Syarat-syarat Seorang Da’i Dalam Pandangan Syekh Muhammad Al Ghazali
Ketika Syekh al Ghazali ditanya tentang syarat-syarat
seorang bisa menjadi da’i yang diharapkan (da’i disini bukan
penceramah-penceramah ulung yang tampil di TV, tapi adalah orang-orang yang
menyeru manusia ke jalan Allah), maka Beliau menjawab dengan perkataan:
“Dakwah ke jalan Allah tidak bisa dilakukan oleh sembarang
orang.. Pendakwah Islam di zaman kita sekarang ini haruslah memiliki
seperangkat pengetahuan yang luas dan mencukupi tentang Islam dan kemanusiaan.
Artinya dia hendaklah orang yang paham dengan al-Qur’an, Sunnah, Fiqh Islamy,
dan Peradaban Islam. Dan di saat yang sama dia haruslah orang mengusai sejarah
umum kemanusiaan, ilmu alam dan kehidupan, pengetahuan umum modern yang
berkaitan dengan berbagai aliran pemikiran dan filsafat.
Seseorang yang menyeru ke jalan Allah hendaklah menyerahkan
diri sepenuhnya dalam menyebarkan risalah dakwahnya. Hendaklah dia bergaul
dengan masyarakat dengan hati yang terbuka tanpa rasa egois dan dengki, tidak
gampang terprovokasi, tidak terkurung dalam pemikirannya sendiri, hingga dia
bisa berbicara dengan orang lain dan menerima uzur dari orang-orang yang
tersalah, tidak menyerang mereka membabi-buta tapi membimbing mereka dengan
kesadaran.
Seorang Pendakwah Islam pada zaman sekarang ini membutuhkan
kesadaran yang cukup tentang cara-cara tipu muslihat musuh-musuh Islam dengan
berbagai latar belakang mereka, baik dari kalangan ateis yang tidak percaya
Tuhan maupun kalangan Ahli Kitab yang mengingkari kebenaran Islam.
Sungguh telah kuperhatikan bahwa di medan dakwah saat ini
ada sekelompok manusia yang memperburuk wajah Islam dengan seburuk-buruknya.
Diantara mereka ada yang sibuk dengan pengharaman terus menerus, tidak ada yang
lain didengar dari mereka kecuali bahwa agama ini menolak ini dan itu tanpa
merasa bertanggung-jawab untuk mencari solusi pengganti yang dibutuhkan umat..
Seolah-olah kepentingannya hanyalah menghentikan orang yang sedang berjalan di
sebuah jalan hingga diam di tempat, tanpa mengarahkannya ke jalan yang lebih
lurus dan benar.
Juga kudapati di medan dakwah para da’i yang seolah-olah
mereka hidup di masa lalu yang sangat jauh. Islam seolah-olah agama sejarah,
bukan masa sekarang dan masa yang akan datang. Yang sangat aneh, engkau akan
mendapati mereka sibuk memerangi dan menghujat pemahaman seperti Mutazilah dan
Jahmiyah. Dia benar dalam hal itu, hanya saja dia lupa bahwa permusuhan yang
dihadapi umat saat ini telah berubah, ada syubhat dan tema-tema baru yang
muncul.
Kelompok lain kutemukan mereka tidak mampu membedakan antara
penampilan dan isi (syakl wa maudhu), antara asal dengan cabang (ushl wa far’),
atau antara sebahagian dan keseluruhan (juz’ wa kul). Mereka sampai mati-matian
dalam mengingkari sebuah penampilan dengan mengerahkan segala kekuatannya untuk
memerangi penampilan ini, sedangkan isi dan maksud sebenarnya mereka tidak tahu
akan berbuat apa. Akhirnya mereka memerangi arah timur karena mengira disana
ada musuh dan meninggalkan musuh yang nyata yang berada di sebelah barat,
bahkan mereka memerangi yang bukan musuh.
Mereka-mereka ini hanyalah hambatan kepada dakwah Islam yang
harus diperbaiki, sebagaimana harusnya memperbaiki orang-orang yang masuk ke
medan dakwah dengan niat bekerja demi kepentingan pribadi. Karena amal untuk
menegakkan nilai-nilai Islam bukanlah amal untuk mencapai kepuasan pribadi.
Setelah 40 tahun berjuang di jalan dakwah teranglah bagiku
bahwa hambatan yang paling menyusahkan adalah aliran kerohanian yang rusak.
Kerohanian yang menyandarkan diri kepada sebuah kekuatan gaib yang memberi
ilham untuk berbuat khurafat dan mengada-adakan takhayul, atau dimanfaatkan
untuk mencapai tujuan tertentu.
Agama Islam adalah agama dengan kesadaran logika yang
terang, sedangkan mereka menderita kelumpuhan akal bersanad sambung menyambung.
Agama adalah hati yang jernih dan sehat, sedangkan hati mereka dikuasai
penyakit-penyakit yang aneh.
Pada kenyataannya, kerohanian yang rusak adalah rahasia
mengapa berpalingnya mereka yang dulu adalah orang-orang yang mampu berpikir
lurus. Karena mereka memandang agama hanya dari sikap dan amalan sebagian
pemuka alirannya dan pengaruh mereka kepada kehidupan umum. Yang terjadi
adalah
kelompok kerohanian ini menjadi musibah bagi agama ini baik dulu maupun
sekarang.”
*dari Kitab Syekh al Ghazali Kama ‘Araftuhu, karangan Syekh
Yusuf al Qardhawi.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...