Lemahnya Ilmu dan Perpecahan Umat

Kalau memang mereka menyebut bahwa wahabi adalah sebuah sekte di dalam Islam, maka tidak salah lagi bahwa sekte ini merupakan sekte tercepat perkembangannya di tengah-tengah umat. Bagaimana tidak? Banyak orang yang sejak dilahirkan tidak tahu bahwa dia wahabi, orang tuanya tidak tahu, bahkan satu kampung tidak kenal apa itu wahabi. Secara begitu saja mereka sudah digolongkan kelompok wahabi hanya karena mesjid mereka shalat tarawih 11 rakaat, azan jum’at satu kali, khutbah jum’at tidak pakai tongkat, tidak qunut subuh, tidak memperingati kematian 7, 40 hari dan seterusnya.

Kalau kita melihat mazhab fiqih yang empat, maka menurut mereka Syafi’iyah saja yang aswaja, sedangkan yang lainnya adalah wahabi. Kalau kita lihat ke Ormas2 dan kelompok2 keagamaan yang ada di Indonesia maka tidak dapat dipungkiri banyak sekali sebenarnya yang wahabi. Kemudian kalau kita lihat Pondok Pesantren, Madrasah Aliyah bahkan kampus2 yang memiliki mesjid, maka dapat kita simpulkan banyak sekali ternyata yayasan pendidikan yang dimiliki oleh wahabi di Indonesia berdasarkan kriteria di atas. Oleh karena itu bagi anda2 yang baru sadar akan hal ini, baru sadar bahwa demikianlah kriteria wahabi yang sebenarnya, juga baru sadar bahwa anda memiliki kriteria tsb, maka ketahuilah bahwa anda lah yang mereka sebut wahabi selama ini. Jadi jangan ikut2an menghujat wahabi karena bisa jadi anda juga wahabi.

Nah inilah buruknya ta’assub mazhab yang buta tanpa ilmu. Inilah buruknya seruan2 kepada taqlid. Umat menjadi tidak peduli akan ilmu, keilmuan Islam mengalami kemunduran yang parah, pendangkalan akidah menjadi gampang sekali, umat gampang dirusak, diadu-domba, dipecah dan dilemahkan.

Beginikah gambaran umat Islam itu? Sekumpulan orang2 berdarah tinggi yang bisa mengancurkan apa saja tapi miskin ilmu dan lemah otak, tidak mampu meneliti, berpikir dan menimbang baik buruk, benar salah. Semua dikendalikan oleh emosi, menyalak kiri kanan sedangkan orang lain tetap lalu tidak peduli. Maka hendaklah umat ini menyalahkan diri sendiri kalau ternyata dakwah dan risalah ini tidak tersampaikan dengan benar. Karena memang kita sendiri yang melekatkan citra buruk kepada Islam seperti kasus di atas, disamping banyak yang lainnya seperti keterbelakangan ilmu pengetahuan, kelemahan ekonomi, kemandulan militer dan terbelenggunya kekuatan politik. Belum lagi sistem sosial yang rusak dalam berbagai hal seperti masalah kebersihan, kerapian, ketertiban, kedisiplinan dan kejujuran. Umat sekarang ini tidak menggambarkan ajaran Islam yang dianutnya sehingga menimbulkan kesalah-pahaman bagi umat lain yang seharusnya menjadi objek dakwah dari risalah ini. Dia tidak menghancurkan apapun kecuali dirinya sendiri. Semua itu bersumber dari satu masalah yaitu miskin ilmu, maka masihkan antum2 para ustad mengajak untuk taqlid?

Ketika Kekhalifahan Abbasiah di Baghdad dihancurkan secara militer sejadi-jadinya, umat Islam disana sama sekali tidak mundur, tidak terjajah, dan tidak tertindas. Bahkan si aggressor kaum Mongol yang malah masuk Islam ketika mereka melihat sendiri bagaimana keadaan umat Islam di Baghdad. Hal itu tidak lain karena masyarakat memiliki pondasi keilmuan yang kuat.Tapi lihat ketika Kekhalifahan Turki Utsmani bisa dibubarkan begitu saja, lihat bagaimana nasib umat Islam setelah itu, terpecah-pecah dan terjajah. Semua berawal dari ta’assub bangsa Turki kepada bahasanya sendiri sehingga bahasa Arab sebagai bahasa keilmuan Islam terpinggirkan. Segala khazanah keilmuan Islam tidak mampu dicapai oleh penerusnya, bahkan umat tenggelam dalam takhyul, bid’ah dan khurafat.

Propaganda pecah belah umat Islam selama ini akhirnya membuahkan hasil di Aceh, daerah yang sangat kental tradisi keislamannya, daerah yang menurut saya seharusnya menjadi model bagi daerah2 lainnya dalam hal penegakan syari’at. Tapi lihat perpecahan itu malah terjadi disana hingga berujung kepada kudeta mesjid. Mereka bertikai dalam hal khilafiyah yang bukan esensi dalam agama.

Sebuah perbedaan yang seharusnya dihadapi dengan kepala dingin dan damai. Sejak masa para Shahabat Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa sallam persoalan khilafiyah dalam urusan fiqih hanya menunjukkan keluasan dan keluwesan ajaran Islam. Ada Shahabat yang berpegang kepada zahir teks (nash) ada pula yang berpegang kepada maksud dibalik teks tersebut. Oleh Nabi dua pendapat berbeda dari teks yang sama tadi diterima dan dihargai. Apalah lagi persoalan seperti jumlah rakaat shalat tarawih yang berbeda karena perbedaan teks yang semuanya shahih dari Rasulullah Shallallu ‘alaihi wa sallam, atau dari Para Shahabat Radhiyallu’anhum dan Salafussaleh.


Wallahu a’lam bisshawab.

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

Kebugaran Ulama di Era Digital: Muruah, Adat, dan Pergeseran Perspektif

Membongkar Narasi Sesat yang Menyasar Perlawanan Palestina

Krisis Wibawa Sang Pendidik: Ketika "Bukan Donatur Dilarang Ngatur" Bertemu Ruang Kelas

Tulisan Baru