Benarkah Perbedaan Cara Pandang Dalam Ijtihad Memecah Belah Umat?

Ijtihad adalah sebuah usaha penerapan teks syar'i kepada sebuah persoalan tertentu. Maka sebuah penyimpangan bila ada yang mengatakan hanya pendapat si fulanlah yang benar, yang islami, yang mengikut salaf dan lain-lain. Suatu keniscayaan sikap seperti ini akan menimbulkan pertentangan dan pertikaian tiada henti, dikarenakan berbeda-bedanya akal manusia, ijtihad dan pendapat yang muncul.

Kalau kita anggap sebuah pendapat atau ijtihad dalam memahami al Qur'an dan hadis adalah sebuah agama yang memiliki kesucian sebuah agama, yang mana mengingkarinya sebuah dosa seperti dosa mengingkari agama itu sendiri, maka inilah penyebab pecah belahnya umat. Perpecahan yang mengantarkan umat kepada keadaan yang bisa kita rasakan akibatnya sekarang ini.

Sesungguhnya para ulama dan imam-imam kita dahulu ketika mereka berbeda pendapat, tidak seorang pun di antara mereka yang mengatakan bahwa pendapatnyalah kebenaran yang diinginkan Allah itu. Tapi mereka semua sepakat untuk berkata: " Pendapatku benar tapi memungkinkan kesalahan, pendapat selainku salah tapi memungkinkan kebenaran." Maka khilaf selalu ada sebagaimana rasa cinta dan tawadu' selalu ada.

Oleh karena itu dapat kita temukan dalam persoalan ibadah seperti shalat bahwa Imam Abu Hanifah memandang bacaan al Fatihah bagi makmum haram, sedangkan menurut Imam Syafi'I wajib. Padahal keduanya termasuk  imam-imam mazhab yang digunakan kaum muslimin secara luas. Tapi lihat ketika Imam Syafi'I ditanya pendapatnya tentang Imam Abu Hanifah, beliau berkata: "Umat ini berhutang budi kepada Abu Hanifah dalam persoalan fiqih." Maka siapa saja yang menganggap pendapatnya adalah agama itu sendiri sedangkan pendapat yang lain telah keluar dari agama maka sesungguhnya dia sedang berdusta.

Tapi lihat pemahaman yang beginilah yang sekarang berkembang di tengah umat yang tidak mengenal perbedaan mazhab, mereka memandang pendapat mazhab merekalah sajalah kebenaran itu. Kemudian mereka menolak semua pendapat yang lain dan menghukuminya dengan haram, batil, sesat dan lain-lain. Seperti itulah pemahaman orang-orang yang berakal singkat yang merusak kesatuan umat.

Contoh yang saya pilih di atas baru dalam permasalah ibadah. Lalu bagaimana dengan persoalan-persoalan selain ibadah? Bagaimana dengan persoalan-persoalan yang memang sudah fitrah dan lumrahnya butuh atau mengandung perbedaan di dalamnya?

Islam belum menetapkan bentuk tertentu untuk beberapa masalah seperti permasalah syura, jihad, penegakan keadilan, sistem pendidikan dan lain sebagainya. Setiap persoalan di atas didapatkan di dalam al Qur'an dan Hadis hanya sebatas nilai-nilai yang islami, sedangkan bentuk dan cara pelaksanaannya diserahkan kepada ijtihad.

Mungkin hal inilah yang menyebabkan Abu Bakar R.a menunjuk seseorang sebagai penggantinya, Umar menunjuk enam orang untuk memilih di antara mereka, sedangkan Rasul Saw tidak menunjuk seorang pun. Dapat kita pahami disini bahwa masalah penunjukan pemimpin tidak memiliki teks tertentu. Maka tidak seorang pun yang berhak mengatakan bahwa cara yang diyakininy lah yang paling benar, karena semua bentuk ada contoh sebelumnya dan boleh berpegang padanya.

Sekarang tinggal pemahaman terhadap dua ayat yang mengabarkan tentang perpecahan agama dan akibatnya yang merusak:

¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#qè%§sù öNåks]ƒÏŠ (#qçR%x.ur $YèuÏ© |Mó¡©9 öNåk÷]ÏB Îû >äóÓx« 4 !$yJ¯RÎ) öNèdáøBr& n<Î) «!$# §NèO Nåkã¨Îm6t^ム$oÿÏ3 (#qçR%x. tbqè=yèøÿtƒ ÇÊÎÒÈ  

Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat. (Al An'am: 159)

* tûüÎ6ÏYãB Ïmøs9Î) çnqà)¨?$#ur (#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# Ÿwur (#qçRqä3s? šÆÏB tûüÅ2ÎŽô³ßJø9$# ÇÌÊÈ   z`ÏB šúïÏ%©!$# (#qè%§sù öNßguZƒÏŠ 


(#qçR%Ÿ2ur $YèuÏ© ( @ä. ¥>÷Ïm $yJÎ/ öNÍköys9 tbqãm̍sù ÇÌËÈ  

"Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu Termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Al Rum: 31-32)

Bagaimanakah bentuk perpecahan yang dilarang disini? Sependek pemahaman saya terhadap apa yang terjadi di tengah kaum muslimin sekarang ini belumlah termasuk ke dalam bentuk yang dilarang oleh ayat ini.

Perpecahan yang dilarang itu bisa dalam dua bentuk. Pertama, perbedaan mendasar dalam pokok-pokok aqidah dan hal-hal gaib. Karena urusan ini bukanlah dalam lingkup akal manusia. Sebagaimana kita temukan kelompok-kelompok yang berdebat panjang lebar dalam masalah ini. Seperti pertanyaan-pertanyaan apakah sifat Allah itu tambahan atas Dzat, atau dia merupakan Dzat itu sendiri? Apa maksud dari bersemayam di atas Arsy? Dan lain-lain.

Berdalam-dalam pada masalah seperti ini dalam pandangan saya , pertama,merupakan perdebatan tanpa makna yang juga tidak dituntut dalam agama. Kedua, berdalam-dalam dalam masalah ini bisa menyebabkan perpecahan yang berbahaya.

Maka jalan terbaik disini adalah bagaimana kita menjaga kesatuan umat. Apabila kita temukan sebagian ulama mentakwil sesuai dengan makna yang benar –tidak seorang pun kecuali mentakwil-, bahkan ulama salaf juga mentakwil dalam banyak tempat. Misalnya ketika kita membaca firman Allah,

ß`øtwUur Ü>tø%r& Ïmøs9Î) öNä3ZÏB `Å3»s9ur žw tbrçŽÅÇö6è? ÇÑÎÈ  

"Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada kamu. tetapi kamu tidak melihat," (Al Waqi'ah: 85)

Kita dapati para ulama salaf mentakwilkannya dengan Malaikat-malaikat kami. Maka yang dimaksud disini adalah bagaimana pensucian Allah dari berwujud dengan perwujudan yang terbatas di suatu tempat dan waktu. Maka tidak boleh kita menuduh pendapat yang berseberangan dengan kita dengan sesat atau kafir, kecuali memang terlihat niat untuk mensifati Allah dengan sesuatu yang tidak pantas bagiNya.

Sedangkan untuk permasalahan fiqh, maka ulama telah sepakat bahwa perbedaan di dalamnya sama sekali tidak berkaitan dengan kafir atau iman. Kita dapati para Sahabat Rasulullah R.a telah berbeda dalam beberapa masalah fiqih. Misalnya mereka berbeda pendapat dalam hadis tidak shalat asar seorang pun kecuali di Bani Quraidzah. Tidak ada masalah di antara mereka, mereka tetap satu barisan memerangi Yahudi.

Begitu juga kita temukan dalam hadis lain mereka berbeda pendapat tentang hukum sahnya shalat dengan tayammum tapi kemudian menemukan air sebelum habisnya waktu shalat tadi. Sebagian mengulang shalat dan sebagian tidak. Keduanya benar dan habis perkara. Maka perbedaan/khilaf fiqh bukanlah perbedaan dalam agama dan bukan pula pemecah belah, melainkan hanya perbedaan ijtihad dalam memahami teks.

Coba lihat firman Allah Ta'ala dalam surah Ali Imran: 105,

Ÿwur (#qçRqä3s? tûïÏ%©!$%x. (#qè%§xÿs? (#qàÿn=tF÷z$#ur .`ÏB Ï÷èt/ $tB æLèeuä!%y` àM»oYÉit6ø9$# 4 y7Í´¯»s9'ré&ur öNçlm; ë>#xtã ÒOŠÏàtã ÇÊÉÎÈ  

"Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. mereka Itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat,"

Yang Allah inginkan disini agar kita jangan mengikuti Yahudi dan Nasrani yang agama mereka terpecah belah, membentuk kelompok-kelompok yang bertentanagn dan saling mengkafirkan, seperti protestan,katolik dan ortodoks. Perbedaan antar kelompok-kelompok ini berada pada pokok aqidah mereka dan bukan dalam ranah ijtihad.

Sedangkan aqidah kita umat Islam jelas tanpa ada pertikaian padanya. Tidak ada pertikaian antar kaum muslimin dalam masalah pokok aqidah mereka. Aqidah disini adalah bahwasanya Allah itu Esa tidak mempunyai serikat, tidak ada yang menyerupaiNya dan bagiNya al Asmaa al Husna.

Jika kita temukan perdebatan dalam beberapa ayat atau hadis, maka permasalahannya bukanlah dalam hal pensucian Allah. Pensucian Allah telah mutlak bagi kita. Hanya saja perbedaan terjadi seputar pemahaman makna bahasa dari lafaz: Apakah yang dimaksud itu majaz atau haqiqah (makna sebenarnya)? Dan ini mustahil dianggap sebagai perbedaan dan perpecahan dalam agama.

Begitu juga dengan firman Allah Ta'ala dalam surah Al An'am: 159 tadi. Ayat ini terletak setelah pembicaraan tentang Ahli Kitab. Ayat ini bermaksud peringatan kepada kaum muslimin agar tidak terjatuh kepada kesalahan yang sama. "Tafriq" disini maksudnya adalah perpecahan aqidah, bukan perbedaan mazhab dan ijtihad yang masih dalam nilai-nilai agama.

Sedangkan ayat surah Ar Rum: 31-31 telah berbicara tentang agama dimulai dari ayat sebelumnya, yaitu:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$# 

 ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ä¨$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  

Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar Rum:30)

Karena ayat berikutnya { Ïmøs9Î) ûüÎ6ÏYãB} adalah keterangan 'hal' dari ayat pertama {OÏ%r'sù}. Maksudnya hendaklah kita istiqamah dalam agama tauhid ini dan hidup dalam pedoman dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya. Sedangkan mereka yang ingin menyisihkan diri dari jamaah tauhid, berkeinginan menimbulkan kekacauan yang bisa memecah belah umat, maka mereka bertanggungjawab kepada Allah atas apa yang mereka perbuat.

Disini tidak ada seorang pun ulama yang hanif bahkan kalangan awam dari generasi salaf, yang menyatakan bahwa khilaf dan perbedan fiqih adalah pemecah belah umat. Karena khilaf dalam fiqih hanya perbedaan yang timbul dari perbedaan cara pandang dalam memahami nash.

Contoh lain misalnya ayat,
÷rr& ãLäêó¡yJ»s9 uä!$|¡ÏiY9$#

Apakah sekedar menyentuh lawan jenis membatalkan wudu'? Atau dengan makna tertentu yang mana disini berarti hubungan suami istri? Belum pernah satu pun ulama yang mengatakan perdebatan ini menyentuh pokok-pokok agama sehingga memecah belah umat.

Lalu apa hubungannya dengan hadis yang sering disebut-sebut untuk mengklaim bahwa kebenaran hanya pada kelompoknya, yaitu hadis: "Yahudi berpecah belah menjadi 71 kelompok, Nasrani berpecah belah menjadi 72 kelompok, sedangkan umatku berpecah belah menjadi 73 kelompok"

Berdasarkan pembahasan kita sebelumnya maka hadis ini tidak bisa dipakaikan kepada khilaf fiqih dan mazhab-mazhab yang ada. Kemungkinan yang paling dekat ketika memahami hadis ini adalah untuk perpecahan dan khilaf dalam politik. Karena pertentangan dalam politik sesama umat Islam menyebabkan kehancuran kekuatan Islam di hadapan musuh-musuhnya.

Kemudian, jika kita pahami bahwa perpecahan yang dimaksud oleh Rasulullah Saw adalah perpecahan politik, lalu apakah mungkin perpecahan ini mengantarkan kepada neraka kecuali satu kelompok saja? Kenapa tidak kita anggap kelompok-kelompok ini sebagai ragam ijtihad politik?

Perpecahan politik  yang saya maksud disini adalah perpecahan yang disebabkan murni oleh perbedaan ijtihad politik untuk mencapai kemaslahatan umat, bukan perpecahan karena nafsu berkuasa seseorang tanpa mempedulikan kesatuan umat. Bukan pula perpecahan karena niat buruk untuk merusak kesatuan umat atau karena campur tangan musuh-musuh Islam dalam menghasut dan mendanai salah satu kelompok hingga melemahkan kekuatan Islam. Karena kalau sudah seperti itu tidak diragukan lagi bahwa itu sebuah perpecahan hakiki, nyata dan sangat berbahaya.

Ketika kita kembali membaca sejarah masa lalu umat ini, kita akan menemukan masa yang disebut 'fitnah kubra'. Suatu masa dimana terjadi perpecahan diantara sahabat-sahabat Rasulullah radhyiallahu 'anhum jami'an hingga menimbulkan perang. Saat itu kaum muslimin sepakat bahwa perpecahan yang terjadi hanya masalah politik, kelompok yang satu tidak mengkafirkan kelompok yang lain, tapi hanya dianggap sebagai fitnah.

Kemudian muncullah para ulama setelah itu yang menyatakan bahwa perpecahan yang terjadi dikarenakan perbedaan ijtihad politik. Maka Mu'awiyah R.a bisa jadi benar atau salah dan kesalahannya dimaafkan. Begitu juga Ali R.a bisa jadi benar atau salah dan kesalahannya dimaafkan. Artinya para ulama ketika menghukumi sebuah perkara tidak mengeluarkan umat yang berbeda pendapat dari agamanya atau mencapnya sebagai ahli neraka.

Coba renungkan, kalaulah saja hadis ini tidak bisa dipakaikan kepada peristiwa sebesar fitnah kubra yang mana kaum muslimin saling berbunuhan saat itu, bagaimana mungkin hadis ini dipakaikan kepada masalah perdebatan sikap politik selain itu?

Maka masalah besar yang kita hadapi sekarang adalah adanya sebagian kelompok yang menggunakan kaedah dari hadis ini untuk menghukumi perbedaan pemikiran, fiqih dan politik sehingga kemudian menamakan diri mereka sebagai firqah najiyah, satu-satunya kelompok yang selamat.


Wallahu A'lam

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Apakah Perang Iran-Israel Nyata atau Pura-pura? Membedah Perang Proksi dan Perebutan Pengaruh di Timur Tengah

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Tulisan Baru