Posisi Akal dan Rasionalitas di dalam Islam

Sebuah kesalah-pahaman yang besar ketika ada yang mengatakan bahwa agama di dalam Islam lebih mengutamakan sisi rohani dan batin ketimbang sisi akal dan perbaikan pemikiran manusia. Mereka yang menyeru atas nama Islam kepada kepatuhan buta tanpa memikirkan benar salah, sesuai tidak sesuai dengan kenyataan dan hakikat, maka sungguh telah berbuat sebuah kebohongan. Karena hal demikian sangat bertentangan dengan karekteristik ajaran Islam walaupun sangat kental pada agama-agama yang lain.

Ta'assub (dikuasai perasaan) dan taqlid (kepatuhan buta tanpa dalil) sangat jauh dari pemahaman keislaman yang lurus. Semua qadhiyah dan permasalahan agama di dalam Islam bisa dicerna oleh akal manusia tanpa ada pertentangan. Oleh karena itu semenjak dahulu kebenaran yang dibawa oleh Islam tidak pernah berhasil dibantahkan oleh musuh-musuhnya walau bagaimanapun usaha yang mereka lakukan. Islam tidak cocok dengan tuduhan klaim kebenaran sepihak seperti yang sering dituduhkan kelompok liberal. Islam tidak mengenal kebenaran nisbi dan relatif karena segala kebenaran yang datang dari Islam selalu bisa dibuktikan secara ilmiah.

Agama Islam menghendaki akal yang benar dan pemikiran yang lurus sebelum memeluk agama ini. Karena apalah arti manusia kalau cacat akal dan lemah pikiran? Bukankah manusia dibedakan dari makhluk lainnya karena dikaruniai akal untuk berpikir? Ketepatan berpikir dan ketajamannya dibutuhkan pertama sekali sebelum diiringi dengan niat yang tulus dan ikhlas. Sebuah keyakinan tidak akan terpatri di dalam hati kalau akal menolak kebenaran keyakinan tersebut. Setiap amal dan tindakan menghendaki pemahaman yang benar terlebih dahulu sebelum keikhlasan dan pengorbanan.
Ketika Islam muncul perang pertama sekali yang dikobarkan adalah perang melawan segala khurafat, takhayul, taqlid dan kebodohan. Coba perhatikan firman Allah dalam surat Saba: 46.

“Katakanlah: "Sesungguhnya Aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua- dua atau sendiri-sendiri; Kemudian kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu. dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang keras.”

Mereka yang ta'assub kepada taqlid warisan turun temurun akan menjawab seperti firman Allah surat Al Zukhruf: 24

“Bahkan mereka berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama, dan Sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka."

Untuk menjawab lemahnya akal mereka ini Sang Nabi Saw pun menjawab dengan firman Allah surat Al Zukhruf: 22

 “(Rasul itu) berkata: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun Aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?"

Untuk itu dikehendaki keseimbangan antara ruh dengan akal agar manusia sampai kepada hasil yang valid, tidak semata mengikuti perasaan dan prasangka.  Berkenaan dengan ini maka sungguh tidak ada satupun kitab agama selain Al Qur'an yang mampu menyeimbangkan antara rasionalitas dengan keimanan.

Coba perhatikan bagaimana cara al Qur'an berbicara kepada manusia dalam surat al Hajj: 63,

“Apakah kamu tiada melihat, bahwasanya Allah menurunkan air dari langit, lalu jadilah bumi itu hijau? Sesungguhnya Allah Maha halus lagi Maha Mengetahui.”

Kemudian surat al Hajj: 65,

“Apakah kamu tiada melihat bahwasanya Allah menundukkan bagimu apa yang ada di bumi dan bahtera yang berlayar di lautan dengan perintah-Nya. dan dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi, melainkan dengan izin-Nya? Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.”

Kemudian surat an Nur: 43,

“Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, Kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, Kemudian menjadikannya bertindih-tindih, Maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, Maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan.”

Kemudian surat al Furqan: 45,

“Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu, bagaimana dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang dan kalau dia menghendaki niscaya dia menjadikan tetap bayang-bayang itu, Kemudian kami jadikan matahari sebagai petunjuk atas bayang-bayang itu.”

Coba perhatikan salah satu firman Allah yang menghendaki manusia merenungi nikmat indra yang dimilikinya agar sampai kepada kebenaran. Al Mukminun 78-80,

“Dan dialah yang Telah menciptakan bagi kamu sekalian, pendengaran, penglihatan dan hati. Amat sedikitlah kamu bersyukur. Dan dialah yang menciptakan serta mengembang biakkan kamu di bumi Ini dan kepada-Nyalah kamu akan dihimpunkan. Dan dialah yang menghidupkan dan mematikan, dan dialah yang (mengatur) pertukaran malam dan siang. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”

Beginilah bagaimana manhaj al-Qur'an dalam memberi penerangan kepada akal manusia. Al-Qur'an menunjukkan segala apa yang ada di sekeliling manusia, kemudian berkata: pikirkan! Apakah kamu mengira matahari membuat kesepakatan dengan bumi agar ada siang dan malam? Apa kamu kira mereka sendiri yang menetapkan berapa jarak tempuh dan poros perputaran mereka, lalu memikirkan akibat dari perputaran itu? Sungguh semua yang ada di antariksa ini tidak berfikir sama sekali, ada suatu hikmah yang menggerakkan mereka... Apa kamu tidak berpikir?

Setelah memaparkan tentang ihwal alam semesta, maka datang setelahnya penegasan tentang sang Pencipta. Al Mukminun 90-92,

“Sebenarnya kami Telah membawa kebenaran kepada mereka, dan Sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta. Allah sekali-kali tidak mempunyai anak, dan sekali-kali tidak ada Tuhan (yang lain) beserta-Nya, kalau ada Tuhan beserta-Nya, masing-masing Tuhan itu akan membawa makhluk yang diciptakannya, dan sebagian dari tuhan-tuhan itu akan mengalahkan sebagian yang lain. Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan itu, Yang mengetahui semua yang ghaib dan semua yang nampak, Maka Maha Tinggilah dia dari apa yang mereka persekutukan.”

Begitulah akidah tauhid, demikianlah bukti2 rasionalnya, saling mengiringi satu sama lain dalam penggambaran kesempurnaan Allah Swt.

Lalu apa dicukupkan dengan itu? Tidak. Datang setelahnya ayat yang berbicara semacam penggambaran aliran perasaan yang menghendaki untuk bebas dari segala macam bentuk kesyirikan dan kebodohan, kemudian menggambarkan akibat bila keduanya tetap dibiarkan. Kita lihat bagaimana perasaan ini muncul dari diri Rasulullah Saw yang diiringi dengan marah terhadap apa yang akan menimpa orang-orang yang ingkar. Sebagai orang yang beriman hendaklah kita memahami hal ini dan memperhatikan sebab terjadinya. Perhatikan firman Allah dalam al Mukminun: 93-95,

Katakanlah: "Ya Tuhanku, jika Engkau sungguh-sungguh hendak memperlihatkan kepadaku azab yang diancamkan kepada mereka, Ya Tuhanku, Maka janganlah Engkau jadikan Aku berada di antara orang-orang yang zalim." Dan Sesungguhnya kami benar-benar Kuasa untuk memperlihatkan kepadamu apa yang kami ancamkan kepada mereka.”

Dari sini dapat kita lihat bagaimana Islam mampu menyeimbangkan antara gelora perasaan dan akal rasional. Islam dengan akidahnya yang suci tidak disandarkan kepada prasangka2. Lihat bagaimana di dunia ini banyaknya kepercayaan manusia yang diwariskan atas dasar prasangka. Sesuai dengan firman Allah di surat Yunus: 36,

“Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.”

 Diantara tanta-tanda Jamaah Islam yang benar adalah bagaimana dia menghormati akal dan tunduk kepada ilmu. Manhaj al-Qur’an ini telah mencapai puncaknya dengan terkobarnya perang melawan kesyirikan dan pengkristalan tauhid di hati umat Islam. Maka kita lihat bagaimana perang ini dikobarkan kepada orang musyrik karena mereka mengikuti dan mengimani sesuatu tanpa alasan atau dalil. Firman Allah, al-Mukminun 117,

“ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu tiada beruntung.”

Bahkan kalau kita lihat kisah-kisah umat terdahulu, akal dan pikiran juga menjadi alasan untuk melawan dan menolak segala kezaliman dan kesesatan. Para pemuda kahfi berkata,  al kahfi 15,

“Kaum kami Ini Telah menjadikan selain dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka)? siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?”


Yang pasti manhaj al-Qur'an ini sangat berpengaruh kepada cara berpikir seorang muslim yang benar, dan yang mampu menangkap keagungan agama ini di atas segala keyakinan2 yang lain. Sungguh Islam adalah satu2nya agama yang menegakkan iman atas dasar rasionalitas dan meninggikan nilai akal manusia.

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Apakah Perang Iran-Israel Nyata atau Pura-pura? Membedah Perang Proksi dan Perebutan Pengaruh di Timur Tengah

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Tulisan Baru