Simfoni Klakson Jalanan Kairo
Di Perancis, menyentuh klakson mobil berarti sebuah ungkapan kemarahan, sedangkan di Jakarta lebih sebagai tanda peringatan. Di Kairo, membunyikan klakson sudah seperti gerakan reflek saja. Akibatnya, jalanan kota itu menjadi panggung simponi terbesar di dunia.
Sebagai sebuah produk budaya, klakson ternyata dipahami secara berbeda di tiap tempat. Meski memiliki fungsi sama, makna yang terkandung kadang lain. Anda bisa menikmati atau mungkin mengumpat saat mendengar lengkingan klakson bersahutan di jantung negeri para Firaun.
Sebagaimana jamaknya ibukota negara lain, Kairo tidak banyak memiliki karakteristik menyimpang. Gedung menjulang, manusia berjibun hingga kemacetan lalu lintas. Semua bersatu padu dengan debu yang beterbangan dan polusi yang demikian tinggi, plus sampah yang ada di mana-mana. Keindahan Kairo sebenarnya hanya bisa dipahami dari aspek budaya tuanya melalui berbagai peninggalan yang sangat kaya.
Memasuki kota terbesar di belahan utara Afrika ini seolah masuk dalam sebuah gua: warna muram berbagai gedung menjulang seolah memberikan salam, sedangkan pakaian yang bergantungan di aneka apartemen menjadi spanduk selamat datang. “Coklat tua penuh debu” adalah empat kata yang merepresentasikan aneka gedung di hampir semua tempat.
Kekumuhan” itu akan berganti bila kita memasuki ruang dalamnya. Hampir semua lumayan bersih dan menyenangkan. Bahkan banyak tempat yang nyaman untuk tinggal. Masyarakat setempat barangkali sudah menyerah dalam berperang melawan debu yang begitu massif, datang tiba-tiba serta membuat semua lipstik bangunan belepotan. Mereka cukup bertahan di dalam ruangan yang sejuk dan nyaman. Toh sang lawan sulit melakukan infiltrasi melalui jendela yang tertutup rapat.
Lain lagi urusan di jalan raya. Di sini the real battle menyeruak di banyak tempat. Aneka merek mobil baru bertarung dengan taksi Lada buatan Soviet keluaran tahun 1980-an, bus tua serta truk pengangkut rumput, untuk bisa menembus kemacetan yang akut. Tidak ada pemenang. Semua berakhir dengan kelambatan dan kondisi mobil yang penuh luka: mulai tergores hingga penyok.
Lihai zig zag di Kebayoran lama Jaksel atau selap selip di Avenue des Champs-Elysees Paris tidak otomatis jagoan di jalanan Kairo. Perlu kecekatan tersendiri. Harus training lapangan dengan jam terbang tinggi. Tidak lupa, bahasa Arab pasar harus dikuasai dengan segala doa yang menyertai. Bahkan, tingkat kesabaran juga perlu diasah lebih bila tidak ingin terjangkit darah tinggi.
Di jalanan kota tempat faraon ribuan tahun lalu bermukim ini, sangat jarang dipasang traffic light. Hanya mengandalkan kesadaran dan kesabaran semata. Masalahnya, dua hal tersebut jarang muncul di jalanan sehingga banyak perempatan menjadi ajang kemacetan dan medan perjuangan sangat unik. Semua ingin cepat dan tidak mau mengalah kecuali benar-benar terpepet. Hukum rimba, mungkin kata yang paling tepat menggambarkan perhelatan jalanan di Kairo.
Uniknya, beberapa perempatan yang dipasang traffic light seolah diabaikan oleh pengendara. Lampu hijau hidup, pengendara jalan kencang. Lampu kuning tetap jalan. Lampu merah tidak perduli. Bila memiliki perasaan, mungkin lampu traffic light itu sudah sangat tersinggung dengan kelakuan para pengemudi yang melecehkan.
Bahkan, seorang polisi yang berada persis di dekat lampu lalu lintas terlihat juga cuek ketika lampu merah diabaikan para pengendara. Sang polisi malah kemudian sibuk mengatur lalu lintas yang semrawut dibawah kerlap-kerlip lampu lalu lintas -- merah kuning hijau. Entah siapa yang pinter dan siapa bodoh dalam hal ini. Wallahu a’lam.
Anehnya juga, lampu sign (sein) mobil juga kurang berguna. Mesti sudah kelap kelip akan belok ke kiri misalnya, tetapi seolah mobil di samping dan belakang cuek bebek, seperti dunia aman tenteram dan tidak terjadi apapun. Yang lebih penting dari lampu sein, kata seorang kawan setempat, pengemudi atau rekannya dapat mengeluarkan tangannya dari jendela melambai-lambai meminta jalan. Biasanya body language seperti ini malah mendapatkan respon yang positif.
Meski di malam hari, banyak mobil tidak menggunakan lampu. Semua itu karena kota terang benderang sehingga mobil yang tanpa lampu-pun akan terlihat jelas. Aneh saja, sebagian mereka mengatakan bahwa sorot lampu di malam hari menganggu pemandangan. Lain ladang, lain pula belalangnya.
Nah, akibat itu semua bisa dibayangkan kemacetan yang terjadi: klakson mobil dan motor bersahutan tanpa jeda seolah simponi jalanan dengan derigen polisi yang kadang muncul dan lampu traffic light yang memberikan nuansa kerlap kerlip. Panggung jalanan itu berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga tengah malam. Keindahannya tentu sangat tergantung siapa yang mendengar dan bagaimana mensikapinya.
“Saya dulu sebel banget melihat kompleksitas lalu lintas disini dengan klakson yang tanpa henti. Tapi setelah 3 bulan, saya menjadi biasa dan bahkan menikmati,” ujar seorang teman yang sudah setengah tahun tinggal di Kairo.
Meskipun begitu, bukan berarti kehidupan jalanan penuh keharmonisan. Akibat saling serobot dan tidak mau mengalah, banyak serempetan dan tabrakan terjadi. Hampir semua mobil disini penuh luka akibat gesekan dan benturan dengan lainnya. Dibiarkan begitu saja. Yang penting tetap bisa berjalan.
Manakala terjadi gesekan hingga tabrakan, adu mulut menjadi pemandangan umum. Masing-masing pihak merasa benar sendiri. Tapi uniknya, kalau lawan orang Mesir jangan memakai kata-kata langsung yang menohok. Cara mengalahkan mereka adalah dengan cara menyanjung. Misalnya, “Anda pasti tidak sengaja menabrak saya, karena Anda orang penuh kehati-hatian,” atau “Bisa jadi saya yang salah, Anda yang benar. Kan orang Mesir sangat berbudaya.” Bisa juga kalau kita ingin membuat marah mereka cukup dengan mengatakan, “Anda pasti bukan orang Mesir!”.
Umumnya dengan mengatakan sebaliknya, mereka akan merasa tersanjung, luluh hatinya dan kemudian redam emosinya. Pertikaian di jalan raya umumnya tidak diselesaikan secara hukum, cukup berdamai dan menganggap itu sebagai suatu takdir semata. Tidak perlu urusan dengan asuransi apalagi polisi.
Di atas puncak emosi, dua pengendara yang berantem itu akan mengakhirinya dengan sebuah ajakan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa: fa tawakkal alallah la haula wala kuwata illa billah. Kemudian sang lawanpun juga mengajak segera melantunkan sholawat nabi: sollu alan nabi. Bereslah semua urusan. Bisa pulang ke rumah dengan damai di hati meski penyok di bumper mobil.
Bila demikian, dapatkah Anda simpulkan bahwa eksotika simponi jalanan kota Kairo selalu berakhir dengan keindahan religi?
Sebagai sebuah produk budaya, klakson ternyata dipahami secara berbeda di tiap tempat. Meski memiliki fungsi sama, makna yang terkandung kadang lain. Anda bisa menikmati atau mungkin mengumpat saat mendengar lengkingan klakson bersahutan di jantung negeri para Firaun.
Sebagaimana jamaknya ibukota negara lain, Kairo tidak banyak memiliki karakteristik menyimpang. Gedung menjulang, manusia berjibun hingga kemacetan lalu lintas. Semua bersatu padu dengan debu yang beterbangan dan polusi yang demikian tinggi, plus sampah yang ada di mana-mana. Keindahan Kairo sebenarnya hanya bisa dipahami dari aspek budaya tuanya melalui berbagai peninggalan yang sangat kaya.
Memasuki kota terbesar di belahan utara Afrika ini seolah masuk dalam sebuah gua: warna muram berbagai gedung menjulang seolah memberikan salam, sedangkan pakaian yang bergantungan di aneka apartemen menjadi spanduk selamat datang. “Coklat tua penuh debu” adalah empat kata yang merepresentasikan aneka gedung di hampir semua tempat.
Kekumuhan” itu akan berganti bila kita memasuki ruang dalamnya. Hampir semua lumayan bersih dan menyenangkan. Bahkan banyak tempat yang nyaman untuk tinggal. Masyarakat setempat barangkali sudah menyerah dalam berperang melawan debu yang begitu massif, datang tiba-tiba serta membuat semua lipstik bangunan belepotan. Mereka cukup bertahan di dalam ruangan yang sejuk dan nyaman. Toh sang lawan sulit melakukan infiltrasi melalui jendela yang tertutup rapat.
Lain lagi urusan di jalan raya. Di sini the real battle menyeruak di banyak tempat. Aneka merek mobil baru bertarung dengan taksi Lada buatan Soviet keluaran tahun 1980-an, bus tua serta truk pengangkut rumput, untuk bisa menembus kemacetan yang akut. Tidak ada pemenang. Semua berakhir dengan kelambatan dan kondisi mobil yang penuh luka: mulai tergores hingga penyok.
Lihai zig zag di Kebayoran lama Jaksel atau selap selip di Avenue des Champs-Elysees Paris tidak otomatis jagoan di jalanan Kairo. Perlu kecekatan tersendiri. Harus training lapangan dengan jam terbang tinggi. Tidak lupa, bahasa Arab pasar harus dikuasai dengan segala doa yang menyertai. Bahkan, tingkat kesabaran juga perlu diasah lebih bila tidak ingin terjangkit darah tinggi.
Di jalanan kota tempat faraon ribuan tahun lalu bermukim ini, sangat jarang dipasang traffic light. Hanya mengandalkan kesadaran dan kesabaran semata. Masalahnya, dua hal tersebut jarang muncul di jalanan sehingga banyak perempatan menjadi ajang kemacetan dan medan perjuangan sangat unik. Semua ingin cepat dan tidak mau mengalah kecuali benar-benar terpepet. Hukum rimba, mungkin kata yang paling tepat menggambarkan perhelatan jalanan di Kairo.
Uniknya, beberapa perempatan yang dipasang traffic light seolah diabaikan oleh pengendara. Lampu hijau hidup, pengendara jalan kencang. Lampu kuning tetap jalan. Lampu merah tidak perduli. Bila memiliki perasaan, mungkin lampu traffic light itu sudah sangat tersinggung dengan kelakuan para pengemudi yang melecehkan.
Bahkan, seorang polisi yang berada persis di dekat lampu lalu lintas terlihat juga cuek ketika lampu merah diabaikan para pengendara. Sang polisi malah kemudian sibuk mengatur lalu lintas yang semrawut dibawah kerlap-kerlip lampu lalu lintas -- merah kuning hijau. Entah siapa yang pinter dan siapa bodoh dalam hal ini. Wallahu a’lam.
Anehnya juga, lampu sign (sein) mobil juga kurang berguna. Mesti sudah kelap kelip akan belok ke kiri misalnya, tetapi seolah mobil di samping dan belakang cuek bebek, seperti dunia aman tenteram dan tidak terjadi apapun. Yang lebih penting dari lampu sein, kata seorang kawan setempat, pengemudi atau rekannya dapat mengeluarkan tangannya dari jendela melambai-lambai meminta jalan. Biasanya body language seperti ini malah mendapatkan respon yang positif.
Meski di malam hari, banyak mobil tidak menggunakan lampu. Semua itu karena kota terang benderang sehingga mobil yang tanpa lampu-pun akan terlihat jelas. Aneh saja, sebagian mereka mengatakan bahwa sorot lampu di malam hari menganggu pemandangan. Lain ladang, lain pula belalangnya.
Nah, akibat itu semua bisa dibayangkan kemacetan yang terjadi: klakson mobil dan motor bersahutan tanpa jeda seolah simponi jalanan dengan derigen polisi yang kadang muncul dan lampu traffic light yang memberikan nuansa kerlap kerlip. Panggung jalanan itu berlangsung sepanjang hari, dari pagi hingga tengah malam. Keindahannya tentu sangat tergantung siapa yang mendengar dan bagaimana mensikapinya.
“Saya dulu sebel banget melihat kompleksitas lalu lintas disini dengan klakson yang tanpa henti. Tapi setelah 3 bulan, saya menjadi biasa dan bahkan menikmati,” ujar seorang teman yang sudah setengah tahun tinggal di Kairo.
Meskipun begitu, bukan berarti kehidupan jalanan penuh keharmonisan. Akibat saling serobot dan tidak mau mengalah, banyak serempetan dan tabrakan terjadi. Hampir semua mobil disini penuh luka akibat gesekan dan benturan dengan lainnya. Dibiarkan begitu saja. Yang penting tetap bisa berjalan.
Manakala terjadi gesekan hingga tabrakan, adu mulut menjadi pemandangan umum. Masing-masing pihak merasa benar sendiri. Tapi uniknya, kalau lawan orang Mesir jangan memakai kata-kata langsung yang menohok. Cara mengalahkan mereka adalah dengan cara menyanjung. Misalnya, “Anda pasti tidak sengaja menabrak saya, karena Anda orang penuh kehati-hatian,” atau “Bisa jadi saya yang salah, Anda yang benar. Kan orang Mesir sangat berbudaya.” Bisa juga kalau kita ingin membuat marah mereka cukup dengan mengatakan, “Anda pasti bukan orang Mesir!”.
Umumnya dengan mengatakan sebaliknya, mereka akan merasa tersanjung, luluh hatinya dan kemudian redam emosinya. Pertikaian di jalan raya umumnya tidak diselesaikan secara hukum, cukup berdamai dan menganggap itu sebagai suatu takdir semata. Tidak perlu urusan dengan asuransi apalagi polisi.
Di atas puncak emosi, dua pengendara yang berantem itu akan mengakhirinya dengan sebuah ajakan berserah diri kepada Yang Maha Kuasa: fa tawakkal alallah la haula wala kuwata illa billah. Kemudian sang lawanpun juga mengajak segera melantunkan sholawat nabi: sollu alan nabi. Bereslah semua urusan. Bisa pulang ke rumah dengan damai di hati meski penyok di bumper mobil.
Bila demikian, dapatkah Anda simpulkan bahwa eksotika simponi jalanan kota Kairo selalu berakhir dengan keindahan religi?
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...