Membincang Bahaya Syi’ah; Rasionalisasi Doktrin Kontra Syi’ah
Pendahuluan
Nampaknya masyarakat kita harus
dihadapkan dengan kenyataan bahwa aliran syi’ah telah mulai menampakkan diri di
tengah- tengah komunitas sunni. Masyarakat yang belum paham apa itu sy’iah dan
bagaimana dampak dan bahayanya bagi kehidupan beragama, dibuat bingung dengan
banyaknya info atau isu yang bertebaran tentang aliran ini. Pro-kontra pun tak
dapat dihindari hingga bahkan terjadi diantara khalayak umum yang awam. Keadaan
ini bila dibiarkan berlarut-larut dikhawatirkan malah menimbulkan perpecahan
yang lebih besar bahkan di tengah-tengah komunitas sunni sendiri. Sudah menjadi
kaidah umum bahwa pepercahan akan mengantarkan kepada keruntuhan dan
kehancuran.
Persoalan syi’ah memang telah
menjadi polemik panjang umat Islam sejak berabad-abad yang lalu. Belum ada
penyelesaian yang disetujui bersama antara sunni dan syi’ah untuk menyelesaikan
persengketaan ini selain sedikit rambu-rambu yang ditanda-tangani para ulama
besar Islam dalam Risalah Amman Juli
2005. Hanya saja risalah ini terlihat sangat tidak mencukupi untuk
menyelesaikan masalah karena masih berbicara dalam lingkup ilmiah dan
himbauan-himbauan. Artinya permasalahan sunni syi’ah tidak cukup hanya dengan
kajian ilmiah seperti ini kafir atau bukan, boleh kah mentakfir, dan
semisalnya, dan begitu juga dengan himbauan saling memaafkan dan menyayangi.
Karena yang lebih besar dari itu adalah factor penyadaran dan pemahaman umat
terhadap masalah ini, yang semuanya berada dalam lingkup dakwah dan tarbiyah.
Mengapa begitu? Karena ketika
Risalah Amman yang berisi tentang rambu-rambu tidak boleh saling mengkafirkan,ternyata
hal ini malah membuka peluang lebih
besar penyebaran syi’ah di tengah-tengah komunitas sunni. Penyebaran ini sulit dibendung karena atas
dasar sama-sama benar dan sama-sama Islam sesuai dengan yang telah disepakati
pada Risalah Amman tadi. Mereka yang resah melihat kenyataan ini tidak
menemukan jalan lain selain mengibarkan kembali bendera takfir. Sikap ini
dipandang sebagai jalan yang paling mudah untuk menjauhkan umat sunni dari
pengaruh syi’ah. Terlebih lagi hal ini didukung oleh pergolakan sentiment antar
sekte yang kembali dipanaskan di Timur Tengah, yang padahal pada kenyataannya
hanyalah permainan politik para penguasa.
Untuk itu dalam tulisan singkat
ini penulis mencoba sedikit mengkaji aliran syi’ah dari sudut pandang
bahaya-bahayanya yang selalu menjadi sorotan ulama dan bagaimana seharusnya
umat Islam menyikapinya. Tulisan ini bertujuan agar penulis sendiri sebagai
muslim sunni memiliki sikap yang jelas terhadap syi’ah sebagai kelompok yang
berbeda.
Siapa itu Syi’ah?
Sebelum lebih jauh kita harus
tahu dulu siapa itu syi’ah. Para ulama telah mendefinisikan syi’ah dengan
definisi yang bermacam-macam sesuai dengan pemahaman, keyakinan, atau
kecendrungan masing-masing. Disini
penulis lebih memilih definisi yang disebutkan oleh Ibnu Hazm al Andalusi dalam
bukunya “al Fashl fi al milal wa al ahwa’ wa al nihal, juz” juz.
2, hal. 113. Beliau menyebutkan bahwa seorang dikatakan syi’ah apabila meyakini
bahwa Ali radhiyallahu ‘anhu adalah manusia terbaik setelah Nabi Muhammad
shallallahu’alaihi wa sallam, dan Ali adalah orang yang paling berhak memegang
tampuk kekhalifahan, kemudian diikuti oleh anak-anaknya. Menurut penulis
definisi ini lebih mencakup semua sekte-sekte yang ada di dalam syi’ah yang
juga memiliki pemahaman yang berbeda-beda. Diantara mereka ada yang hanya
menganggap Ali Ra lebih mulia dari sahabat yang lain, tapi ada pula yang ghuluw
(sangat berlebih-lebihan) hingga sampai ke tingkat menuhankan Ali Ra.
Asal Muasal Kelompok Syi’ah
Seperti hal nya definisi syi’ah,
para ulama juga memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang asal usul syi’ah.
Berikut saya sebutkan beberapa teori tentang asal usul syi’ah:
- Sejak awal mula dakwah Rasulullah Saw. Pendapat ini diusung oleh kelompok Syi’ah sendiri dengan dalil banyaknya hadis-hadis yang menyebutkan keutamaan Ali Ra dan kekhususan Ali Ra sebagai penerus untuk mengemban risalah Islam.
- Sejak muktamar saqifah. Salah satu pendukung pendapat ini adalah Ibnu Khaldun yang berpendapat bahwa kelompok syi’ah mulai terbentuk ketika adanya perdebatan sengit antara para sahabat setelah wafatnya Rasulullah Saw tentang siapa yang paling berhak memegang tampuk kekhalifahan.
- Sejak terbunuhnya Utsman bin Affan Ra. Salah satu pendukung pendapat ini adalah Ibnu Hazm al Andalusi. Menurut pendapat ini umat Islam terpecah ketika memandang kasus terbunuhnya Khalifah Utsman. Sebagian menuntut agar kasus berdarah ini harus segera diselesaikan sebelum urusan-urusan yang lain, karena darah seorang muslim adalah perkara yang sangat besar bagi umat Islam, apalagi ini adalah darah pemimpin tertinggi umat. Ini adalah aspirasi dari kelompok atau partai Mu’awiyah Ra. Sebagian lagi berpendapat keamanan dan ketenangan negara harus lebih dahulu diutamakan di atas yang lainnya. Dan ini aspirasi dari kelompok atau partai Ali Ra. Kelompok dan partai disebut syi’ah dalam bahasa Arab.
- Sejak perang jamal. Ini menurut Ibnu Nadim yang berpendapat bahwa syi’ah adalah para pengikut Ali Ra yang ikut memerangi pemberontakan Thalhah dan Zubair radhiyallahu ‘anhuma. (Lihat di al Fihrisat Ibnu Nadim, hal. 249)
- Sejak munculnya khawarij pada perang shiffin. Setelah kelompok khawarij memisahkan diri dari barisan Ali Ra. maka mereka yang tetap setia mendukung Ali Ra. dinamakan syi’ah. (Lihat William Montgomery Watt, Islam and Integration of Society, London-1941, hal. 104)
- Sejak terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhu. (Kamil Musthafa al Syiby, Al Shilah baina al tashawwuf wa al tasyayyu’, hal. 23)
- Pengaruh aqidah dan pemahaman Persia kuno.
- Bid’ah yang disebarkan oleh Abdullah bin Saba’. (Abu al Husain al Malthy, Al Tanbih Wa al Radd ‘Ala Ahli al Ahwa’ Wal Bida’, hal. 25)
Dari sekian banyak teori tentang
asal usul syi’ah, yang pasti bagi siapa saja yang membaca sejarah akan paham
bahwa syi’ah pada mulanya hanya lah sebentuk gerakan politik untuk mencapai
kekuasaan. Pada saat itu belum dikenal perbedaan-perbedaan aqidah dan mazhab
fiqh antara sunni dan syi’ah, semua sama. Bahkan para tokoh utama yang dianggap
syi’ah sebagai Imam-Imam syi’ah yang pertama, adalah para ulama yang diakui
semua umat Islam dan tidak didengar dari mereka pertentangan akidah dengan
pendahulunya, para sahabat dan tabi’in. Dari sini kita simpulkan bahwa
penyimpangan dan penyelewengan yang dilakukan syi’ah adalah hasil kreasi
pengikutnya belakangan. Kemudian kesimpulan yang juga dapat kita tarik adalah
bahwa segala penyimpangan dan penyelewengan itu tidak bisa kita nisbatkan kepada
semua syi’ah berdasarkan kepada definisi dan asal muasal syi’ah yang telah kita
bahas.
Bahaya Syi’ah
Sedikitnya ada tiga sengketa
besar yang menyebabkan ajaran syi’ah saat ini sangat perlu diwaspadai. Tiga hal
ini akan selalu kita temukan ketika membaca studi-studi tentang syi’ah atau
diskusi tentang bahaya syi’ah. Kita akan mencoba mengkaji tiga hal ini satu per
satu dalam tulisan ini.
1. Mencela Sahabat Nabi Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in
Poin pertama yang paling
menyakiti kelompok sunni adalah persoalan mencaci dan mengkafirkan para Sahabat
Rasulullah Radhiyallahu ‘anhum. Berbagai bentuk penghinaan hingga pengkafiran
para Sahabat Ra terdapat di buku-buku induk ajaran syi’ah. Bahkan segala hinaan
dan pengkafiran tersebut mereka dasarkan kepada hadis dan riwayat yang mereka
nisbatkan kepada imam-imam mereka secara batil. Kemudian kata-kata dan pemikiran buruk ini
diposting dan disebarkan di berbagai situs internet, baik oleh mereka yang
ta’assub syi’ah maupun oleh lawan mereka kelompok salafi. Akhirnya kekacauan
dan keributan tidak dapat dihindarkan meluas ke khalayak umum, bahkan di tengah
masyarakat sunni yang sebelumnya tidak mengenal ajaran syi’ah. Akibatnya muncul
perdebatan baru yang kali ini bahkan lebih parah karena tidak didasarkan kepada
ilmu, tapi lebih kepada kampanye kebencian dengan situs-situs internet sebagai
rujukan. Kondisi umat yang seharusnya lebih memfokuskan pemikiran ke arah
kebangkitan menjadi teralihkan untuk memperuncing perpecahan dan permusuhan di
dalam tubuh umat sendiri. Siapa yang paling diuntungkan dengan kekacauan dan
kelemahan ini? Tidak lain tidak bukan adalah musuh-musuh Islam yang selalu
mencari-cari kesempatan untuk melenyapkan umat ini selenyap-lenyapnya.
Setidaknya walau tidak berganti aqidah paling kurang menjauhkan umat ini dari
ajaran agamanya dan sibuk dengan perdebatan sesamanya.
Hanya saja persoalan hinaan
kepada para sahabat Rasulullah Saw benar-benar bukan persoalan ringan. Yang
mendapat mudarat dan kerusakan darinya bukan lah para Sahabat itu sendiri yang
telah tenang bersama Rasulullah Saw, tapi kita sebagai umat yang mengikuti dan
mengambil agama ini dari mereka. Dalam artian hinaan kepada para Sahabat
Rasullah Saw membawa kerusakan kepada agama itu sendiri. Kalau seandainya umat
ragu dengan akhlak, niat dan teladan para Sahabat Ra, lalu agama siapa yang
kita ikuti? Dengan itu hilang lah hadis-hadis, ajaran dan perintah-perintah
Rasulullah Saw. Maka tidak heran kalau banyak kita temukan
pernyataan-pernyataan keras para ulama terhadap mereka yang mencela para
Sahabat Rasulullah yang mulia.
Lalu bagaimana kita harus
menyikapi hal ini? Apakah dengan mengkafirkan setiap orang yang tergolong
kepada kelompok syi’ah dan mereka yang membelanya? Sudah yakin kah kita bahwa
setiap syi’ah ikut mencela Sahabat-sahabat Nabi Rasulullah Saw? Bukan kah
diantara mereka juga terdapat kalangan awam yang tidak mengerti apa-apa kecuali
terlahir di keluarga syi’ah dan lingkungan syi’ah? Bisa saja diantara mereka
ada yang sadar akan bahaya persoalan ini dan tidak ikut-ikutan. Tidak mesti
setiap ajaran syi’ah itu diyakini dan dilakukan oleh setiap orang dari
masyarakat syi’ah. Sebagaimana kita lihat sendiri tidak semua ajaran dari
firqah dan mazhab di kalangan sunni diyakini oleh pengikutnya. Coba perhatikan
kembali fatwa ulama-ulama besar yang mengkafirkan para penghina Sahabat Ra,
apakah mereka menyebut nama sebuah kelompok secara khusus atau memutlakkan
siapa saja yang melakukannya? Fatwa tersebut bisa saja mengenai kalangan sunni
sendiri apabila ikut-ikutan mencela salah seorang sahabat Rasulullah Saw,
misalnya kelompok liberal dari kalangan Sunni yang kadang kita temukan
terang-terngan meremehkan Abu Hurairah Ra karena terlalu bermudah-mudah
meriwayatkan hadis. Kesimpulannya kita tidak pernah bisa menggeneralisir untuk
menghukumi semua yang tergolong syi’ah dengan fatwa tersebut. Kalau lah kita
tidak bisa menggeneralisir Ahli Kitab dengan kekafiran sebagaimana firman Allah
dalam surat Ali Imran: 113 (Laisuu sawaa), lalu bagaimana dengan syi’ah yang
disaksikan sejarah sebagai bagian dari umat Islam?
2. Penyebaran Bid’ah Tasyayyu’
Poin kedua dari bahaya syi’ah
yang cukup meresahkan para ulama adalah adanya segudang bid’ah baru yang dibawa
oleh aliran syi’ah ke tengah-tengah masyarakat sunni. Bisa saja seorang yang
masih mengaku muslim sunni tapi tanpa disadarinya mulai berperilaku dan
mengamalkan ajaran-ajaran syi’ah.
Misalnya tradisi tabuik yang
cukup mengental di daerah Pariaman, Sumatra Barat. Tabuik sangat kental dengan
ritual keagamaan yang di anut Syi’ah, karena tujuan utama ritual ini adalah
untuk memperingati kematian Sayyidina Hasan dan Husein putra Ali bin Abi Thalib
atau cucu Rasulullah saw di Padang Karbala. Sayyidina Husein terbunuh dengan
kepala terpenggal dan jari putus di tangan pasukan Yazid bin Mu’awiyah pada 10
Muharram 61 H. Kematian ini menimbulkan duka yang mendalam bagi kaum muslimin
terutama di kalangan Syi’ah.
Contoh kedua adalah nikah mut’ah.
Berbeda dengan Tabuik yang dibiayai pemerintah, dan dijadikan
salah satu kekayaan budaya lokal, nikah mut’ah alias kawin
kontrak justru dirazia aparat setempat. Namun, meski sering dilakukan razia
berkala, keberadaan nikah mut’at alias kawin kontrak ini tetap
saja eksis bahkan kian subur. Ada yang mengatakan, pemerintah sendiri
tidak terlalu serius memberantas kemunkaran model ini, karena kedatangan
wisatawan berwajah Timur Tengah pelaku kawin kontrak menjadi salah satu
pendapatan daerah yang lumayan. Saat ini nikah mut’ah tak lebih dari upaya
pelegalan prostitusi dengan dalil syari’ah. Keadaan ini sungguh sangat
meresahkan masyarakat yang menginginkan kehormatan dan kedamaian. Nikah mut’ah
dapat merusak semua sendi-sendi kehidupan masyarakat dan menumbuh-suburkan
kemungkaran.
Kemungkaran dan bid’ah ajaran
syi’ah dapat dengan mudah menyebar melalui perantaraan ajaran sufiyah yang
cukup melekat di tengah kehidupan masyarakat sunni. Kedua ajaran ini, syi’ah
dan sufi, memiliki banyak persamaan mendasar, seperti klaim memiliki ilmu
khusus, imamah dan kewalian, dan konsep hululiyah dan wihdatul wujud. Mungkin
yang paling jelas dan banyak disaksikan adalah pengkultusan kuburan-kuburan
ahlu bait. Hal ini sangat meresahkan karena bisa membingungkan umat untuk memisahkan mana yang
ajaran sunni mana yang syi’ah sebelum memisahkan mana yang benar dan mana yang
salah.
3. Politik dan Kekuasaan
Poin ketiga yang hangat menjadi
perdebatan di dunia Islam adalah pertikaian politik dan keinginan untuk saling
menguasai. Bisa dibilang sejarah sunni-syi’ah adalah cerita berdarah bahkan
sampai saat ini. Yang paling dekat dengan kita sebutlah perang di Suriah dan Yaman.
Hal ini karena memang sejak mulanya firqah atau kelompok syi’ah adalah semacam
gerakan politik untuk merebut kekuasaan. Disini penulis ingin mengkaji secara
adil tanpa harus memihak kepada satu kelompok.
Kalau kita membaca sejarah,
kelompok syi’ah selalu menjadi kelompok oposisi dan dizalimi sejak periode Dinasty
Umawiyah dan Abbasiyah. Kelompok syi’ah
selalu dianggap sebagai kelompok yang mengancam keutuhan pemerintahan sunni.
Segala pemberontakan diredam dengan keras, pemimpin-pemimpinnya diburu dan
dijatuhi hukuman maksimal. Begitu lah aib politik pemerintahan Islam sejak dulu
hingga kini, selalu dihiasi persaingan antar kelompok keagamaan, bahkan ras dan
suku bangsa. Pemerintahan Islam tidak mengenal kelompok oposisi kecuali
menganggapnya pemberontak dan mesti diberantas. Padahal oposisi adalah pihak
yang dibutuhkan agar berjalannya pemerintahan yang berimbang.
Dendam antar kelompok semakin
mengakar karena terus saja menumpahkan darah. Hal ini menjadikan setiap
kelompok memanfaatkan kekuasaan jika berhasil diraihnya untuk membalaskan dendam
tersebut. Gerakan politik yang dipenuhi doktrin permusuhan antar kelompok ini
selalu menorehkan sejarah kelam dan kisah-kisah pengkhianatan.
Sebut saja misalnya riwayat yang
mengatakan bahwa kehancuran Dinasty Abbasiyah tak lepas dari peran syi’ah yang
membocorkan info-info penting kelemahan pasukan muslimin kepada sang aggressor
Hulago Khan. Mengapa mereka melakukan itu? Menurut penulis karena keadaan
mereka yang selalu terjepit dan tertindas, sehingga mereka mengira akan
mendapatkan posisi yang bagus setelah agresi selesai. Selain peran syi’ah tadi,
Dinasty Abbasiyah sebenarnya juga sudah lemah akibat perebutan kekuasaan antar Dinasty-dinasty
bawahannya yang berebut pengaruh atas dasar suku bangsa. Seperti Dinasty Buwaihy
dari bangsa Persia dan Dinasty Seljuk dari bangsa turki. Coba kita
bertanya-tanya mengapa mereka semua tidak bisa duduk satu meja sebagaimana
syura yang ada dalam ajaran Islam?
Kisah pahit lainnya dari sejarah
runtuhnya Dinasty Abbasiah adalah kenyataan bahwa dua Dinasty besar Islam
lainnya, Umawiyah di spanyol dan Fatimiyah di mesir, sama sekali tidak tergerak
untuk membantu saudaranya. Mengapa? Karena satu sama lain memang sudah tidak
menganggap saudara lagi, melainkan musuh dalam perlombaan perebutan daerah
kekuasaan.
Lebih dekat ke zaman kita, coba
kita perhatikan ketika Rusia melumat negara-negara Islam di Asia Tengah seperti
Kazakhstan, Tajikistan, Kirgiztan dan Uzbekistan. Adakah negara muslim yang
mengirimkan pasukannya untuk membantu saudaranya disana? Bahkan sampai saat ini
daerah-daerah tersebut masih dibiarkan tetap dijajah. Padahal daerah-daerah
tersebut tempat lahirnya ulama-ulama besar Islam seperti Imam Bukhari Ra. Coba
lihat Palestina, tidak hanya diduduki tapi penduduknya juga dibunuhi tiap hari
dan tidak satu pun negara Islam yang bergerak. Namun coba lihat pemberontakan
dan usaha kudeta di Yaman, koalisi negara Islam yang digagas Saudi langsung
terbentuk untuk menghajar pengkudeta. Apakah syi’ahnya yang ditargetkan? Tidak,
melainkan pengamanan kepentingan dan stabilitas pemerintahan Saudi. Kalau
memang dasarnya hanya menurunkan pengkudeta lalu kenapa kudeta Mesir dibiarkan?
Karena kudeta di Mesir tidak mengancam stabilitas negara Saudi.
Menurut penulis begitu lah dasar
cerita semuanya, tak lepas dari kepentingan politik. Kalau dikatakan jika
syi’ah berkuasa mereka akan berlaku kejam terhadap muslim sunni, sebenarnya
tidak sepenuhnya bisa dibenarkan. Karena sikap kejam dan bengis adalah sifat
dari dikatorisme yang begitu melekat dengan pemerintahan di daerah-daerah
Islam. Siapa saja Islamnya, sunni atau pun syi’i, semua gerakan yang berpotensi
mengancam kekuasaannya akan dibabat habis sampai ke akar-akarnya. Kalau kita
mengambil contoh Rezim Asad di Suriah yang membunuhi sunni , coba lihat as sisi
di Mesir yang sunni tapi membunuhi rakyatnya yang juga sunni. Coba lihat Saddam
Husein di Irak yang juga kejam kepada rakyatnya tak peduli sunni atau syi’I,
begitu pula Qadzafi di Libya. Saudi pun sama saja, dalam waktu dekat ini
pemerintahannya telah memenggal ulama syi’ah dan beberapa pengikutnya disana
karena menyerukan pemberontakan. Namun sebaliknya coba lihat Syekh Ramadhan Buthi
yang sunni tapi sama sekali tidak disentuh rezim suriah dan malah didekati,
mengapa? Karena beliau tidak menentang dan bersahabat. Intinya begitulah tipe
negara dictator, jadi teman maka selamat, jadi musuh maka kiamat. Sistem ini
sangat bertentangan dengan syura, duduk bersama, dan semua boleh mengutarakan
pendapat sebagaimana yang diajarkan agama Islam. Dalam sistem dictatorship
oposisi adalah musuh, bukan partner yang memiliki pemikiran berbeda. Kekuasaan
mutlak dipegang oleh yang paling kuat dan berkuasa, system rimba begitu lah
kasarnya.
Kesimpulan
Kesimpulannya, syiah memang
memiliki sisi-sisi berbahaya dalam ajarannya yang bisa merusak tatanan
kehidupan masyarakat sunni dan menimbulkan perpecahan. Sudah sepantasnya kedua
aliran tidak saling merongrong satu sama lain dan membatasi ajarannya hanya untuk
komunitas sendiri. Penyebaran ajaran syi’ah di tengah masyarakat sunni mesti
dihentikan dengan dakwah dan penyadaran, bukan dengan pedang, pemaksaan dan
kebencian. Terlebih lagi masyarakat kita pada dasarnya adalah sunni yang
disyi’ahkan.
Coba perhatikan perkataan Ali
radhiyallahu ‘anhu kepada kelompok khawarij yang tentu saja lebih parah dari
syi’ah dalam hal pengakfiran para sahabat Ra. Ali Ra berkata: “Jadilah kalian
seperti yang kalian hendaki, batas diantara kita adalah agar kamu tidak
menumpahkan darah, tidak merampok, dan tidak menzalimi siapapun, jika kalian
melanggar semua itu maka perang lah yang menanti kalian!”
Abdullah bin Syaddad berkata:
“Demi Allah tidak lah Ali memerangi mereka kecuali setelah mereka merampok dan
menumpahkan darah yang diharamkan.” (Dikutip dari Muhammad al Ghazali, Sunnah
Nabawiyah Baina Ahli al Fiqh wal Hadis, hal. 164)
_________________________________________________________________________________
Kajian ini telah dipresentasikan oleh Yahya Ibrahim pada Kajian Dwi Mingguan Islammu Mesir, 12/2/2016
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...