Modern

Tulisan Baru

Arsip

Tampilkan selengkapnya