Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya


Gejolak di Timur Tengah tak henti menyita perhatian dunia, dengan Suriah seringkali menjadi episentrum dari tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan. Namun, di balik narasi permukaan tentang konflik sektarian Sunni-Syiah, terhampar permadani rumit perebutan pengaruh geopolitik yang melibatkan kekuatan regional dan global. Artikel ini akan mengupas tuntas dinamika tersembunyi di balik konflik Suriah, mengungkap peran aktor-aktor utama, dan menyoroti konsekuensi fatal bagi rakyat sipil serta perjuangan Palestina yang terlupakan.


Suriah: Arena Perang Proksi dan Komodifikasi Agama

Banyak pihak melayangkan tudingan langsung kepada Iran atas apa yang terjadi di Suriah. Namun, pandangan ini cenderung menyederhanakan kompleksitas konflik. Realitas yang lebih akurat menunjukkan bahwa Suriah telah menjadi medan perang proksi antara dua kekuatan regional dominan: Arab Saudi dan Iran. Sayangnya, polarisasi ini kemudian secara licik dibelokkan menjadi narasi perang sektarian antara Sunni dan Syiah, sebuah upaya untuk memobilisasi dukungan berbasis identitas dan mengaburkan agenda politik yang sesungguhnya.

Data menunjukkan bahwa korban jiwa dalam konflik Suriah tidak mengenal sekat aliran. Baik komunitas Sunni maupun Syiah sama-sama menanggung beban penderitaan yang tak terhingga. Menurut Syrian Observatory for Human Rights (SOHR), hingga awal tahun 2024, jumlah korban tewas dalam konflik Suriah diperkirakan telah melampaui angka 610.000 jiwa, dengan sebagian besar adalah warga sipil. Angka ini mencakup korban dari berbagai latar belakang agama dan etnis, menegaskan bahwa ini adalah bencana kemanusiaan universal, bukan sekadar konflik sektarian semata. Komodifikasi agama untuk tujuan politik telah menjadi taktik usang namun efektif dalam memecah belah dan menjustifikasi kekerasan.


Diktatorisme Arab: Akar Kekerasan yang Konsisten

Fokus seharusnya diletakkan pada akar masalah: rezim diktator Bashar al-Assad. Dengan tangan besi dan hati dingin, Assad telah menindas rakyatnya sendiri, memicu pemberontakan yang kemudian bertransformasi menjadi konflik multiautor. Kekejaman rezim Assad adalah fakta yang tak terbantahkan, dan ia harus memikul tanggung jawab terbesar atas kehancuran Suriah.

Faktanya, tipologi pemimpin-pemimpin Arab yang haus kekuasaan dan tak segan membantai rakyatnya sendiri bukanlah fenomena yang terisolasi di Suriah. Tragedi serupa telah berulang di berbagai belahan dunia Arab. Pembantaian Rab'ah di Mesir pada tahun 2013, di mana pasukan keamanan Mesir menewaskan ratusan demonstran pro-Mursi, adalah contoh nyata kekejaman negara terhadap warganya sendiri. Gelombang "Arab Spring" yang seharusnya membawa harapan demokratisasi, seringkali justru berujung pada kudeta dan pertumpahan darah. Sebut saja apa yang terjadi di Libya, Yaman, Lebanon, dan Sudan. Yang lebih tragis, kudeta dan kekerasan ini seringkali didukung dan didanai oleh negara-negara yang mengklaim diri sebagai pelindung kaum Sunni, menunjukkan bahwa stabilitas politik dan kontrol kekuasaan seringkali lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat. Laporan dari organisasi HAM internasional seperti Amnesty International dan Human Rights Watch secara konsisten mendokumentasikan ribuan tahanan politik, termasuk ulama dan aktivis, yang mendekam di penjara-penjara Mesir dan Arab Saudi, membuktikan pola penindasan yang sistematis.


Dua Kutub Proksi: Dominasi Vs. Perlawanan

Penting untuk menganalisis secara mendalam perbedaan fundamental antara proksi Arab Saudi dan proksi Iran dalam peta geopolitik Timur Tengah. Keduanya memiliki misi dan agenda yang sangat kontras:


1. Proksi Arab Saudi dan Sekutunya (Pro-Barat):

Proksi ini, yang seringkali mendapatkan dukungan besar dari Amerika Serikat dan Israel, beroperasi dengan misi dominasi regional yang selaras dengan kepentingan Barat. Pembangunan pangkalan militer Amerika di berbagai titik strategis di Timur Tengah (misalnya, Pangkalan Udara Prince Sultan di Arab Saudi, Al Udeid di Qatar, dan Pangkalan Angkatan Laut AS di Bahrain) serta masifnya pembelian persenjataan dan alat perang dari Amerika Serikat (misalnya, paket penjualan senjata AS senilai miliaran dolar ke Arab Saudi termasuk jet tempur F-15, rudal Patriot, dan sistem pertahanan rudal THAAD) menunjukkan ketergantungan keamanan mereka pada pihak asing. Tujuan akhir yang dapat diidentifikasi adalah penguasaan penuh atas wilayah Arab, yang secara implisit mendukung agenda pembentukan "Israel Raya" dan memastikan dominasi Israel di kawasan.


2. Proksi Iran (Poros Perlawanan):

Sebaliknya, proksi Iran, seperti Hizbullah di Lebanon dan Houthi di Yaman, secara konsisten berupaya menekan keleluasaan Israel di kawasan. Mereka memposisikan diri sebagai bagian dari "poros perlawanan" terhadap dominasi Barat dan Israel. Dalam kasus Suriah, Iran secara pragmatis mempertahankan dukungan terhadap rezim Bashar al-Assad, terlepas dari sifat brutal rezim tersebut. Ini bukan semata-mata dukungan ideologis, melainkan kalkulasi strategis. Rezim Assad berfungsi sebagai poros penting dalam "segitiga" yang secara geografis mengepung dan memberikan tekanan kepada Israel, yang dianggap sebagai representasi dominasi Amerika di kawasan. Ini adalah pilihan pahit bagi Iran, namun dipandang sebagai keharusan geopolitik.


Tragedi "Arab Spring" dan Peran Kekuatan Eksternal

Para proksi Saudi, dengan bantuan dan dorongan dari Amerika Serikat, melihat gejolak "Arab Spring" sebagai kesempatan emas untuk menggulingkan rezim Assad yang zalim. Mereka tidak segan memasok senjata, bahkan terlibat langsung dalam memicu dan memperparah perang berdarah. Siapa yang paling dirugikan dari semua ini? Tidak lain adalah umat Islam, baik Sunni maupun Syiah, yang menjadi korban tak berdosa dari permainan kekuasaan ini. Estimasi dari berbagai lembaga internasional menunjukkan bahwa konflik di Suriah saja telah menyebabkan lebih dari 13 juta orang mengungsi, baik internal maupun ke luar negeri, menciptakan krisis pengungsi terbesar dalam sejarah modern.


Palestina: Korban Ganda dan Ujian Loyalitas

Di tengah hiruk pikuk perang proksi dan perebutan pengaruh, nasib rakyat Palestina sebagai bangsa terjajah seolah terlupakan. Dua kutub proksi ini terlalu sibuk beradu taring sesamanya, mengabaikan penderitaan saudara-saudara mereka di Palestina.

Jika harus memilih, Palestina secara historis dan strategis cenderung lebih berpihak kepada Iran. Proksi Saudi, dengan dukungan Amerika dan Israel di belakangnya, secara terang-terangan tidak menginginkan kemerdekaan Palestina yang sesungguhnya. Mereka terus menghimpit rakyat Palestina dengan blokade (terutama di Gaza), pembangunan tembok apartheid, dan bahkan mencap gerakan perjuangan Palestina seperti Hamas dan Jihad Islam sebagai teroris. Sebaliknya, Iran secara konsisten memberikan dukungan nyata, termasuk pasokan persenjataan, kepada para pejuang Palestina. Hubungan Hamas dengan Iran telah menjadi rahasia umum, dengan laporan intelijen dan analisis militer secara rutin menyebutkan Iran sebagai pemasok utama roket, rudal anti-tank, dan teknologi drone untuk kelompok-kelompok perlawanan Palestina. Oleh karena itu, adalah hal yang logis jika Hamas menjalin hubungan yang erat dengan Iran.


Ketika Tabir Terungkap: Melawan Narasi Sektarian Usang

Kini, ketika ketegangan antara Iran dan Israel semakin terbuka, para "pecundang" yang mencoba mengaburkan isu kembali mengangkat narasi sektarian lama. Mereka mencoba mendiskreditkan dukungan terhadap Palestina dengan berdalih: "Iran dan Syiah bukan Islam, tangan mereka berlumuran darah Muslimin Suriah!" Ini adalah upaya pengecut untuk mengalihkan perhatian dari isu yang lebih besar: pembelaan terhadap Palestina.

Wahai para pengecut, nasib Muslimin Palestina dipertaruhkan di sini! Jutaan orang hidup dalam penjajahan, di bawah ancaman penggusuran, pembunuhan, dan blokade yang kejam. Dalam situasi genting seperti ini, masihkah kita sibuk membahas kaji lama tentang Sunni-Syiah? Ini adalah saatnya untuk melampaui sekat-sekat sektarian, menyatukan barisan demi tujuan yang lebih mulia: kemerdekaan dan keadilan bagi Palestina. Fokus harus kembali pada akar masalah, yaitu penjajahan dan penindasan, bukan pada perbedaan internal umat yang dimanfaatkan oleh pihak-pihak berkepentingan.

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Ibnu Taimiyah dan Pengkhianatan: Sebuah Refleksi di Zaman Modern

Tulisan Baru

Arsip

Tampilkan selengkapnya