Menyikapi Seruan 'Kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah' dan 'Kembali ke Taqlid'
Ungkapan orang-orang yang mengatakan tidak perlu mengikut
mazhab dan cukup dengan al-Qur’an dan hadis saja adalah ungkapan yang pada
umumnya berasal dari masyarakat awam. Mengapa masyarakat awam? Ya karena mereka
tidak mengkaji buku-buku ulama dan membahas dengan rinci mazhab dan manhaj
ulama dalam penetapan hukum fiqh. Mereka mencukupkan dengan pendapat seorang
ulama yang berasal dari kalangan muta’akhkhirin, yang sampai kepada mereka
lengkap dengan dalil al-Qur’an dan Hadis. Lalu mereka melakukan kleim dengan
mengatakan, “Inilah pendapat salaf umat, sesuai dengan al-Qur’an dan Hadis,
pendapat-pendapat yang berdasarkan kepada mazhab adalah pendapat yang batil!
Kalian mau mengikut Rasul atau Imam Mazhab?”
Inilah ucapan yang berbahaya. Ucapan ini bisa menyebabkan setiap orang berbicara masalah agama dengan berdalil dengan al-Qur’an dan Hadis, tapi hanya mengikut hawa nafsu dalam penafsirannya, mengabaikan semua kaidah dan ilmu alat pendukung yang telah ditetapkan oleh ulama. Tanpa kaidah dan ilmu tersebut seseorang tidak akan pernah sampai kepada pemahaman yang benar. Maka ketahuilah bahwa setiap pendapat yang dilontarkan oleh ulama hakikatnya telah melewati kaidah-kaidah yang telah ditetapkan pada salah satu mazhab yang empat.
Inilah ucapan yang berbahaya. Ucapan ini bisa menyebabkan setiap orang berbicara masalah agama dengan berdalil dengan al-Qur’an dan Hadis, tapi hanya mengikut hawa nafsu dalam penafsirannya, mengabaikan semua kaidah dan ilmu alat pendukung yang telah ditetapkan oleh ulama. Tanpa kaidah dan ilmu tersebut seseorang tidak akan pernah sampai kepada pemahaman yang benar. Maka ketahuilah bahwa setiap pendapat yang dilontarkan oleh ulama hakikatnya telah melewati kaidah-kaidah yang telah ditetapkan pada salah satu mazhab yang empat.
Namun disisi lain perkataan orang-orang yang mengharuskan
taqlid kepada satu mazhab, dan mengatakan bahwa perkataan Imam Mazhab itu satu
tingkatan dengan Al-Qur’an dan Hadis, tidak boleh dirubah, digugat dan diganti,
juga tidak kalah mudharatnya. Taqlid yang seperti ini menyebabkan kemunduran dalam
pengembangan hukum Islam. Bahkan hal ini juga bisa menyebabkan perpecahan di tengah umat ketika di masyarakat ada pendapat yang berbeda-beda yang masing-masing pengusungnya taqlid dengan
pendapat Imamnya masing-masing. Masing-masing aliran mengkleim pendapat Imamnya yang benar sedangkan yang lain salah dan sesat.
Keterpakuan pada teks-teks yang sudah ditulis oleh ulama sebelumnya mengakibatkan hilangnya kebebasan berpikir dan keterbelengguan akal, disamping itu juga menghadirkan pemaksaan aliran Mazhab tertentu oleh penguasa seperti yang pernah terjadi pada masa Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Atau pemaksaan ini akan muncul dari mazhab mayoritas di suatu tempat dengan menuduh pendapat yang berseberangan salah, sesat atau bid’ah. Pada akhirnya kaidah-kaidah fiqh dan ilmu-ilmu pendukungnya tadi juga terabaikan dan dianggap tidak diperlukan, karena setiap kelompok mencukupkan dengan hasil hukum yang telah diwariskan sejak dahulu di kitab-kitab fiqh mazhabnya.
Keterpakuan pada teks-teks yang sudah ditulis oleh ulama sebelumnya mengakibatkan hilangnya kebebasan berpikir dan keterbelengguan akal, disamping itu juga menghadirkan pemaksaan aliran Mazhab tertentu oleh penguasa seperti yang pernah terjadi pada masa Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim dan Al-Watsiq. Atau pemaksaan ini akan muncul dari mazhab mayoritas di suatu tempat dengan menuduh pendapat yang berseberangan salah, sesat atau bid’ah. Pada akhirnya kaidah-kaidah fiqh dan ilmu-ilmu pendukungnya tadi juga terabaikan dan dianggap tidak diperlukan, karena setiap kelompok mencukupkan dengan hasil hukum yang telah diwariskan sejak dahulu di kitab-kitab fiqh mazhabnya.
Untuk menyelesaikan dua masalah ini satu-satunya jalan
adalah kembali melihat bagaimana ulama menyikapi perbedaan pendapat yang
ditemukan dalam teks-teks lama. Dalam hal ini kita menemukan mereka menggunakan
beberapa cara, yaitu:
1.
Menjelaskan dan mencari `illat (alasan) hukum
yang telah di istimbatkan oleh imam-imam mujtahid.
2.
Munculnya
pentarjihan-pentarjihan antara pendapat yang berbeda dalam mazhab mujtahid. Adapun
bentuk pentarjihan yang mereka lakukan pada periode ini terdiri dari dua
bentuk, yaitu :
a.
Tarjih al-riwayah, yaitu
tarjih di mana bila terjadi perbedaan dalam penukilan-penukilan dari imam
mereka terhadap berbagai kasus dalam fiqh, ulama-ulama berikutnya mentarjih
riwayat orang terkenal kemasyhuran dan kecermatannya, seperti dikuatkan
al-Rabi'i (w. 270 H), yang apabila bertentangan dengan riwayat al-Muzanni (w.
264 H) dalam men-tarjih perbedaan pendapat imam al-Syafi’i.
b.
Tarjih al-dirayah (tarjih
pemikiran). Dalam melakukan pentarjihan pemikiran ini, mereka mentarjih
pendapat imam mereka sendiri apabila terjadi perbedaan pendapat atau antara
pendapat imamnya dengan pendapat para murid dan pengikutnya. Mereka mentarjih
pendapat yang lebih sesuai dengan usul imamnya dan yang lebih dekat kepada
al-Qur’an, Hadith dan qiyas.
Hasil akhir yang menjadi pegangan ulama tersebut setelah
mengkaji pendapat-pendapat tadi disebut dengan ikhtiyar beliau, artinya
pendapat yang rajih menurut beliau. Disini ulama-ulama tersebut tidak sedang
membuat mazhab baru walaupun pendapat mereka berbeda dengan mazhab yang
diikutinya. Mazhab dengan segala kelengkapan kaidah-kaidahnya menjadi madrasah
bagi mereka untuk sampai kepada hukum yang paling kuat menurut mereka.
Pembahasan ‘illat dan tarjih ini akan membutuhkan penjelasan
yang sangat panjang. Untuk itu kita cukupkan saja dengan beberapa contoh
perbedaan-perbedaan pendapat ulama dengan mazhab yang mereka ikuti. Disini kita
cukupkan dengan Mazhab Syafi’I saja.
1). Air apabila jatuh najis ke dalamnya hukumnya tidak
bernajis secara mutlaq, baik air itu sedikit maupun banyak, kecuali apabila air itu berubah. Ini menurut Imam Malik dan Mazhab Zhahiri. Mazhab Syafi’i mengatakan apabila air
tersebut sedikit, maka hukumnya adalah bernajis, meskipun tidak berubah. Dalam
Ihya, Imam Al-Ghazali (salah seorang mujtahid mazhab dalam Mazhab Syafi’i)
setelah menyebutkan pendapat Imam Syafi’i sebagaimana di atas, beliau lebih
memilih pendapat Malik. Ini dapat diperhatikan pada perkataan beliau :
“Saya lebih menyenangi Mazhab Imam Malik r.a. , sesungguhnya
air itu, meskipun sedikit tidak bernajis kecuali karena berubah”.
Disamping sejumlah dalil-dalil yang beliau kemukakan,
kesukaran mengamalkan Mazhab Syafi’i juga merupakan alasan mengapa beliau
memilih pendapat Imam Malik di atas. Lihat di Kitab Ihya Ulumuddin.
2). Imam Mazhab Syafi’i berkata:
”Tidak boleh mengeluarkan zakat dari negrinya, ketika di
dalam negri tersebut ada yang berhak atas zakat tersebut. Nabi Saw bersabda kepada
Mu’az bin Jabal r.a. ketika beliau mengutusnya:
فَإِنْ أَجَابُوكَ فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ
عَلَيْهِمْ صَدَقَةً تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ .
Artinya : Apabila mereka menerimamu, maka ajarkanlah bahwa
atas mereka shadaqah yang diambil dari orang-orang kaya mereka, kemudian
diberikan kepada fakir miskin mereka. Lihat di al-Hawi al-Kabir karangan Imam
al-Mawardi. Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 1217 dan al-Syafi’i, al-Um,
Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 83
Ahmad bin Musa, Syaikh Abu Ishaq, Syaikh Yahya bin Abu
al-Khair dan lainnya dari kalangan tokoh Syafi’iyah telah memberi fatwa yang
berbeda dengan pendapat Syafi’i di atas. Beliau-beliau ini memberi fatwa dalam
bab zakat sesuai dengan Mazhab Hanafi, yaitu boleh memindahkan zakat keluar
dari negri pemberi zakat, memberi zakat hanya kepada satu golongan dan kepada
hanya satu orang. Lihat di al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah karangan Ibnu Hajar
al-Haitami.
3). Yang masyhur dalam Mazhab Syafi’i, jual beli dengan
mu’athah (jual beli tanpa ijab dan qabul) tidak sah sebagai jual beli. Namun
al-Nawawi, al-Mutawally dan al-Baghwi memilih sah jual beli tersebut pada
setiap yang dianggap sebagai jual beli oleh manusia, karena tidak ada ketentuan
persyaratan lafazh, maka dikembalikan kepada ’uruf. Ibnu Suraij dan al-Ruyani
mengkhususkan kebolehan jual beli secara mu’athah hanya pada muhaqqaraat (suatu
yang kecil) yang berlaku kebiasaan jual beli padanya secara mu’athah seperti
satu rithal roti. Lihat di Asnaa al-Mathalib karangan Zakariya al-Anshari.
Namun demikian, diriwayatkan dari Ibnu Suraij bahwa Imam Syafi’i
mempunyai qaul lain yaitu yang menyatakan sah jual beli secara mu’athah
benda-benda kecil, namun tidak masyhur darinya. Lihat di Bayan fi Mazhab Syafi’I
karangan Abu Hasan al-’Imrany al-Syafi’i al-Yamani.
4). Dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, al-Nawawi
menjelaskan telah terjadi khilaf dalam periwayatan qaul Syafi’i mengenai tata
cara menghilangkan najis babi. Thariq (jalur) pertama ada dua qaul, yaitu
pertama mencukupkan membasuh satu kali tanpa tanah seperti membasuh najis
lainnya dan qaul kedua wajib membasuh tujuh kali disertai tanah. Sedangkan
thariq kedua, Imam Syafi’i hanya mengatakan wajib membasuh tujuh kali dengan disertai
tanah. Thariq kedua ini merupakan thariq yang dipegang oleh jumhur ulama
Syafi’iyah. Ini merupakan pembahasan dari aspek riwayat mazhab, namun dari
aspek istidlal, al-Nawawi berpendapat lain, beliau berkata :
“Ketahuilah bahwa pendapat yang rajih dari sudut pandang
dalil adalah mencukupkan membasuh satu kali tanpa tanah. Pendapat ini telah
dikatakan oleh kebanyakan ulama yang berpendapat tentang najis babi. Ini
merupakan pendapat yang terpilih, karena yang menjadi asal adalah tidak wajib
sehingga datang syara’ yang menjelaskannya, lebih-lebih lagi masalah ini
dibangun atas ta’abudi (sesuatu yang tidak dapat dirasionalkan).
Adapun dalil Imam Syafi’i yang berpendapat bahwa najis babi
tidak suci kecuali dengan dibasuh tujuh kali dengan disertai tanah adalah
dengan diqiyas kepada anjing. Karena babi lebih keji dari anjing dalam dua hal,
yaitu pertama najis babi dijelaskan dengan nash al-Qur’an, yaitu :
قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ
مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا
أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya : .Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam
wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau
daging babi - karena sesungguhnya semua itu najis - atau binatang yang
disembelih atas nama selain Allah.”(Q.S. al-An’am : 145)
Kedua keharaman memanfa’atkan babi secara umum, sedangkan
anjing hanya secara khusus. Lihat di al-Hawy al-Kabir karangan Imam Al-Mawardi.
5). Menurut pendapat Imam Syafi’i yang termaktub dalam kitab
al-Um, Shalat Jum’at wajib dan sah apabila cukup bilangannya, yaitu empat puluh
orang. Pendapat Syafi’i ini berdasarkan dalil antara lain hadits riwayat
Abdurrahman bin Ka’ab bin Malik dari bapaknya Ka’ab bin Malik,
أنه كان إذا سمع النداء يوم الجمعة ترحم
على أسعد بن زرارة فقلت له إذا سمعت النداء ترحمت لأسعد قال لأنه أول من جمّع بنا في
هزم النَبيتِ من حَرّة بني بَياضةَ في نَقيع يقال له نقيع الخَضِمات قلت له كم كنتم
يومئذ قال أربعون
Artinya : Sesungguhnya Ka’ab bin Malik ketika mendengar azan
pada hari Jum’at, mendo’akan rahmat untuk As’ad bin Zararah. Karena itu, aku
bertanya kepadanya : “Apabila mendengar azan, mengapa engkau mendo’akan rahmat
untuk As’ad ? Ka’ab bin Zararah menjawab : “As’ad adalah orang pertama yang
mengumpulkan kami shalat Jum’at di sebuah perkebunan di Desa Hurah Bani
Bayadhah pada sebuah lembah yang disebut dengan Naqi’ al-Khadhimaat. Aku
bertanya padanya : “Kalian berapa orang pada saat itu ?” Beliau menjawab :
“Empat puluh orang.” (H.R. Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban dan Hakim. Berkata
Baihaqi : hadits hasan dengan isnad sahih)
Namun demikian Imam al-Suyuthi, salah seorang ulama
Syafi’iyah yang termasuk dalam golongan muta-akhirin berpendapat lain. Beliau berpendapat
sah dan wajib shalat Jum’at dengan bilangan empat orang, salah satunya imam.
Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, al-Tsury, al-Laits, al-Auza’i, Abu Tsur,
Muhammad dan al-Muzni. Menurut pengarang al-Talkhis dan Syarah al-Muhazzab, ini
juga merupakan qaul qadim Syafi’i. Pada ujung penjelasan ini dalam kitab
al-Hawy lill-Fatawa, Imam al-Suyuthi mengatakan :
“Pendapat tersebut adalah pilihanku”.
Dalam al-Hawi lil-Fatawa, Imam al-Suyuthi telah menyebut
argumentasi pendapat ini secara panjang lebar. Argumentasi yang beliau
kemukakan adalah bahwa hadits-hadits riwayat Darulquthni semuanya adalah
dha’if. Menurut beliau, hadits-hadits tersebut meskipun dha’if, namun karena
datang dari jalur yang berbeda, maka sebagian hadits tersebut menguatkan yang
lain. Adapun hadits tersebut antara lain :
الجمعة واجبة على كل قرية وإن لم يكن فيها
إلا أربع
Artinya : Jum’at wajib atas setiap penduduk qaryah, meskipun
tidak ada padanya kecuali empat orang (H.R. Darulquthni, beliau mengatakan : Ini
tidak sah dari al-Zuhry)
6). Menurut Imam Syafi’i jumlah raka’at tarawih adalah dua
puluh raka’at. Dalam al-Hawi al-Kabir disebutkan :
“Imam As-Syafi’i r.a. mengatakan, aku melihat mereka
melaksanakannya di Madinah dengan tiga puluh sembilan raka’at. Tetapi aku lebih
menyukai dua puluh raka’at, karena itu telah diriwayat dari ‘Umar bin Khatab
r.a. dan penduduk Makkah juga melaksanakan seperti itu dan melakukan witir tiga
raka’at.”
Namun Imam al-Suyuthi berpendapat lain, Beliau mengatakan
dalam kitabnya, al-Hawi lil Fatawa :
“Alhasil bahwa dua puluh raka’at tidak itsbat (positif) dari
perbuatan Nabi SAW. Apa yang dikutip dari Ibnu Hibban sesuai dengan pendapat
kami dengan berpegang kepada hadits riwayat Bukhari dari Aisyah bahwa
Rasulullah SAW tidak melebihi pada Ramadhan dan lainnya atas sebelas raka’at.
Keterangan ini sesuai dengan keterangan Ibnu Hubban dari sisi Nabi SAW bahwa
beliau melakukan Shalat Tarawih delapan raka’at kemudian witir dengan tiga
raka’at, maka jumlahnya sebelas raka’at.
Pendapat ini juga didukung oleh riwayat Malik dari Muhammad
bin Yusuf dari Sa-ib bin Yazid, beliau berkata :
أمر عمر بن الخطاب أبي بن كعب وتميما الداري
أن يقوما للناس بإحدى عشرة ركعة قال وقد كان القارئ يقرأ بالمئين حتى كنا نعتمد على
العصي من طول القيام وما كنا ننصرف إلا في فروع الفجر
Artinya : Umar bin Khatab telah memerintahkan Ubay bin Ka’ab
dan Tamim ad-Dary agar shalat dengan manusia dengan sebelas raka’at. Dia
(perawi) berkata: "Ada imam yang membaca 200 ayat sampai kami bersandar di
atas tongkat karena lamanya berdiri dan kami tidak selesai kecuali pada saat terbitnya
fajar (H.R. Malik)
7). Imam al-Nawawi berkata:
“Tidak makruh sikat gigi dalam keadaan apapun atas seseorang
kecuali atas orang yang berpuasa setelah tergelincir matahari. Maka atas yang
berpuasa, makruh sikat gigi setelah tergelincir matahari. Pendapat ini telah
di-nash-kan oleh Syafi’i dalam al-Um dan dalam Kitab Puasa dari Mukhtashar
al-Muzny dan lainnya.” (Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab)
Dalil dari fatwa ini adalah hadits Nabi Saw:
والذي نفس محمد بيده لخلوف فم الصائم أطيب
عند الله من ريح المسك.
Artinya : Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya,
sesungguhnya bau mulut tidak enak orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah
daripada bau minyak kasturi. (H.R Bukhari dan Musllim)
Imam An-Nawawi berkata:
“Ashhab kita (ulama Syafi’iyah) telah menjadikan hadits ini
sebagai dalil makruh bersiwak sesudah tergelincir matahari bagi orang yang
berpuasa, karena hal itu dapat menghilangkan bau mulut dengan ini sifat dan
keutamaannya. Meskipun bersiwak juga utama, tetapi bau mulut orang berpuasa
lebih utama”.
Namun demikian, Imam an-Nawawi sendiri, seorang ulama
mujtahid tarjih dalam Mazhab Syafi’i telah memilih pendapat yang berbeda dengan
Mazhab Syafi,i, mazhab yang dianutnya sendiri, mengenai hukum sikat gigi pada
saat tergelincir matahari bagi orang yang berpuasa. Beliau berpendapat tidak
makruh sikat gigi bagi orang orang puasa, baik sebelum atau sesudah tergelincir
matahari. Lihat di Fath al Qarib karangan Ibnu Qasyim al-Ghazy yang dicetak di
Hamisy Hasyiyah al-Bajury, Imam al-Haramain.
Dari sini kesimpulan yang bisa kita petik adalah ungkapan
kembali kepada Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam pengambilan hukum fiqh tidak
sepenuhnya benar dan tidak pula sepenuhnya salah. Kembali ke Al-Qur’an dan
Al-Sunnah dalam berhukum menjadi benar bila memenuhi syarat-syarat dan
kaidah-kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama dalam kitab ushul fiqh
setiap mazhab. Dengan memiliki dalil dan cara istinbath hukum yang benar sebagaimana
terdapat dalam kitab-kitab fiqh, maka hukum fiqh yang kita yakini akan semakin
kuat di dalam hati, sebagaimana mampu menerima perbedaan pendapat orang lain
karena kita mengetahui bahwa mereka juga berdalil sesuai dengan kaidah istinbath
yang benar.
Pesan yang benar untuk masyarakat awam adalah, lakukanlah
seperti apa yang telah kalian pelajari dari hukum-hukm fiqih tapi jangan
menghujat orang lain yang kelihatan berbeda sebelum kalian mampu memahami dalil
mereka sesuai dengan kaidah-kaidah fiqh. Karena sungguh perbedaan-perbedaan
yang kita temukan di dalam fiqh Islam merupakan tanda keluasan dan keluwesan
Islam yang menjadi Rahmat bagi umatnya.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...