Apakah Perang Iran-Israel Nyata atau Pura-pura? Membedah Perang Proksi dan Perebutan Pengaruh di Timur Tengah



Timur Tengah, sebuah kawasan yang kaya sumber daya dan sarat sejarah, telah lama menjadi panggung bagi perebutan pengaruh geopolitik. Lebih dari sekadar konflik internal, banyak dinamika di wilayah ini dapat dipahami melalui lensa "perang proksi", di mana kekuatan-kekuatan besar bersaing melalui perantara lokal.

Sejarah modern kawasan ini, khususnya sejak paruh kedua abad ke-20, adalah cerminan kompleksitas aliansi yang berubah, kepentingan strategis, dan dampak tak terduga dari intervensi asing. Pertanyaan mendasar yang sering muncul, terutama belakangan ini, adalah: apakah konflik antara Iran dan Israel itu nyata atau hanya sandiwara? Untuk menjawabnya, kita perlu menelaah akar mula perang proksi di kawasan dan evolusinya.



1. Akar Perang Proksi: Dari Perang Dingin hingga Kebangkitan Iran

Untuk memahami lanskap proksi saat ini, kita harus mundur jauh ke belakang, bahkan sebelum konflik yang mendefinisikan kawasan pasca-Perang Dingin. Pada era Perang Dingin (1960-an hingga 1970-an), Timur Tengah menjadi arena persaingan antara dua adidaya global: Amerika Serikat dan Uni Soviet. Mesir dan beberapa negara Arab lainnya, misalnya, condong ke poros Uni Soviet, menerima bantuan militer dan ekonomi yang signifikan. Kehadiran Soviet ini bahkan mendorong dominasi partai-partai sosialis, seperti Partai Ba'ath di Irak dan Suriah, yang tetap setia pada ideologi tersebut. Di sisi lain, Israel menjadi proksi utama Amerika Serikat dan koalisi Barat, menandai awal dari aliansi strategis yang bertahan hingga kini.

Titik balik penting berikutnya adalah Perang Irak-Iran (1980–1988), juga dikenal sebagai Perang Teluk I. Konflik brutal ini sering disebut sebagai awal mula era perang proksi modern di kawasan. Setelah Revolusi Islam 1979, Iran yang baru dan revolusioner dianggap sebagai ancaman serius bagi stabilitas negara-negara Arab monarki dan kepentingan Barat. Dengan kekhawatiran akan penyebaran ideologi revolusioner Iran, Barat dan sebagian besar negara Arab, termasuk Arab Saudi, bersatu mendukung rezim Saddam Hussein di Irak untuk membendung pengaruh Iran. Dukungan ini termasuk pasokan senjata, bantuan finansial, dan intelijen, menjadikan Irak sebagai proksi Barat dan Arab dalam menghadapi Teheran.

Namun, aliansi ini terbukti rapuh. Hanya dua tahun setelah Perang Irak-Iran berakhir, Irak di bawah Saddam Hussein secara mengejutkan menginvasi Kuwait pada 1990, memicu Perang Teluk II (1990–1991). Tindakan ini membalikkan narasi sebelumnya; Irak yang tadinya sekutu kini menjadi agresor. Dalam situasi terdesak, negara-negara Arab, terutama Arab Saudi, meminta bantuan militer Amerika Serikat dan sekutunya. Sebagai imbalannya, AS diizinkan mendirikan pangkalan-pangkalan militer permanen di kawasan, khususnya di Arab Saudi. Sejak saat itu, banyak pengamat berpendapat bahwa negara-negara Teluk Arab secara efektif berada dalam "cengkraman Amerika Serikat", dengan keamanan mereka sangat bergantung pada Washington.



2. Jebakan Irak dan Kebangkitan Poros Perlawanan Iran

Pasca-Perang Teluk II, Irak di bawah Saddam Hussein dijebak dengan tuduhan memiliki senjata pemusnah massal (WMD) – sebuah klaim yang kemudian terbukti tidak berdasar. Propaganda ini membuka jalan bagi invasi di bawah pimpinan AS ke Irak pada 2003. Rezim Saddam digulingkan, pasukannya dilucuti, dan Saddam sendiri dieksekusi. Ironisnya, selama peristiwa ini, Iran yang sebelumnya menjadi musuh bebuyutan Irak, hanya mengamati dari jauh. Ada spekulasi bahwa Iran justru berharap rezim Saddam runtuh, yang pada akhirnya akan membuka jalan bagi kebangkitan kekuatan Syiah di Irak, yang memiliki mayoritas penduduk Syiah.

Keputusan AS yang salah langkah pasca-invasi semakin memperkuat Iran. Dengan membubarkan Partai Ba'ath (yang banyak diisi oleh kaum Sunni) dan tentara Irak, AS secara tidak sengaja menciptakan kekosongan kekuasaan dan memicu pemberontakan bersenjata. Banyak mantan tentara Irak dan loyalis Ba'athis bergabung dengan kelompok-kelompok perlawanan, yang dengan cerdik dimanfaatkan oleh Iran. Alih-alih menjadikan Irak bagian dari proksi Saudi-Amerika, invasi AS justru menghancurkan satu-satunya kekuatan Sunni yang bisa menjadi penyeimbang Iran di kawasan tersebut.

Iran tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka mulai membangun jaringan proksi yang kuat di seluruh wilayah, membentuk apa yang sering disebut sebagai "Poros Perlawanan" atau "Bulan Sabit Syiah" yang membentang dari Teheran. Proksi-proksi ini termasuk kelompok-kelompok bersenjata di Irak (seperti Kata'ib Hizbullah dan Brigade Badr), di Suriah (mendukung rezim Bashar al-Assad bersama Rusia dan Hizbullah), di Lebanon (melalui Hizbullah yang kuat secara militer dan politik), dan di Yaman (melalui gerakan Houthi). Jaringan proksi ini menjadi tandingan langsung bagi pengaruh Arab Saudi dan Barat di kawasan.



3. Sektarianisme sebagai Alat Perang Proksi dan Kepentingan Amerika Serikat

Dalam menghadapi kebangkitan pengaruh Iran, Arab Saudi dan sekutunya secara licik mengubah perebutan pengaruh geopolitik ini menjadi konflik sektarian antara Sunni dan Syiah. Isu sektarian ini dieksploitasi untuk memobilisasi dukungan domestik dan regional, mengisolasi Iran, serta mendiskreditkan kelompok-kelompok proksi Iran yang seringkali memiliki basis Syiah. Contoh paling jelas adalah konflik di Yaman, yang sering digambarkan sebagai pertarungan antara koalisi pimpinan Saudi yang didominasi Sunni melawan Houthi yang didukung Iran (meskipun Houthi sendiri bermazhab Zaydi Syiah, yang berbeda dari mazhab mayoritas di Iran).

Bagi Amerika Serikat, kepentingan utama di Timur Tengah selalu berpusat pada pengamanan pasokan minyak global dan perlindungan Israel. Kehadiran pangkalan militer AS dan aliansi dengan negara-negara Teluk memastikan kedua kepentingan ini terjamin.

Dalam konteks ini, harapan akan kemerdekaan Palestina yang didukung oleh negara-negara Arab pro-Saudi menjadi tidak realistis. Ini karena hubungan yang semakin dekat antara beberapa negara Arab dan Israel (seperti yang terlihat dalam Abraham Accords), yang didorong oleh kepentingan bersama untuk menghadapi Iran, telah menggeser prioritas isu Palestina.

Adapun bantuan Iran kepada kelompok-kelompok Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam, seringkali diperdebatkan motifnya. Meskipun secara eksplisit dapat diartikan sebagai dukungan terhadap perjuangan Palestina dan Islam, tidak dapat dipungkiri bahwa hal itu juga berfungsi untuk menjaga dan memperluas pengaruh proksi Iran di wilayah tersebut. Dari sudut pandang Saudi dan sekutunya, kelompok-kelompok seperti Hamas dan Houthi dicap sebagai "teroris" karena ketidakpatuhan mereka terhadap Riyadh dan aliansi mereka dengan Teheran, yang semakin memperjelas dimensi proksi dalam konflik regional.



4. Perang Iran-Israel: Bukan Sekadar Pura-pura

Mengingat sejarah panjang dan kompleks dari persaingan proksi ini, klaim bahwa konflik antara Iran dan Israel hanyalah "pura-pura" adalah pandangan yang sangat keliru. Kedua negara ini telah terlibat dalam apa yang disebut "perang bayangan" selama bertahun-tahun, yang melibatkan:

  • Serangan siber

  • Sabotase

  • Pembunuhan terhadap ilmuwan nuklir dan komandan militer

  • Serangan militer tidak langsung melalui proksi

Sebagai contoh, Israel seringkali menargetkan fasilitas nuklir dan militer Iran, serta konvoi senjata yang diduga ditujukan untuk Hizbullah di Suriah dan Lebanon. Iran, di sisi lain, mendukung kelompok-kelompok bersenjata yang secara langsung atau tidak langsung mengancam keamanan Israel, seperti Hamas, Jihad Islam, dan Hizbullah.

Eskalasi langsung, seperti serangan rudal dan drone yang terjadi baru-baru ini antara Iran dan Israel, menunjukkan bahwa ketegangan nyata, dan potensi konflik terbuka selalu ada. Meskipun ada kalanya kedua belah pihak menunjukkan menahan diri untuk menghindari perang skala penuh yang berpotensi menghancurkan, bukan berarti ancamannya tidak nyata. Serangan-serangan ini adalah manifestasi dari persaingan kekuatan yang mendalam, di mana masing-masing pihak berusaha untuk melemahkan lawan dan memajukan kepentingannya. Mengabaikan realitas ini berarti mengabaikan puluhan tahun intrik geopolitik dan persaingan yang mendalam di Timur Tengah.



Kesimpulan

Sejarah perang proksi di Timur Tengah adalah jalinan rumit dari kepentingan nasional, ideologi, dan intervensi kekuatan asing. Dari persaingan era Perang Dingin hingga kebangkitan "Poros Perlawanan" Iran, kawasan ini terus menjadi titik panas geopolitik.

Memahami dinamika proksi ini sangat penting untuk menganalisis konflik yang sedang berlangsung dan memprediksi arah masa depan di salah satu wilayah paling strategis di dunia. Alih-alih melihat konflik hanya sebagai masalah lokal atau sektarian, perspektif perang proksi mengungkapkan jaringan kekuatan dan pengaruh yang lebih luas yang membentuk nasib jutaan orang. Perang antara Iran dan Israel, meskipun sering kali dilakukan secara tidak langsung, adalah manifestasi nyata dari persaingan geopolitik yang mendalam ini, dan dampaknya jauh dari sekadar sandiwara.

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Ibnu Taimiyah dan Pengkhianatan: Sebuah Refleksi di Zaman Modern

Tulisan Baru

Arsip

Tampilkan selengkapnya