Agama dan Budaya

Masalah keagamaan sekarang ini, selain tidak bisa membedakan antara mana yang ushul mana yang furu' sehingga semua yang berbeda dipukul rata sesat, lebih parah dari itu tidak bisa membedakan mana agama mana budaya. Puncak dari keruwetan itu munculnya Islam Nusantara.
Sebuah sifat ketika dilekatkan kepada suatu benda tidak lain tidak bukan tujuannya adalah untuk membedakan benda tersebut dari sejenisnya. Orang Padang dan Orang Jawa dibedakan oleh sifat Jawa dan Padangnya sedangkan mereka sama2 orang. Begitu seterusnya untuk kayu manis dan kayu jati, ayam jantan dan ayam betina, dll. Sifat nusantara otomatis dimaksudkan untuk membedakan Islam yang mereka anut dari Islam yang lain.
Pemahaman 'berbeda' ini karena mereka menyangka Islam yang mereka anut memiliki amalan, konsep, dan prinsip berbeda dengan Islam lainnya. Mengapa bisa begitu? Karena mereka menyangka variabel 'pembeda' yang ada adalah bagian agama juga. Padahal variabel pembeda tersebut hanya lah budaya dan kesalahpahaman.
Variabel pertama tentang kebiasaan2 yang ada di masyarakat. Kebiasaan2 umat Islam di Indonesia walaupun berbau agama tetap saja merupakan suatu budaya. Budaya adalah budaya, tidak bisa naik tingkat menjadi agama walaupun dilakukan oleh semua orang. Sebab yang namanya agama itu telah sempurna, semuanya telah selesai diajarkan oleh Baginda Rasulullah Saw.
Variabel kedua tentang cara berkembangnya Islam di Indonesia. Pemahaman bahwa Islam disebarkan di tempat lain dengan pedang sedangkan di Indonesia dengan dagang dan damai adalah kekeliruan fatal. Semua tidak lain adalah pemahaman yang diwariskan penjajah belanda kepada kita yang dituliskan di buku2 sekolah. Apalagi maksudnya kalau tidak sekularisasi. Parahnya pemahaman ini diajarkan sejak sekolah dasar sehingga melekat di benak masyarakat kita.
Islam tidak pernah disebarkan dengan pedang dan paksaan. Keimanan seseorang tidak akan pernah diterima Allah kalau dia beriman dengan terpaksa. Kalau seseorang menyatakan beriman dengan mulutnya sedangkan hatinya tetap kafir maka dia adalah seorang munafik. Sama sekali bukan orang beriman. Mungkin kah peradaban Islam yang spektakuler itu dibangun oleh orang2 munafik?
Perang2 yang ada di dalam Islam tidak lain hanya dimaksudkan untuk pertahanan diri dari ancaman dan menjaga keberlangsungan dakwah ke seluruh alam. Hanya dua itu tujuannya. Ketika Islam melakukan futuhat ke Afrika, Persia, dan Eropa sama sekali tidak untuk menjajah dan memaksakan penduduknya masuk Islam. Islam hanya membebaskan penduduknya dari penjajah dan tirani yang ada disana, agar mereka bisa hidup selayak manusia, bebas dan merdeka menentukan dan menyatakan pilihan dan keinginannya. Islam adalah agama pertama yang menyatakan perang terhadap segala penindasan dan penjajahan dengan aksi nyata.
Sedangkan Indonesia saat itu tidak sedang dijajah oleh Imperium mana pun. Masyarakat Indonesia memiliki sistem dan pemerintahan sendiri. Mereka rakyat yang merdeka. Oleh sebab itu lah dakwah di Indonesia sama sekali tidak membutuhkan pedang.
Setiap budaya tidak bisa dilabeli dengan bid'ah. Karena bid'ah itu adalah menambahkan sesuatu kepada agama. Selama budaya tetap menjadi budaya maka tidak bisa dikatakan bid'ah. Seterusnya kita tinggal menilai mana budaya yang sesuai dengan ajaran Islam dan mana yang tidak. Yang sesuai dijaga dan dibiarkan, dan yang menyelisihi dihapuskan.
Masalahnya mereka yang membela budaya itu seakan sedang membela agama. Sehingga orang lain yang tidak mau mengikuti budaya mereka, dituduh wahabi yang sesat menyesatkan. Puncaknya muncul jargon Islam Nusantara yang seolah menjadi sebuah proklamasi bahwa budaya2 yang kami anut adalah agama kami, sehingga kami berbeda dari agama lainnya walaupun sama2 Islam. Kalau sudah begini mau dikatakan apalagi kalau bukan bid'ah? Budaya sudah dianggap agama.
Saya teringat suatu peristiwa lucu ketika menjadi petugas haji di Mekah. Di sebuah hotel serombongan jamaah tidak mau shalat berjamaah di mesjid yang berada di samping hotel. Mereka kukuh harus shalat di hotel bersama2. Ketika saya tanya mengapa tidak shalat di mesjid, jawaban mereka sungguh ajaib. "Disini semua mesjid wahabi," pungkas mereka. "Lho kenapa?" kata saya. Mereka jawab, "Disini tidak ada zikir, tahlil, dan doa bersama setelah shalat." Waktu itu saya hanya tersenyum kecut. Dalam hati saya berkata andai mereka ini ke Mesir pasti mesjid2 di Mesir semuanya juga wahabi menurut mereka. Budaya mereka di Indonesia mereka jadikan kleim sebagai ajaran agama yang benar sehingga mereka pede untuk berbeda dari seluruh umat Islam di dunia. Hebat kan? Padahal waktu itu ada beberapa orang yang dipanggil kiyai diantara mereka.
Di lain pihak banyak juga sekarang ajaran agama dianggap budaya. Penegakan hukum agama, menutup aurat, memakai jilbab, dan lain sebagainya dianggap budaya arab yang barbar dan diskriminasi perempuan. Syariat puasa mulai diremehkan, bahkan ibadah haji pun mulai ada yang meledek dengan tuduhan membawa kemiskinan saja. Saat ini pendangkalan agama telah sampai kepada rukun Islam itu sendiri. Kalau rukun ini habis maka habislah agama di tengah2 kita.
Sangat disayangkan ketika umat Islam dalam tekanan, kegalauan, dan kebimbangan begitu rupa akibat syubhat2 dari dalam dan dari luar, muncul pula masalah baru. Hal2 yang mana merupakan budaya Arab dibawa dan didakwahkan layaknya agama di tengah masyarakat yang asing dengan semua itu. Akibatnya keruwetan itu semakin bertambah2. Umat makin bingung mana agama mana budaya. Umat bingung membedakan mana budaya Indonesia, mana agama, dan mana budaya Arab.
Hal2 seperti jubah dan cadar letakkan porsinya sebagai budaya. Budaya seperti ini bisa cocok di suatu tempat tapi tidak cocok di tempat lain. Malah kalau budaya ini dianggap agama disitulah dinamakan bid'ah sebagaimana telah saya sebut di atas. Soal pakaian cingkrang merupakan khilaf ulama dalam memahami teks. Ada yang memahami secara zahir dan ada yang memahami dari maksudnya, dengan melihat kepada illah hukumnya. Perbedaan seperti ini biasa dan sudah terjadi sejak zaman Sahabat R.a, sebagaimana mereka berbeda dalam memahami perintah Nabi Saw untuk shalat asar di pemukiman bani quraizah. Alla kulli hal, agama jangan dilihat dari atribut seperti ini sehingga melupakan banyak hal besar yang mengancam agama. Bagi yang memakai silahkan, tapi jangan paksakan orang lain. Bagi yang tidak mau juga silahkan, tapi jangan larang2 orang lain. Ya sesimpel itu.
Inti dari semuanya, kita bisa membedakan agama dari budaya jika kita melihat sumber dari keduanya. Agama adalah ajaran yang bersumber dari al Qur'an dan Sunnah, sedangkan budaya adalah ajaran yang bersumber dari kebijakan lokal. Budaya yang baik atau yang buruk dilihat dari kesesuaian dengan al Qur'an dan Sunnah. Jika sesuai maka baik, jika bertentangan maka buruk. Budaya tidak menjadi bid'ah selama masih dianggap budaya. Tapi ketika agama dianggap budaya itu merupakan kesesatan dan penyesatan yang direncanakan oleh musuh2 Islam. Wallahua'lam
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...