Mengapa Saya Memilih Al Azhar
Jawaban berikut ini bukan bermaksud menyombongkan tempat belajar saya atau merendahkan yang lain. Jawaban ini murni sebagai gambaran bagaimana Al Azhar di mata saya sebagai murid, sekaligus bantahan terhadap mereka yang 'salah paham' menurut saya terhadap al Azhar.
Tulisan ini juga jawaban dari pertanyaan mengapa saya memilih Azhar sedangkan Azhar itu begini begini? (kebenaran yg diyakininya berbeda dengan yang dipahaminya dari Azhar). Kemudian juga jawaban dari pertanyaan mengapa saya tetap di Azhar sedangkan kamu berkata begini begini? (menurutnya yang saya pahami berbeda dengan manhaj Al Azhar).
Hal pertama yang membuat saya jatuh hati kepada Al Azhar sehingga menjatuhkan pilihan untuk ke Mesir melanjutkan S1 adalah manhaj wasatiyah (moderat) yang diusungnya dan menjadi landasan dalam beragama, berpikir dan bertindak.
Mengapa wasatiyah dan apa itu wasatiyah?
Wasatiyah adalah sifat khusus yang disematkan Allah Swt kepada umat Islam. Allah Swt berfirman:
و كذالك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء على الناس و يكون الرسول عليكم شهيدا
Al Baqarah: 143
Al Baqarah: 143
Wasat secara bahasa berarti pertengahan. Wasat dari sesuatu berarti bahagian tengah dari sesuatu tersebut. Wasat bisa berarti tengah2 dari dua hal yang bertentangan. Wasat juga bisa berarti paling utama dari sesuatu, karena biasanya bahagian tengah adalah bahagian inti sedangkan bagaian yang tidak penting atau tambahan berada di tepi.
Al Hafiz Ibnu Kasir dalam tafsirnya menjelaskan makna ayat di atas berkata: "Sesungguhnya kami palingkan kamu ke arah kiblat Ibrahim Alaihissalam (Ka'bah) dan kami pilihkan arah itu bagi kamu agar kamu menjadi sebaik2 umat, sehingga kamu akan menjadi saksi pada hari kiamat atas segala umat yang mengakui keutamaan kamu. Wasat disini artinya yang paling baik dan bagus. Karena Allah Swt mengkhususkan umat ini dengan wasatiyah maka Dia Swt mengkhususkannya juga dengan syariat yang paling sempurna, manhaj yang paling lurus, dan petunjuk yang paling jelas."
Maka makna umat yang wasat adalah umat yang paling baik, paling adil, paling sempurna, paling jauh dari sifat berlebih2an, jauh dari kekurangan dan aib dari segala segi.
Islam adalah agama yang wasat, tidak berlebih2an dan tidak mengurang2i dari yang seharusnya, tidak menyusah2kan dan tidak memudah2kan, adil terhadap segala sesuatu, objektif, dan tidak menzalimi atau berat sebelah. Wasatiyah artinya keseimbangan yang menjadikan kaum muslimin selalu membawa risalah cinta, kebaikan dan keadilan kepada umat manusia. Wasatiyah juga menolak kezaliman dan kesewenang2an. Tidak lah Islam mengangkat senjata memerangi jahiliyah kecuali karena jahiliyah telah berusaha menghentikan dakwah ini dengan kezaliman. Tidak lah Persia dan Romawi diperangi kecuali karena mereka telah jauh dari nilai2 kemanusian yang agung dengan mempertontonkan kezaliman.
Wasatiyah Islam mengajarkan keseimbangan antara alam materi dan alam ruhani sebagaimana fitrah manusia yang diciptakan Allah Swt, tidak melebih2kan satu sisi atas yang lainnya. Wasatiyah juga menolak segala sikap berlebih2an dalam agama yang mengarah kepada radikalisme agama. Islam mengajak untuk berpikir dan bersikap adil serta penuh hikmah. Islam menjaga haknya dan hak selainnya.
Syekh Yusuf al Qardhawi dalam bukunya 'al Shahwah al Islamiyah baina al juhud wa al tatharruf' menjelaskan tanda2 pemikiran radikal dalam agama.
1. Ta'assub (sombong dan merasa benar sendiri) terhadap pendapat sendiri dan tidak mengakui pendapat yang berbeda.
2. Mewajibkan dan mengharuskan umat dengan apa yang tidak pernah diwajibkan oleh Allah Swt.
3. Bersikap keras bukan pada tempatnya.
4. Kasar dalam bermu'amalah, keras dalam bicara dan tidak beradap dalam berdakwah.
5. Selalu berprasangka buruk, merasa paling benar, dan meremehkan orang lain.
6. Jatuh kepada hobi suka mengkafir2kan orang yang berbeda pendapat.
Syi'ar ini lah yang selalu diusung oleh Al Azhar dari zaman ke zaman. Pemahaman ini lah yang saya serap dari kuliah dosen2nya dan buku2 ulamanya. Ini lah yang menjadi timbangan bagi saya dalam berpikir.
Saya termasuk yang tidak ikut2 mengamini seruan bahwa seorang pelajar Azhari haruslah beraqidah As'aryiah, harus taqlid pada satu mazhab dan harus ikut salah satu tarekat sufiyah. Pengharusan ini terasa berlawanan dengan manhaj wasatiyah yang saya pahami dari Al Azhar sendiri, yaitu pengharusan sesuatu yang tidak diharuskan oleh Allah Swt. Bahkan tidak jarang saya lihat para pengusung tiga hal ini juga jatuh pada sikap ta'assub, keras, merasa benar sendiri, berprasangka buruk, dan meremehkan orang lain.
Pertama sikap saya terhadap pemikiran Asy'ariyah. Asy'ariyah adalah salah satu firqah (kelompok) dalam ilmu kalam (ilmu aqidah) yang memiliki pendapat tersendiri dalam pembahasan sifat2 Allah dan kajian ilmu kalam lainnya. Hal ini juga sebagaimana Mu'tazilah dan kelompok yang mengkleim diri sebagai Salafi, walaupun para salafuna al shalih tidak pernah terjatuh dalam pembahasan dan perdebatan seperti hal ini.
Semua perdebatan ini berkisar tentang pemahaman hal2 atau ayat2 mutasyabihat (samar atau kabur maknanya). Padahal semua firqah tadi sepakat dalam banyak hal yang muhkamat (yang pasti dan tegas), seperti tauhid dan kesucian Allah Swt yang disifati dengan segala kesempurnaan dan bebas dari segala kekurangan. Tidak lah perdebatan itu kecuali seputar hal2 yang dianggap mengurangi kesempurnaan sifat Allah ketika kelompok yang lain menganggap hal2 tersebutlah kesempurnaan itu.
Lalu mengapa tidak kita tinggalkan saja perdebatan ini yang hanya bermain di ranah logika dan tidak berimplikasi kepada amal? Mengapa kita tidak fokus kepada pembahasan yang muhkamat seperti menjadikan tauhid ini sebagai landasan kehidupan umat, bahwa Allah Maha Melihat dan Maha Mendengar segala yang kita lakukan dan kita akan mendapat balasan yang setimpal walau amal itu sebesar biji zarrah. Hal ini lebih baik daripada kita debat tidak selesai2 apakah sifat Maha Melihat dan Maha Mendengar Allah itu bahagian dari Dzat, di luar Dzat atau berdiri di atas Dzat.
Mengapa kita sibuk berdebat dimana Allah? Di langit, dimana saja, atau tidak bertempat? Mengapa kita tidak berfokus kepada besarnya ciptaan Allah di sekeliling kita bahkan pada tubuh kita sehingga kita sadar kita tidak ada apa2nya di hadapan Allah dan Allah lah satu2nya yang pantas disembah. Atau menyadari segala ciptaan Allah adalah nikmat yang mesti dipertanggungjawabkan di akhirat kelak atau bagaimana kita memanfaatkannya untuk maslahat manusia. Tidak malu kah umat Islam bahwa segala nikmat yang diciptakan Allah untuknya malah dikelola dan dimanfaatkan oleh orang kafir? Mengapa kita memikirkan hal yang sia2, padahal sama2 paham bahwa makhluk mustahil untuk memikirkan apalagi memahami Dzat Sang Khalik?
Sikap saya terhadap taqlid mazhab telah saya tuliskan di dua status sebelumnya. Baca di Mereka Ulama Tandingan dan Mengikut Mazhab atau Mengikut Al Qur'an dan Sunnah ?!
Kesimpulannya adalah bahwa kita harus menghormati setiap mazhab dan mengakui kemuliaannya sebagai ijtihad para ulama, setiap mazhab tersebut merupakan khazanah keilmuan Islam yang telah memberikan manfaat luar biasa sehingga membuminya ajaran Islam di seluruh jazirah umat Islam. Semuanya merupakan hasil pemahaman para ulama yang belum ada bandingannya sampai sekarang dalam memahami al Qur'an dan Sunnah. Hanya saja tidak ada keharusan untuk taqlid kepada satu mazhab saja, karena masing2nya tidak ada yang mengaku bebas dari kesalahan dan merasa paling benar dalam setiap permasalahan.
Sikap saya terhadap tarikat sufiyah. Tarikat pada dasarnya adalah jalan atau metode yang digunakan oleh ahli sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan amalan2 yang disusunnya berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah. Kalau amalan2 tadi bertentangan dengan Al Qur'an dan Sunnah maka sudah pasti itu bukan lah tarikat yang benar. Hanya saja walaupun amalan2 tersebut telah disusun berdasarkan Al Qur'an dan Sunnah, tetap saja tidak boleh dipaksakan kepada orang lain agar wirid2 tsb dibaca dalam jumlah tertentu dan di waktu2 tertentu. Karena susunan wirid2 seperti itu dan pemaksaan membacanya tidak ada tuntunannya dalam Al Qur'an dan Sunnah. Bahkan wirid2 tersebut berbeda satu tarikat dari tarikat yang lain. Tapi semua maqamat dan ahwal yang disebutkan dalam kajian2 sufi merupakan hal2 yang harus dicapai oleh setiap muslim dalam mentarbiyah diri dan mujahadah sesuai kemampuannya sendiri.
Wasatiyah dan keterbukaan Azhar inilah yang menjadi nilai lebih dibandingkan kampus2 lainnya. Beberapa kampus di Timur Tengah saya dengar memaksakan muridnya kepada hanya sebuah cara pandang dengan kaku, menganggap manhaj atau mazhabnya lah yang paling benar, sedangkan pendapat yang berbeda dengannya adalah kebodohan bahkan kesesatan. Dunia menjadi sempit karena hanya mereka yang berhak hidup di atasnya. Surga menjadi sempit karena sudah dikapling mereka. Islam menjadi sempit karena hanya mereka yang benar dan boleh berpendapat. Mereka mengkleim ini lah pendapat salafusshalih seakan mereka telah hidup sejak belasan abad yang lalu.
Begitu juga di Indonesia ada sekolah2 yang meminta muridnya untuk bersumpah ketika upacara kelulusan agar taqlid dengan satu mazhab fiqih saja. Keharusan2 seperti ini akibat sempitnya cara berfikir dengan menganggap segala kebenaran sudah dicapai dan dimilikinya. Akhirnya di lapangan mereka mengingkari segala yang terlihat berbeda dari apa yang diketahuinya. Bahkan ada yang menolak shalat jamaah di belakang Imam yang berbeda mazhab dengan mereka.
Atas dasar pemahaman wasatiyah yang seperti ini lah maka saya menolak klaim moderat mereka yang mendukung diktatorisme, kezaliman dan kemungkaran yang terjadi di Mesir dan negara2 Arab lainnya, sehingga menunda masyru' islamy hingga mungkin beberapa puluh tahun lagi. Tapi bagi mereka yang melihat bahwa apa yang terjadi bukanlah kezaliman melainkan keharusan maka dibutuhkan kajian lebih jauh lagi. Yang jelas mereka tidak nyata2 mendukung kezaliman yang terjadi.
Begitu juga saya menolak klaim moderat mereka yang menganggap semua agama sama, yang melegalkan nikah sejenis dan segala program2 liberal lainnya dengan dalih toleransi dan Islam Indonesia, karena semua itu jelas bertentangan dengan nash sharih yang ada dalam Islam.
Untuk itu semua saya bersyukur telah memilih Al Azhar sebagai tempat mentarbiyah diri.
Wallahua'lam.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...