Hadis Ahad dan Pengaruhnya Terhadap Perbedaan Pendapat Ulama

Hadis Ahad sebagaimana telah saya singgung di status sebelumnya adalah hadis yang tidak mencapai derjat Mutawatir. Hadis Mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh banyak orang di setiap tingkatan dari Rasulullah Saw, yang tidak memungkinkan mereka sepakat dalam kebohongan. Hadis Mutawatir semuanya diterima dan hukumnya qat'i sebagaimana al Qur'an. Sedangkan hadis Ahad ada yang shahih, ada hasan, ada dha'if, bahkan maudu' (palsu). Hadis Ahad ada yang diketahui oleh sebagian ulama tapi tidak diketahui oleh ulama yang lain.
Hadis Ahad memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap berbeda2nya pendapat ulama dalam mazhab2 mereka. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah menuliskan dalam risalahnya yang berjudul "Raf'ul Malam 'Anil Aimmatil A'lam" sebab2 berbedanya pendapat ulama dikarenakan Hadis Ahad. Risalah ini memberikan gambaran menyeluruh dan sangat rinci dalam permasalahan ini, sehingga dengan mudah dapat kita pahami tingginya ilmu beliau dan bagaimana beliau termasuk ke dalam ulama2 yang munsif.
Tapi sebelumnya, saya ingin sampaikan sebagaimana pernah saya tulis juga bahwa beliau termasuk ulama yang masih saja dizalimi baik oleh pembencinya maupun pengagumnya. Misalnya dalam hal ini kita lihat bagaimana beliau menghormati para Imam Mazhab bersama mazhab mereka sehingga ditulisnya lah risalah ini. Tapi lihat pengagumnya yang bahkan tidak menganggap keutamaan para Imam ini dan meremehkan mazhab mereka, sehingga menimbulkan kesalahan-pahaman terhadap beliau di tengah2 umat.
Kemudian kita lihat juga mereka yang selalu mendakwahkan bahwa daging ulama itu beracun. Melecehkan mereka sama dengan memakan daging mereka. Tapi lihat mulut mereka tidak pernah puasa memperolok2 ulama seperti Syekh Ibnu Taimiyah, Syekh Muhammad bin Abdul Wahab, dan Syekh Al Albani.
Baiklah tanpa memperpanjang mukaddimah kita langsung bahas sebab2 perbedaan pendapat ulama disebabkan oleh Hadis Ahad sebagaimana dipaparkan oleh Syekh Ibnu Taimiyah secara ringkas:
1. Disebabkan karena hadis tersebut belum sampai kepada Imam Mujtahid tadi. Dalam artian beliau tidak mengetahui adanya hadis tersebut.
Mungkinkah hal ini? Bagaimana tidak, Mujtahid sekelas Abu Bakar RA saja bisa tidak tahu hadis tentang hak waris seorang nenek sampai diberitahukan kepadanya. Umar RA juga tidak tahu hadis tentang cara minta izin bertamu sampai beliau bertanya kepada Abi Musa al Asy'ari RA.
Siapa yang tidak sampai padanya hadis maka dia berpegang kepada zahir ayat, hadis yang lain, kaidah umum, kembali kepada qiyas, atau bahkan yang selainnya..
Ini lah yang sering terjadi ketika ditemukan adanya perbedaan pendapat ulama salaf dari beberapa hadis. Maka dalam hal ini saya menolak pendapat para muqallid mazhab yang menganjurkan untuk taqlid saja dengan alasan bahwa Imam Mazhabnya sudah pasti mengetahui semua hadis itu.
2. Bisa saja hadis itu sudah sampai kepadanya, tapi beliau menolak sanad hadis tersebut dikarenakan beberapa sebab. Misalnya menurut beliau perawi hadis tersebut tidak diketahui, tertuduh pendusta, atau lemah hafalannya. Maka beliau mengambil dalil lain yang lebih kuat sanadnya menurut beliau.
3. Berbeda2nya syarat ulama dalam menentukan kriteria hadis shahih yang diterima. Bisa saja shahih menurut sebagian tapi dha'if menurut yang lain.
4. Keyakinan beliau bahwa hadis tersebut dha'if dikarenakan kaidah khusus beliau. Misalnya ada yang menolak hadis yang diriwayatkan oleh orang Iraq atau Syam tanpa ada asalnya dari tanah Hijaz. Maka ini adalah sebuah kaidah khusus dalam mazhab beliau.
5. Bisa saja hadis tersebut telah sampai kepada beliau dan telah beliau yakini kebenarannya, hanya saja beliau lupa.
Mungkin kah hal ini? Kenapa tidak, bahkan Umar Ra lupa tentang hadis tayammum dari junub hingga beliau diingatkan oleh Ammar bin Yasir Ra, sehingga seolah2 Umar tidak paham dari al Qur'an kecuali bahwa tayammum hanya menghilangkan hadas kecil saja.
6. Bisa saja ada lafal atau kata dalam hadis yang gharib menurutnya, atau berbeda artinya menurut bahasa dan kebiasaannya dari bahasa Nabi Saw, maka dia memahaminya sesuai bahasanya karena secara asal adalah ketetapan bahasa. Atau bisa saja kata tersebut mempunyai banyak arti (musytarak), mujmal, atau ragu apakah yang dimaksud sebenarnya (hakikat) atau majaz.
7. Bisa saja menurut beliau maksud hadis tersebut bukan seperti yang dipahami ulama yang lain. Misalnya hadis:
(إنما الأعمال بالنيات)
Maka ulama berbeda pendapat apakah yang dimaksud bahwa sahnya ibadah dengan niat atau kesempurnaan ibadah dengan niat.
8. Bisa jadi teks memiliki banyak makna dan maksud yang sama kuat, sehingga sulit untuk menentukan mana yang lebih kuat. Atau bisa juga ada banyak riwayat dalam satu masalah dan masing2nya memilki riwayat dari Nabi Saw.
Syekh Abdul Jalil Isa berkata:
Telah tetap melalui sanad yang shahih bahwa Ibnu Abbas RA shalat jenazah dengan mengeraskan membaca al fatihah, disebutkan bahwa beliau melakukan itu agar umat tahu sunnah membaca al fatihah. Hanya saja dalam hal ini ada dua pendapat, ada yang berpendapat tidak dibaca sama sekali sebagaimana mazhab Abu Hanifah dan Malik. Dan ada yang berpendapat bahwa membacanya sunnah sebagaimana pendapat Syafi'i dan Ahmad dengan dalil hadis Ibnu Abbas ini. Kemudian diantara mereka ada yang berpendapat bahwa membacanya wajib seperti shalat biasa, dan sunnah mustahabbah menurut yang lain. Diriwayatkan dari ulama salaf semuanya, sebagaimana diriwayatkan bahwa mereka kadang shalat dengan mengeraskan bismillah ketika membaca al fatihah dan kadang tidak dikeraskan, kadang membaca doa istiftah kadang tidak, kadang mengangkat tangan di tiga perpindahan gerakan shalat kadang tidak, kadang membaca salam dua kali kdang sekali, kadang membaca al fatihah ketika menjadi makmum dg tidak dikeraskan kadang tidak membaca sama sekali. Diantara mereka ada yang melakukan ini dan ada pula yang melakukan itu. Semuanya diriwayatkan dari Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
Hal2 di atas walaupun ada yang kuat dan lemah, bagi yang melakukan yang lemah maka dia pun telah melakukan sesuatu yang boleh. Bahkan sesuatu yang lemah kadang lebih utama demi kemaslahatan, dan meninggalkan yang kuat kadang lebih utama demi kemaslahatan.
9. Seorang yang alim betapa pun kuat hafalan dan pemahamannya bisa saja salah dalam memahami suatu teks. Misalnya dalam menentukan mana yang lebih kuat riwayatnya, teks tersebut mansukh (hukumnya dihapus dan diganti dengan hukum lain dari teks syar'i yang lain) atau tidak, dan menentukan bahwa teks tersebut ditakwil atau tidak.
10. Terakhir, diantara ulama2 tersebut ada yang memandang bahwa walaupun hadis shahih akan ditolak kalau berlawanan dengan qiyas jali. Diantara mereka juga ada yang menolak hadis shahih kalau berlawanan dengan amal penduduk madinah al munawwarah, karena menurutnya amal mereka lebih kuat dari riwayat dari satu orang saja.
Dari paparan di atas kita bisa mengerti bahwa berbeda2nya mazhab ulama sama sekali bukanlah karena mereka mengingkari hadis. Maka sangat konyol sekali bila ada yang mengikut pendapat seseorang atau sekelompok ulama lalu menamakan pendapat yang diikutinya itu manhaj as sunnah. Mereka berkeras mengatakan bahwa itu manhaj bukan mazhab, padahal mereka tidak paham apa beda manhaj dengan mazhab. Seolah2 dengan pernyataan mereka ini, mereka menuduh para Imam Fiqh ini menolak sunnah dalam manhaj mereka ketika menyimpulkan suatu pendapat di dalam mazhab mereka.
Untuk sementara pemahaman saya, di Indonesia majlis tarjih Muhammadiyah adalah contoh yang paling baik dalam bersikap terhadap perbedaan2 mazhab ini. Mereka (tentu saja yang memiliki kapasitas untuk ini) memilih pendapat2 yang kuat dari mazhab2 yang ada, atau bisa juga yang paling maslahat untuk difatwakan, dengan tetap menjaga penghormatan terhadap mazhab2 tersebut. Maka mereka tidak menamakan hasil ijtihad dalam memilih suatu pendapat dari banyaknya pendapat yang ada sebagai manhaj atau mazhab as sunnah, tapi menamakannya keputusan atau fatwa majlis tarjih Muhammadiyah. Dengan ini Muhammadiyah tidak mengkleim kebenaran hanya ada padanya dan menerima segala bantahan dan perbedaan dengan dalil masing2. Usaha ini akan melepaskan umat dari taqlid buta dan mendorong untuk mencari pendapat yang paling kuat dalam beragama. Untuk berikutnya harapan saya hal ini tidak dipimpin oleh satu ormas saja, tapi langsung di bawah MUI dengan kesepakatan seluruh ulama Indonesia.
Semoga bermanfaat.

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

Kebugaran Ulama di Era Digital: Muruah, Adat, dan Pergeseran Perspektif

Membongkar Narasi Sesat yang Menyasar Perlawanan Palestina

Krisis Wibawa Sang Pendidik: Ketika "Bukan Donatur Dilarang Ngatur" Bertemu Ruang Kelas

Tulisan Baru