JAMALUDDIN AL-AFGHANI

Bapak Revolusi Kebangkitan Islam

Pendahuluan
                
Pergolakan kebangkitan umat Islam senantiasa bergelora dari zaman ke zaman. Dimulai dari masa penjajahan bangsa-bangsa Eropa terhadap tanah-tanah umat Islam, hingga sampai ke zaman penjajahan pemikiran seperti yang kita rasakan. Umat Islam seakan digiring untuk menjauhi inti pokok ajaran Islam itu sendiri. Tentu saja patut disyukuri ketika terus bermunculannya gerakan-gerakan yang mengusung kebangkitan Islam sebagai dasar berdirinya dengan berbagai macam corak dan gayanya. Ada yang bergerak di bidang politik dan ada pula di bidang pendidikan.
                
Hanya saja disayangkan gerakan-gerakan tersebut belum satu kata satu langkah. Bagaimana mungkin ketika yang satu membangun sedang yang lain meruntuhkan. Bangunan yang dicita-citakan tentu tidak akan pernah terwujud. Persatuan umat Islam saat ini masih berupa cita-cita di dalam diri mereka yang ikhlas berjuang untuk agamanya.

              
 Mengingat kembali semangat dan gelora kebangkitan Islam itu dengan mempelajari riwayat hidup, pemikiran dan cita-cita para tokohnya adalah cara yang paling mujarab untuk membangkitkan kembali kesadaran umat. Berikut ini penulis akan membahas sepenggal riwayat hidup bapak revolusioner Islam, Jamaluddin al-Afghani (1839-1897 M). Karena beliaulah yang paling lantang meneriakkan kebangkitan politik umat Islam di atas panji persatuan, persatuan atas nama Islam dan kemerdekaan kebangsaan nasional negara-negara Islam. Kajian ini akan berkisar seputar seperti apa dan bagaimana pemikiran kebangkitan Islam ala Jamaluddin al-Afghani muncul.

Riwayat Hidup
                
Jamaluddin al- Afghani adalah salah seorang pemimpin pergerakan Islam pada akhir abad ke-19 yang agak berbeda dari kedua pemimpin sebelum dia: Muhammad bin Abdul Wahab (abad-18) dan Muhammad bin Ali al-Sanusi (awal abad-19).[1] Beliau adalah seorang arsitek dari kebangkitan intelektual Islam modern, dan seorang pemikir anti-imperialis. Jamaluddin al-Afghani lahir di  kota As'adabad, Afghanistan tahun 1839 M dan meninggal dunia di Istambul di tahun 1897 M.[2]
                
Sayyid Shaftar adalah ayah Afghani yang dikenal dengan gelar Shaftar al-Husaini. Beliau tergolong keluarga ulama terhormat dan mempunyai hubungan nasab dengan Hussein bin Ali R.A, dan dari pihak Ali al-Tirmizi, seorang ulama perawi hadis. Afghani mempelajari berbagai ilmu pengetahuan. Diantara adalah bahasa Arab yang meliputi nahwu, sharaf, ilmu bayan dan ma’aninya: ilmu syari’ah yang meliputi tafsir, hadis dan musthalahnya, fiqh dan ushulnya: ilmu kalam, ilmu tasawwuf, filsafat, logika, etika dan politik: fisika dan ilmu pasti, yang mencakup matematika, geometri, aljabar, ilmu kedokteran dan anatomi.[3]
                
Dengan bekal penguasaan ilmu pengetahuan dari berbagai disiplin, akhirnya muncullah sosok jamaluddin al-Afghani dengan karakternya yang khas. Seperti ditulis oleh Hourani, Afghani digambarkan sebagai seorang yang sangat setia dengan keyakinan-keyakinannya dan tegar dalam menegakkan keyakinannya tersebut, bersikap zuhud tetapi cepat marah apabila disinggung kehormatan diri dan agamanya.[4]

                Setelah membekali dirinya dengan seluruh cabang ilmu pengetahuan di Timur dan Barat (terutama Paris, Perancis), Al-Afghani mempersiapkan misinya membangkitkan Islam. Pertama-tama ia masuk ke India, negara yang sedang melintasi periode yang kritis dalam sejarahnya. Afghani turut ambil bagian dari periode yang genting ini, dengan bergabung dalam peperangan kemerdekaan India pada bulan Mei 1857. Namun, Afghani masih sempat pergi ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
                
Sepulang dari haji, Afghani pergi ke Kabul. Di kota ini ia disambut oleh penguasa Afghanistan, Dost Muhammad, yang kemudian menganugerahinya posisi penting dalam pemerintahannya. Saat itu, Dost Muhammad sedang mempertahankan kekuasaannya dengan memanfaatkan kaum cendekiawan yang didukung rakyat Afghanistan. Sayang, ketika akhirnya Dost terbunuh dan takhtanya jatuh ke tangan Sher Ali, Afghani diusir dari Kabul.[5]
                
Meninggalkan Kabul, Afghani berkelana ke Hijjaz untuk melakukan ziarah. Rupanya, efek pengusiran oleh Sher Ali berdampak bagi perjalanan Afghani. Ia tidak diperbolehkan melewati jalur Hijjaz melalui Persia. Ia harus lebih dulu masuk ke India. Pada tahun 1869 Afghani masuk ke India untuk yang kedua kalinya. Ia disambut baik oleh pemerintah India, tetapi tidak diizinkan untuk bertemu dengan para pemimpin India berpengaruh yang berperan dalam revolusi India. Khawatir pengaruh Afghani akan menyebabkan pergolakan rakyat melawan pemerintah kolonial, pemerintah India mengusir Afghani dengan cara mengirimnya ke Terusan Suez yang sedang bergolak.[6]
                
Di Mesir Afghani melakukan kontak dengan mahasiswa Al-Azhar yang terkagum-kagum dengan wawasan dan ide-idenya. Salah seorang mahasiswa yang kemudian menjadi murid Afghani adalah Muhammad Abduh.[7] Dari Mesir, Afghani pergi ke Istanbul untuk berdakwah. Di ibu kota Turki ini Afghani mendapat sambutan yang luar biasa. Ketika memberi ceramah di Universitas Konstantinopel, salah seorang ulama setempat, Syaikhul Islam, merasa tersaingi. Ia segera menghasut pemerintah Turki untuk mewaspadai gagasan-gagasan Afghani. Buntutnya, Afghani didepak keluar dari Turki. Pada tahun 1871.
                
Afghani menjejakkan kakinya di Kairo untuk yang kedua kalinya. Di Mesir Afghani melanjutkan dakwahnya yang pernah terputus dan segera mempengaruhi para mahasiswa dan ulama Al-Azhar. Tetapi, pemberontakan kaum nasionalis Mesir pada tahun 1882 berujung pada tindakan deportasi oleh pemerintah Mesir yang mencurigai Afghani ada di belakang pemberontakan.[8]
                
Afghani dideportasi ke India (1879), tetapi tak lama ia sudah berada dalam perjalanan ke London (1883), kota yang pernah disinggahinya ketika ia berdakwah ke Paris. Di London ia bertemu dengan Muhammad Abduh, muridnya yang ternyata juga dikucilkan oleh pemerintah Mesir.[9]
               
 Dari London, Afghani bertualang ke Moskow (1890). Ia tinggal selama empat tahun di St. Petersburgh. Di sini pengaruh Afghani segera menjalar ke lingkungan intelektual yang dipercaya oleh Tsar Rusia. Salah satu hasil dakwah Afghani kepada mereka adalah keluarnya izin pencetakan Al-Quran ke dalam bahasa Rusia. Dan akhirnya memenuhi undangan Sultan Abdul Hamid sampai dia meninggal di Istanbul sebagai tahanan politik pada tahun 1897.[10]

Latar Belakang Pemikiran Jamaluddin al-Afghani
                
Sebuah pemikiran tentu mempunyai latar belakang yang sangat berpengaruh dalam pembentukannya. Apalagi sebuah ide yang terus hidup beratus tahun dan terus diperjuangkan oleh pengusungnya. Maka tidak diragukan lagi pemikiran Jamaluddin al-Afghani berdasarkan pondasi dan proses pematangan yang kuat.
a.       
Kondisi Keluarga.

Jamaluddin al-Afghani dilahirkan di tengah keluarga ulama dan bangsawan terhormat. Beliau mempunyai hubungan nasab dengan Hussein bin Ali R.A., sekaligus dengan seorang perawi hadis yang sangat masyhur, Sayyid Ali al-Tirmizi. Oleh karena itu di depan nama Jamaluddin al-Afghani diberi title ‘Sayyid’. Keluarga Afghani adalah penganut mazhab Hanafi yang taat. Dididik oleh ayahnya, beliau sudah hafal al-Qur’an sejak umur 12 tahun, kemudian ketika menginjak 18 tahun, beliau sudah mendalami pelbagai bidang ilmu keislaman dan ilmu umum.

Pada umur delapan tahun, beliau sudah merasakan bagaimana pemerintahan tirani dan penjara rumah. Pada umur yang sangat belia ini pemerintah Afghanistan, Dost Muhammad Khan, memerintahkan beliau sekeluarga untuk pindah ke ibukota, Kabul, untuk pengawasan ketat terhadap keluarganya.[11] 
b.      
Kondisi Social, Ekonomi dan Budaya.

Umat Islam yang ditemukan oleh Afghani di masa itu adalah umat yang lemah. Umat yang terpecah-pecah sehingga saling acuh satu sama lainnya. Umat yang telah kehilangan rasa persaudaraan dan solidaritas sesama muslim yang menjadikan masyarakat Islam rentan terhadap perpecahan. Semua sibuk dengan kekuasaan masing-masing, sibuk dengan kelompok dan pertikaian antar mazhab, mazhab fikih maupun aqidah.[12]

Abad 16-18 ditandai dengan penjajahan ekonomi dan militer di tanah muslim oleh Negara-negara Barat yang didukung oleh Gereja. Kampanye ini juga penting bagi Barat dalam mengendalikan bahan baku dan rute laut untuk kegiatan perdagangan mereka. Umat Islam tertindas secara ekonomi dan beralih kepada bangsa pekerja/buruh.

Kebudayaan Islami juga mulai terkikis oleh pengaruh budaya Barat. Umat Islam sudah mulai condong meniru-niru apa saja yang berbau Barat. Mulai dari cara pergaulan, cara berpakaian, cara berbicara dan cara berpikir terhadap agama dan kebangsaan.
c.       
Kondisi politik Dalam dan Luar Negeri

Kondisi dalam negeri setiap Negara Islam saat itu juga sangat rapuh. Selalu terdapat perpecahan di dalam tubuh pemerintahan. Pemerintahan tirani dan otokrasi yang absolute masih mengungkung Negara-negara Islam sehingga sulit untuk berkembang. Pemerintahan dipercayakan bukan kepada orang yang tepat, mengabaikan masalah pertahanan militer dan menyerahkan administrasi Negara kepada orang-orang yang tidak kompeten di bidangnya. Pemerintah yang selalu meminta bantuan penjajah untuk melanggengkan kekuasaannya menjadikan Barat semakin leluasa menancapkan kukunya.[13]

Kondisi politik luar negeri Negara Islam juga sangat lemah. Intervensi asing mengaduk-aduk urusan rumah tangga Negara. Kebijakan politik dan pengaturan sumber daya dikuasai pihak asing. Penjajahan Barat, terutama Inggris terhadap Negara-negara Islam menjadikan umat Islam tidak memiliki kebebasan dan hak politik. Pihak asing selalu memanfaatkan pemerintah yang dictator namun lemah untuk mengokohkan hegemoninya terhadap Negara-negara Islam.[14]
d.      
Pemikiran dan Geliat Keagamaan.

Pemikiran umat Islam saat itu juga tertinggal karena semakin jauhnya umat dari ajaran Islam yang murni. Takhyul , khurafat dan bid’ah melalaikan umat dari konsentrasi penerapan Islam secara kaffah. Umat Islam telah dipengaruhi sifat statis, taklid buta, pasrah kepada keadaan, meninggalkan akhlak yang tinggi dan mengabaikan ilmu pengetahuan. Umat Islam dihantui rasa minder dan inferior dihadapan kemajuan peradaban Barat.[15]

Ide Pembaharuan Jamaluddin al-Afghani

Beberapa ide pembaharuan yang selalu disuarakan oleh Al-Afghani adalah:
a.       Kembali kepada ajaran Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Islam adalah agama komprehensif. Ia tidak hanya menyangkut ibadah dan hukum, tetapi juga menyangkut pemerintahan dan sosial. Hati mesti disucikan, budi pekerti luhur dihidupkan kembali dan kesediaan berkorban untuk kepentingan umat. Dengan berpegang teguh kepada ajaran dasar umat Islam akan dapat bergerak mencapai kemajuan.

b.      Dalam menghadapi perkembangan zaman, umat Islam harus tetap membuka lebar pintu ijtihad. Ijtihad merupakan satu unsure yang penting dalam ajaran islam. Melalui ijtihad masalah-masalah`yang tidak ada di dalam Al-Qur’an dan Hadits secara rinci dapat dipecahkan. Dengan demikian ijtihad merupakan kunci dinamika Islam.[16]

c.       Corak pemerintahan otokrasi harus dirubah dengan corak pemerintahan demokrasi. Kepala Negara harus mengadakan syura dengan pemimpin-pemimpin masyarakat yang mempunyai banyak pengalaman. Islam dalam pendapat al-Afghani menghendaki pemerintahan Republik yang di dalamnya terdapat kebebasan mengeluarkan pendapat dan kewajiban kepala Negara untuk tunduk kepada undang-undang. Karena itu al-Afghani menghendaki umat Islam bebas dari pemerintahan kolonial.[17]

d.      Persatuan umat Islam harus diwujudkan kembali. Dengan bersatu dan mengadakan kerjasama yang eratlah umat Islam akan dapat kembali memperoleh kemajuan. Dalam pandangan Afghani kekuatan dan kelanjutan hidup umat Islam bergantung kepada kekuatan solidaritas Islam. Persatuan dan kerjasama merupakan sendi yang amat penting dalam Islam.[18]

e.      Pemikirannya yang dianggap sangat berbahaya oleh dunia Barat adalah doktrin politik Pan-Islamisme. Pan-Islamisme yang dimaksud al-Afghani bukanlah meletakkan segala kekuatan di tanagn satu orang khalifah, sebab ini dianggap tidak mungkin. Yang diharapkan adalah agar umat Islam tunduk kepada Al-Qur’an, menjadikan agama sebagai pemersatu, tiap Negara Islam berusaha dengan sekuat tenaga untuk turut membela Negara Islam yang lain, karena wujud tiap Negara Islam sangat bergantung kepada wujud Negara Islam yang lain. Rasa solidaritas, rasa seagama dan rasa seperjuangan yang ditanamkan oleh al-Afghani dianggap sebagai ide yang paling berbahaya karena mampu menggoyahkan kedudukan Inggris sebagai penguasa di dunia Islam.[19]                             

f.        Islam adalah agama yang selaras dengan prinsip-prinsip penalaran ilmiah yang terdapat di dalam sains. Islam bukanlah agama yang bertentangan dengan akal dan ilmu pengetahuan. Beliau menyatakan bahwa tidak satu pun prinsip-prinsip dasar Islam yang tidak cocok dengan akal dan ilmu pengetahuan. Dalam satu pidatonya beliau mempermalukan Ernest Renan yang menuduh Islam bertentangan dengan akal dan membatasi kebebasan berpikir, dan klaim bahwa bangsa arab tidak mampu berpikir filosofis yang runut.[20]    

g.       Menurut beliau Persatuan Islam (Jami'ah Islamiyah) tidak bertentangan dengan Persatuan Nasional Kebangsaan (Jami'ah Qaumiyah). Kedua unsur tersebut saling menopang untuk kemerdekaan dan kemandirian negara dari pihak asing. Persatuan agama sehingga semua umat Islam saling membantu sesama saudaranya tanpa terpecah-pecah oleh batas territorial. Persatuan nasional sehingga anak bangsa bersatu mengusir pengaruh dan campur tangan asing dari daerahnya. 'Sesungguhnya Mesir milik orang-orang Mesir' begitu bunyi salah satu khutbah beliau. Beliau berhasil melepaskan pemahaman nasionalis yang sempit kepada sesuatu yang lebih luas daripada itu. Beliau menggandengkan Persatuan Islam dengan pendirian Pemerintah Nasional di dalam lingkup keislaman yang luas.[21]

Analisis Korelasi Konteks dengan Pemikiran
                
Dalam setiap kehidupan seorang pemikir dan pejuang, kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya sepanjang sejarah hidupnya, memiliki hubungan yang sangat kuat dalam pembentukan cara pandang dan sikapnya. Oleh karena itu dapatlah kita katakan bahwa kehidupan, mazhab dan cara pandangnya adalah perwujudan keadaan zaman yang dia lalui, sebagai bentuk jawaban dari solusi perkembangan masyarakat dan juga tantangan dan motor pendorong perkembangan masyarakat tersebut. Namun di sisi lain bisa juga menjadi factor penghambat kemajuan itu sendiri.
                
Jamaluddin al-Afghani, dididik di keluarga dengan ajaran Islam yang kental dan sudah merasakan pahitnya penindasan dari pemerintah tirani sejak belia. Hal ini menjadikan beliau sosok yang sangat kuat dalam membela agamanya sekaligus sangat vocal menentang setiap pemerintah yang zalim. Dalam perjalanan hidupnya, beliau selalu berusaha menjelaskan hakikat agama Islam dan mengajak kepada persatuan umat Islam untuk menentang penjajah dan membebaskan diri dari pemerintah yang absolute.
                
Kehidupan social yang jauh dari nilai-nilai Islam dan persatuan menyadarkan beliau akan urgensi kembali kepada ajaran Islam yang murni. Lepas dari khurafat, takhyul dan bid'ah yang menyebabkan umat Islam mundur dan terpecah-pecah. Beliau mengajak kepada saling pengertian dan saling menerima antar mazhab, dan melepaskan diri dari fanatik mazhab yang sempit.
                
Penindasan ekonomi oleh pemerintah yang sewenang-wenang dan intervensi asing ke dalam ekonomi negara mendorong Afghani menyuarakan kemandirian ekonomi masyarakat. Di sisi lain beliau menekankan bahwa Islam adalah agama yang mengajak kepada kemajuan, menekankan etos kerja dan keharusan mengambil sebab-sebab kemajuan. Islam bukan agama yang mangabaikan dunia dan meninggalkannya di tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Islam juga bukan agama yang berpasrah dan menanti nasib.
                
Untuk mengganti pemerintah otokrasi yang absolute Al-Afghani menginginkan model demokrasi. Dimana kebebasan politik dan bersuara dimiliki oleh setiap rakyat dan pemerintah dibatasi dan diatur oleh undang-undang. Karena hanya dengan inilah kemajuan itu bisa diwujudkan dengan melibatkan setiap elemen masyarakat untuk mencapainya, bukan oleh sekelompok orang saja.
                
Penjajahan dan intervensi Barat khususnya Inggris menumbuhkan sifat anti Barat di dalam diri Afghani. Namun di sisi lain Afghani menyadari bahwa kemajuan Barat adalah berkat ilmu pengetahuan. Sedangkan perhatian kepada ilmu pengetahuan sangat sedikit ditemukan di negara-negara Islam. Disinilah letak kelemahan Islam. Afghani selalu menggugah umat Islam untuk belajar dari pengalaman Barat. Beliau mengkritik ulama yang memisahkan antara ilmu agama dengan ilmu Barat. Karena akibat alasan ini ada ulama yang melarang mengajarkan beberapa jenis ilmu Barat di sekolah-sekolah. Artinya kebenciannya kepada Barat tidak menghalanginya untuk menyadari sebab-sebab kemajuan Barat. Kemudian tidak pula menutup matanya dari bahaya Barat hingga menerima apa saja yang berasal dari Barat.
                
Keadaan umat yang terpecah-pecah, asik berdebat satu sama lainnya hingga melupakan persaudaraan sesama muslim, mengabaikan ilmu pengetahuan dan melupakan penjajahan Barat yang semakin intens menjadikan hal-hal ini focus dakwah dari al-Afghani. Afghani selalu menyeru kepada penyadaran akan pentingnya penyatuan persepsi dalam membangkitkan peradaban Islam. Beliau mencita-citakan persatuan Islam di dalam kasih sayang dan persaudaraan, sepakat dalam kata dan langkah, sehingga membangkitkan produksi dan ilmu pengetahuan di bawah panji kemerdekaan nasional dan persatuan Islam.

Penutup
                
Begitulah sekelumit riwayat hidup serta ide-ide pembaharu dari seorang pemikir besar dan bapak revolusi Islam, Jamaluddin al-Afghani. Dimana salah seorang muridnya, Muhammad Abduh, berkata: "Beliau memberiku kehidupan yang dengannya aku bisa bersama Muhammad SAW dan Ibrahim A.S., dan para wali yang suci, sedangkan Bapakku memberiku kehidupan hingga aku bisa bersama dua saudaraku: Ali dan Mahrus. Tanpa berlebihan sesungguhnya apa yang dianugrahkan Allah kepadanya berupa kekuatan pikiran, luasnya wawasan dan kecemerlangan pandangan, adalah puncak tertinggi yg didapatkan oleh selain para Nabi!"[22] Semoga pemikiran dan apa yang beliau cita-citakan tetap lestari dan dijaga oleh semua pergerakan kebangkitan Islam, sehingga suatu saat nanti wujud nyata kebangkitan Islam itu dapat kita saksikan bersama. Amin.   
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                          


[1] Muhammad al-Bahily, Pemikiran Islam Modern, Pustaka Panji Mas, Jakarta, 1968, hal. 30
[2] Muhammad Imarah, Jamaluddin al-Afghani, Dar al-Syuruq, Kairo, 2008, hal. 22
[3] Tim Penyusun IAIN Syahid, Ensiklopedia islam Indonesia. Jambatan, Jakarta, 1992, hal. 62
[4] Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939, Oxford University press, London,1962, hal. 112
[5] Muhammad Imarah, op.cit, hal. 49
[6] Ibid, hal. 50
[7] Ahmad Amin, Zu’ama al-Ishlah fi al-‘Ashr al-Hadits, Maktabah al-Nahdhah al-Misriyah, Kairo, 1977, hal. 52
[8] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan gerakan, Bulan Bintang Jakarta, 1975, hal. 52
[9] Muhammad Imarah, op.cit, hal. 67
[10] Harun Nasution, op.cit, hal. 54
[11] Muhammad Imarah, op.cit, hal. 96
[12] Ibid, hal. 41
[13] Ahmad Amin, op.cit, hal. 89
[14] Muhammad Imarah, op.cit, hal. 98
[15] Ibid, hal. 70
[16] Ibid, hal. 97
[17] John L. Espositto, Islam The Straight Path, Oxford University Press, New York, 1988, hal. 130
[18] Ibid, hal. 130
[19] Muhammad Imarah, op.cit, hal. 69
[20] Ibid, hal. 70
[21] Ibid, hal. 158
[22] Ibid, hal. 87

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Apakah Perang Iran-Israel Nyata atau Pura-pura? Membedah Perang Proksi dan Perebutan Pengaruh di Timur Tengah

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Tulisan Baru