Dari Tenda yang Sobek, Kami Menjaga Palestina Tetap Hidup: Kisah Seorang Ibu dari Gaza
Aku seorang ibu. Dan saat ini, aku tinggal di tenda pengungsian. Tak ada kasur empuk atau atap kokoh, hanya selembar terpal penuh tambalan, tempat aku mencoba menyembunyikan anak-anakku dari dunia yang terus menghancurkan kami. Tenda ini bukan rumah. Tapi di sinilah aku memasak, menenangkan tangis, menyusui harapan, dan menyimpan kisah-kisah yang tidak boleh hilang.
Kisah seperti yang dulu Kakek ceritakan, dengan mata yang berkaca. Ia selalu bicara tentang Palestina—bukan sekadar tanah, tapi rumah bersama bagi Muslim, Kristen, dan Yahudi, tempat tiga keyakinan dan tiga budaya dulu hidup berdampingan dalam satu rasa kemanusiaan. Ia bilang, suara lonceng gereja dan azan pernah bersahutan, pasar-pasar penuh tawa, dan pintu-pintu rumah terbuka untuk siapa saja. Palestina, bagi Kakek, adalah taman yang dirawat oleh perbedaan.
Tapi aku tak pernah sempat mencium harum damai itu. Sejak kecil, aku mengenal Zionisme bukan dari buku pelajaran, tapi dari kenyataan pahit: blokade di perbatasan, tembakan dari menara penjaga, tank-tank di ujung jalan. Ayahku, yang dibesarkan di pengungsian, sering bertanya dalam getir, “Kenapa penderitaan mereka di Eropa kini menjadi hukuman bagi kita yang tak bersalah? Mengapa kami, yang tak pernah mengusir siapa pun, justru diusir dari rumah sendiri?”
Aku tak punya jawaban waktu itu. Bahkan hingga kini, jawaban itu belum datang. Yang aku tahu pasti: aku tak butuh kitab suci mana pun untuk tahu bahwa tanah ini adalah milik kami. Bukti kepemilikan kami bukan dokumen resmi, melainkan pasir yang melekat di telapak kaki anakku, pohon zaitun yang masih tegak di reruntuhan halaman rumah, dan cerita-cerita yang diturunkan dari lisan ke lisan. Palestina mengalir dalam darah kami, menempel di kulit kami, dan hidup dalam ingatan kami.
Kakekku dulu diusir pada 1948 saat desa kami dihancurkan dalam tragedi yang kami sebut Nakba—malapetaka. Ayahku dibesarkan di Gaza sebagai pengungsi. Lalu pada 1967, ketika aku masih dalam kandungan, tanah ini jatuh sepenuhnya ke tangan pendudukan. Sejak saat itu, Gaza bukan tempat tinggal, tapi penjara terbuka. Hidup kami ditentukan oleh izin militer. Air bersih menjadi langka, listrik hanya menyala beberapa jam, dan dunia seolah tidak pernah peduli.
Kini aku seorang ibu dengan tiga anak. Dan apa yang mereka lihat jauh lebih kejam dari apa yang aku alami. Sejak Oktober 2023 hingga pertengahan 2025, Gaza diubah menjadi kuburan hidup. Rumah sakit, sekolah, tempat ibadah, bahkan tenda-tenda seperti milik kami—diserang. Mereka menyebutnya “operasi militer,” tapi bagi kami, ini adalah pemusnahan perlahan.
Anakku yang sulung bertanya: “Ibu, mengapa kami dibunuh?” Dan aku menggigit bibirku, menahan tangis. Karena aku sendiri tak mengerti. Maka aku bertanya pada dunia: Mengapa kami harus membayar dosa yang tidak kami lakukan? Antisemitisme di Eropa bukan buatan kami. Tapi yang dibunuh hari ini di Gaza adalah anak-anakku—bukan mereka yang pernah menindas di masa lalu.
Di tengah semua ini, aku tidak punya ruang untuk marah terus-menerus. Aku harus hidup. Harus tetap kuat. Karena dari rahimku bukan hanya lahir anak-anak, tapi juga lahir perlawanan dan cinta yang tidak bisa dihancurkan oleh tank atau bom. Aku melihat ibu-ibu lain berbagi air terakhir mereka. Aku melihat anak-anak tetap bermain di antara puing. Di tengah tenda yang robek, kami masih menyulam kekuatan.
Dan ketika dunia sibuk menatap konflik antara Iran dan Israel, kami—yang berada di tengah reruntuhan ini—hanya bisa berharap. Bukan untuk lebih banyak perang, tapi agar dunia melihat siapa yang selama ini dibungkam. Kami ingin dunia sadar bahwa selama Palestina dijajah, tidak akan ada damai yang sejati.
Aku tahu, suara ibu-ibu seperti aku kadang tak terdengar di rapat-rapat diplomatik. Tapi kami tetap bersuara—dalam pelukan, dalam doa, dalam keheningan malam yang selalu dibasahi air mata.
Aku seorang ibu. Aku tak punya negara untuk membelaku, tapi aku punya cinta yang cukup untuk melindungi seluruh generasi. Aku tinggal di tenda, tapi hatiku tinggal di Palestina yang tak pernah hilang.
Kami tidak menyerah. Kami belum kalah. Dan selama kami masih bernapas, Palestina akan tetap hidup.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...