Benarkah Al Azhar Mengajarkan Taqlid??
Dulu sewaktu saya masih di Strata Satu al Azhar seorang kawan pernah bersikeras bahwa manhaj al Azhar adalah TAQLID kepada satu mazhab. Saya terang tidak setuju dengan hal ini. Karena yang saya temukan di kuliah waktu itu lebih luas dari hanya taqlid yang sempit. Setiap diktat kuliah yang diketengahkan kampus selalu penuh dengan berbagai macam pendapat dengan berbagai macam cara pandang. Dalam pembahasan aqidah, tafsir, hadis dan fiqh. Dosen selalu mengajarkan bagaimana seharusnya kita menghadapi perbedaan2 ini dengan tetap menghormati setiap pendapat. Namun pada kesimpulan dosen selalu mengambil dan memilih pendapat yang paling kuat berdasarkan dalil yang ada tanpa melihat kepada mazhab.
Yang membuat saya heran, kawan ini bersikeras mengatakan bahwa itu bukanlah manhaj al Azhar yang sebenarnya. Menurutnya itu hanya ketika belajar fiqh muqaranah untuk mengajarkan bagaimana menjadi mujtahid. Sedangkan di luar itu kita harus taqlid. Dalam hati saya bertanya-tanya, al Azhar mengajarkan kita untuk berpikir seperti mujtahid tapi harus bersikap seperti muqallid? Mungkinkah apa yang diajarkan berbeda dengan yang diyakini?
Kebetulan kawan itu dari fakultas syari'ah, jadi menurutnya perbandingan antar mazhab dan memilih yang kuat hanya ketika pelajaran fiqh muqarnah. Tapi yang saya temukan di fakultas ushuluddin tempat saya belajar sungguh sangat berbeda, perbandingan pendapat ulama diketengahkan dalam setiap studi kuliah. Mungkinkah fakultas syari'ah berbeda dengan ushuluddin? Kalau memang benar, waktu itu saya bersyukur memilih ushuluddin. Kesimpulan saya waktu itu adalah mungkin hal ini hanya di tingkat S1. Mungkin kalau saya belajar lebih lanjut di al Azhar dan merasakan S2 nya saya akan menemukan persepsi yang berbeda. Karena tentu saja jenjang S2 adalah tingkat yang lebih serius.
Sekarang alhamdulillah saya telah bergabung dengan S2 al Azhar. Kalau dulu diktat kuliah adalah buku2 karangan dosen, sekarang kita langsung dibimbing untuk membaca kitab2 induk. Kitab pegangan jurusan tafsir saat ini adalah Ruhul Ma'ani karangan Imam al Alusi dan kitab Tahrir wa Tanwir karangan Imam Ibnu 'Asyur.
Pembahasan kita terfokus pada surat an Nur berkenaan dengan hukum zina dan qadzaf, dan surat al Mujadalah berkenaan dengan hukum dzihar. Kita baca dalam dua kitab tafsir besar tersebut pembahasan fiqh ternyata sangat luas. Semua pendapat mazhab dalam satu permasalah disebutkan oleh penulisnya. Tidak hanya mazhab yang empat, tapi semua mazhab yang pernah ada, bahkan khawarij, mu'tazilah dan syi'ah pun disebutkan. Ternyata sekte aqidah seperti khawarij dan mu'tazilah pun punya pandangan tersendiri dalam beberapa persoalan fiqh. Tidak hanya mengemukakan pendapat, bahkan segala i'tiradhat, bantahan dan jawaban dari setiap mazhab juga disebutkan. Kemudian penulis akan menyebutkan pendapat yang dipilihnya berdasarkan dalil yang paling kuat menurutnya. Sama sekali tidak terkesan bahwa Imam penulis kitab tersebut taqlid kepada sebuah mazhab.
Sewaktu membaca kitab itu bersama-sama dengan dosen, saya menunggu-nunggu ucapan beliau yang menyuruh untuk taqlid saja sesuai mazhab masing2 mahasiswa yang ada di ruang kuliah. Sepotong pun saya tidak pernah mendengar beliau mengatakan bahwa kalian ikut saja mazhab kalian yang tertulis disana, kalian tidak harus melihat kuat dan lemahnya, kalau mazhab kalian bukan yang dikuatkan oleh Imam penulis kitab maka kalian harus meninggalkan pendapat beliau. Saya tidak pernah menemukan ucapan2 khas ahli taqlid yang seperti itu dari mulut dosen saya.
Menurut saya agaknya para pejuang taqlid itu salah dalam memahami perbedaan dari bermazhab dengan taqlid kepada satu mazhab. Yang saya pahami dari bermazhab adalah bagaimana kita dididik untuk memahami suatu persoalan dengan kaidah2 yang ada pada mazhab tertentu. Karena tanpa mazhab kita tidak akan memiliki pegangan dalam memahami teks, setiap mazhab adalah ibarat sebuah madrasah yang memiliki metode dan undang2 tertentu yang berbeda dengan mazhab lainnya. Tapi bukan diajarkan untuk taqlid dan menerima saja pendapat yang sesuai dengan mazhab kita. Pendapat suatu mazhab belum tentu pendapat yang paling benar, karena toh kenyataannya dalam satu mazhab pun kadang berbeda2 ketika melihat sebuah permasalahan. Untuk kesimpulan ini saya menerima koreksi dari pembaca sekalian.
Para pejuang taqlid sering beralasan bahwa taqlid adalah bentuk penghormatan kita kepada ulama. Mereka adalah orang2 terpilih yang ilmunya jauh di atas kita. Ya benar, tapi apakah ulama itu hanya yang berasal dari mazhab kita? Apakah ketika menolak pendapat seorang ulama dan mengikut pendapat ulama yang lain itu berarti kita menghina dan merendahkannya? Bukankah setiap ulama tersebut mengatakan kalau kalian menemukan pendapat yang lebih kuat dan lebih dekat kepada dalil maka itu lah pendapat beliau? Semoga Allah selalu merahmati setiap ulama yang telah menyerahkan hidupnya untuk berkhidmah kepada agama ini. Amin....
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...