C A D A R

Dari tulisan sebelumnya telah jelas sikap dan pemahaman saya tentang hukum cadar. Maka di tulisan ini saya bermaksud memaparkan lebih jauh hukum bercadar agar kita bisa memahami dan mengambil sikap yang tepat terhadap persoalan ini. Namun terlebih dahulu saya minta maaf kepada teman2 yang bercadar atau yang berpendapat cadar itu sunnah. Ketahuilah saya menghormati kalian dan pilihan kalian. Tulisan ini tidak bermaksud menjelek2an orang yang bercadar seperti tulisan2 anti cadar lainnya. Disini saya hanya berupaya menghadirkan kajian ini dengan lebih ilmiyah agar kita sampai kepada pemahaman yang kuat.
Sejak lama saya berusaha menghindari tulisan2 yang mengarah kepada perdebatan tidak penting ini. Karena menurut saya sendiri cadar itu baik apalagi di zaman yang penuh fitnah ini. Jauh lebih baik dari pada mereka yang dengan gampang mempertontonkan aurat mereka. Jadi ketika saya mengatakan cadar itu budaya dan bukan sunnah bukan berarti saya mengatakan hal itu buruk atau lebih menyukai orang yang membuka aurat. Kesimpulan seperti itu bukanlah cara berpikir yang lurus karena tidak berhubungan sama sekali.
Faktor utama yang mendorong saya memulai tulisan ini adalah maraknya kampanye cadar yang salah kaprah sekarang ini. Kampanye cadar tidak lagi sekedar menunjukkan kebebasan seorang wanita muslimah dalam menentukan pilihannya, tapi sekarang seolah bercadar itu merupakan tuntutan dan ajaran Islam. Seolah dengan tidak bercadar tidak sempurna lah keimanan seorang muslimah. Hal ini selain berdampak buruk bagi pemahaman masyarakat dalam membedakan mana budaya dan mana agama, juga menimbulkan salah paham terhadap dakwah Islam. Mereka yang di luar Islam akan takut dan ragu2 untuk masuk Islam karena menyangka akan dipaksa bercadar setelah menjadi muslimah. Terlebih ketika cadar tidak sesuai dengan budaya setempat yang menyebabkan mereka akan menjadi makhluk terasing di daerahnya, sedangkan cadar sendiri bukan lah tuntunan Islam.
Untuk itu mari kita berdiskusi dalam beberapa poin tentang permasalahan ini.
1. Nabi Muhammad Saw tentu saja melihat banyak wajah perempuan di mesjid atau di pasar, lalu mengapa tidak ada satu pun riwayat yang mengatakan Nabi Saw menyuruh menutup wajah? Apakah mereka semua menutup wajah mereka begitu saja tanpa ada perintah Nabi Saw?
2. Jika wajah sudah tertutup lalu dari apakah kaum lelaki menjaga pandangannya seperti diperintahkan Allah dalam al Qur'an? Dari melihat punggung?
Menjaga pandangan itu dari melihat wajah, karena bisa saja ketika melihat wajah seorang wanita timbul ketertarikan. Maka jika tidak sengaja terlihat kita disuruh agar tidak mengulanginya sebagaimana disebutkan di dalam hadis.
3. Diriwayatkan oleh Jabir R.a dari Nabi Saw bahwa jika seseorang yang sudah menikah lalu bangkit nafsunya ketika melihat perempuan dengan tidak sengaja, hendaklah dia mendatangi istrinya.
Jika belum menikah hendaklah dia selalu menjaga diri sebagaimana firman Allah dalam surat al Nur: 23.
Kenapa tidak ada perintah agar semua wanita menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan telapak tangan, sehingga tidak mungkin lagi hal ini terjadi?
4. Dalam sebuah khutbah yang dihadiri oleh laki2 dan perempuan, Nabi Muhammad Saw berkata kepada kaum perempuan: "Bersedekah lah, karena sesungguhnya mayoritas kalian adalah bahan bakar jahannam." Lalu berkata seorang perempuan yang pipinya merah kehitam2an: "Kenapa kami bisa menjadi seperti yang anda sebutkan?" Rasul Saw bersabda: "Karena kalian banyak mengeluh dan tidak berterima kasih kepada suami."
Pertanyaannya, bagaimana si perawi hadis tahu kalau perempuan tersebut berpipi merah kehitam2an?
5. Sebagian orang berpendapat: Sesungguhnya perintah untuk membuka wajah hanya terdapat ketika haji atau shalat saja, maka kesimpulanya di luar itu harus ditutup.
Pertanyaan kami, apakah ketika Allah menyuruh kaum muslimin untuk membuka kepalanya ketika ihram bermakna Allah mewajibkan untuk menutup kepala di luar ihram? Tidak kan?
6. Diriwayatkan dari Sahl bin Saad R.a bahwa seorang perempuan datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: "Ya Rasulullah, aku menghibahkan diriku untuk engkau." Maka Rasulullah Saw memperhatikannya dari atas ke bawah, lalu menundukkan kepalanya tanpa menjawab. Ketika perempuan itu paham bahwa Nabi tidak menginginkannya maka dia kembali duduk.
Diriwayat lain dikatakan lalu salah seorang sahabat r.a mengkhitbah perempuan itu karena Nabi tidak menginginkannya, tapi dia tidak memiliki mahar. Lalu Nabi Saw menyuruhnya untuk mencari walaupun hanya sebuah cincin besi.
Pertanyaannya, kenapa Nabi Saw harus melihat perempuan itu dari atas ke bawah kalau memang dia bercadar?
7. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a bahwasanya ketika al Fadhl membonceng kepada Rasulullah Saw, seorang perempuan menemuinya untuk bertanya. Ketika itu al Fadhl melihat permpuan itu dan begitu juga sebaliknya. Maka Nabi Saw memalingkan wajah al Fadhl ke arah sebelahnya. Perempuan itu berkata: Sesungguhnya Allah telah mewajibkan haji kepada hambaNya, dan aku melihat ayahku telah tua dan tidak sanggup lagi berkendara, boleh kah aku menghajikannya (menggantikannya haji)? Nabi Saw berkata: "Ya..."
Apa yang dilihat al Fadhl kalau bukan wajah perempuan itu?
8. Diriwayatkan oleh A'isyah r.a, beliau berkata: "Dulu kaum wanita hadir bersama Nabi Saw ketika shalat subuh dengan membalut tubuh mereka hingga tertutup, kemudian mereka kembali ke rumah begitu selesai shalat. Mereka tidak dikenali karena gelap."
Artinya kalau keadaan tidak gelap lagi mereka bisa dikenal karena wajah mereka akan kelihatan.
9. Firman Allah ta'la dalam Surat al Nur: 31 perlu dipahami kembali. Allah berfirman :
و ليضربن بخمورهن على جيوبهن
Seandainya disini Allah menginginkan agar jilbab dijulurkan hingga menutupi wajah tentu Allah akan berfirman:
ليضربن بخمورهن على وجوههن
Perlu dijelaskan penutupan wajah disini kalau memang menutup wajah adalah tanda2 masyarakat Islami, dan kalau memang hal ini begitu urgent.
Masalahnya, ketika dihadapkan dengan kenyataan kaum perempuan malah membuat kain yang lain atau jilbab yang lain untuk menutup setengah ke bawah wajah mereka. Ini tidak sesuai dengan ayat yang menyuruh menutup wajah dg menjulurkan jilbab ke bawah. Sebab dengan begitu mereka akan kesulitan untuk melihat dan berjalan. Dari sini kita paham bahwa ayat tersebut tidak sedang bicara tentang menutup wajah.
Tidak terbantah bahwa wanita arab kadang menutup wajah mereka, dengan mata tetap tetap terbuka, pada zaman jahililiyah begitu pula zaman Islam. Hal ini adat bukan ibadat, karena tidak ada ibadat tanpa ada dalil dan nash.
10. Diriwayatkan juga seorang wanita bercadar yang dipanggil Ummu Khallad datang kepada Nabi Saw untuk bertanya tentang anaknya yang syahid dalam perang. Maka berkata para sahabat R.a kepadanya: "Bagaimana mungkin kamu datang untuk bertanya tentang anakmu sedangkan kamu bercadar? Maka berkata perempuan shaleh itu: Jika aku telah kehilangan anakku maka aku tidak kehilangan maluku..!!
Keanehan yang yang dirasakan para sahabat r.a ketika wanita tersebut menemui Nabi dengan bercadar bukti bahwa cadar bukan ibadah.
11. Riwayat lain tentang bolehnya menghias wajah juga menunjukkan hal ini. Diriwayatkan oleh Muslim bahwa Sabi'ah bintu al Harits baru saja kematian suami sedangkan dia dalam keadaan hamil. Setelah beberapa hari dia pun mulai menghias diri agar ada yang melamar. Ketika Abu Sanabil r.a salah seorang sahabat menemuinya dia berkata:" Kenapa engkau mempercantik diri seakan mau menikah? Demi Allah engkau tidak akan menikah kecuali setelah 4 bulan 10 hari."
Maka perempuan itu datang kepada Nabi Saw untuk mengadukan ini. Kemudian Nabi Saw berfatwa bahwa dia boleh menikah kapan saja setelah dia melahirkan kandungannya.
Pertanyaannya, bagaimana caranya Abu Sanabil bisa tahu kalau Sabi'ah berhias dan mempercantik diri kalau tidak dg melihat wajah dan tangan sedangkan dia bukan lah mahram dari wanita itu?
12. Bagaimana mungkin ukuran aurat berubah2, dan di luar ibadah malah menjadi lebih banyak? Selama tidak ada dalil nashnya maka pendapat ini tertolak.
Bagaimana pendapat para ahli fiqh empat mazhab dan ahli tafsir dalam masalah ini? Mari kita simak.
1. Abu Bakar al Jashshas, ulama bermazhab hanafi, berkata dalam tafsirnya berkenaan firman Allah dalam al Nur 31.
Para sahabat kami berpendapat bahwa yang dimaksud dari pengecualian yang ada di dalam ayat adalah wajah dan dua telapak tangan. Karena celak adalah hiasan wajah, sedangkan inai dan cincin adalah hiasan tangan. Jika dibolehkan melihat kepada perhiasan wajah dan tangan, maka boleh melihat wajah dan tangan.
2. Al Qurthubi, ulama bermazhab maliki, berkata: Karena biasanya wajah dan tangan itu tampak ketika ibadah (shalat dan haji) dan di luar ibadah, maka terang pengeculian dalam ayat (الا ما ظهر منها) maksudnya adalah wajah dan tangan.
3. Al Khazen, seorang ulama syafi'i, ketika menafsirkan pengeculian yang ada dalam ayat di atas berkata: "Menurut Sa'id bin Jabir, Dhahhak, dan Auza'i: wajah dan telapak tangan"
4. Ibnu Katsir, seorang ulama salafi, berkata: (Bisa jadi Ibnu Abbas dan mereka yang sependapat dengannya menafsirkan (ما ظهر منها) dengan wajah dan tangan. Dan jni pendapat yang masyhur menurut jumhur.
5. Ibnu Qudamah, ulama rujukan mazhab hambali, dalam al mughni berkata: "Perempuan semua tubuhnya aurat kecuali wajah, sedangkan telapak tangan ada dua riwayat."
6. Ibnu Jarir al Thabari dalam tafsir kabirnya berkata: "Pendapat yang paling dekat dengan kebenaran tentang pengecualian yang disebutkan adalah wajah dan telapak tangan, termasuk celak, cincin, gelang, dan inai tangan. Kami berpendapat bahwa ini pendapat terkuat karena karena ijma' bahwa seseorang wajib menutup auratnya ketika shalat. Seorang perempuan boleh memperlihatkan wajah dan dua telapak tangannya dalam shalat, dan harus menutup selain dari keduanya. Maka yang bukan aurat boleh untuk ditampakkan.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...