Analisis Historis; Korelasi Islam dengan Perjalanan Penegakan Hak Asasi Manusia

Pendahuluan

Kajian sejarah atau yang kita sebut analisis historis terhadap peradaban Islam, menjadi sesuatu yang sangat urgen di zaman media informasi ini. Periode dari tahap-tahap perkembangan peradaban kehidupan manusia tidak akan mampu tercerna, kecuali melalui sebuah penelitian dan pengkajian yang mendalam. Bukan karena ia hanya sepenggal dari potongan sejarah. Bukan pula disebabkan karena hanya menjadi titik tolak untuk terwujudnya peradaban modern. Namun karena sumbangsih dunia Islam terhadap perjalanan kemanusiaan memang berada pada posisi yang sangat penting. Kita tidak mungkin memahami perkembangan peradaban manusia dalam segala bidang, kecuali dengan pendalaman kebudayaan Islam, sejak zaman nubuwwah hingga saat ini. Zaman yang sangat agung. Zaman saat bibit-bibit kemanusiaan bersemi secara sempurna. Namun zaman ini terhapus dalam buku-buku sejarah kontemporer. Hal ini juga diamini oleh Gustav Lebon—pemuka sejarah Eropa ternama—bahwa masa yang disebut Era Pertengahan itu, dikenal oleh ilmuwan Barat sebagai dark age (masa kegelapan). Mereka malu mengakui bahwa kemajuan peradaban manusia dimulai dari Islam, bahwa Arablah dulu yang menjadi pemimpin dan guru mereka.


Kajian sejarah peradaban Islam mencapai posisi terpenting, seiring semakin gencarnya serangan, fitnah, dan tuduhan terhadap Islam serta kaum muslimin. Salah satu serangan tersebut adalah tuduhan bahwa kaum muslimin terpuruk dalam pusaran keterbelakangan, kejumudan pemikiran yg tidak berkembang, hak-hak asasi manusia yang terbelenggu, kekerasan, dan terorisme menjadi ciri kepribadian dan sifatnya. Sayangnya umat Islam kebanyakan hanya mampu berpangku tangan, berdiam diri, dan tak mampu membalas ataupun membela diri. Semua ini disebabkan kurangnya pengetahuan akan hakikat Islam.

Selain ketidaktahuan yang menyelubungi akal, muncullah rasa rendah diri dan putus asa yang menjajah perasaan kaum muslimin. Hal ini tidak lain disebabkan oleh kenyataan-kenyataan pahit yang diderita umat saat ini. Tidak dapat dipungkiri bagaimana peta politik Negara-negara Islam menimbulkan kesedihan yang mendalam. Sebagaimana kondisi keilmuan, kebudayaan, ekonomi, dan bahkan akhlak. Semua itu menunjukkan keterbelakangan yang tidak sepantasnya ada pada umat yang agung seperti Islam. Hal ini menyebabkan dampak-dampak negatif, berupa sikap yang cepat menyerah, begitu juga ketiadaan semangat yang sama sekali tidak dapat diterima.

Beranjak dari gambaran singkat pentingnya pemahaman sejarah diatas, berikut dengan pelik dan banyaknya tema yang terkandung di dalamnya, penulis mengangkat tema kajian ini dengan judul "Analisis Historis; Korelasi Islam dengan Perjalanan Penegakan Hak Asasi Manusia." Maka penulis membatasi kajian ini dengan hanya beredar seputar sejarah dan peran Islam dalam penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).
Sistematika kajian dimulai dari defenisi HAM dan batasan-batasan yang membantu pembaca memahami HAM dari sudut pandang terkini, yang dipahami bersama. Kemudian dilanjutkan dengan cuplikan penegakan HAM sebelum Islam, sebagai pembanding dengan penegakan HAM setelah munculnya Islam. Setelah itu penulis gambarkan manhaj beserta deklarasi penegakan HAM dalam Islam, yang tersirat sekaligus tersurat dalam Piagam Madinah dan Khotbah Wada`. Analisis penegakan HAM menurut Barat, dengan klaim bahwa Barat sebagai pelopor penegakan HAM di dunia, penulis goreskan di subjudul berikutnya. Lalu penulis tutup dengan kesimpulan dan pesan yang dirasa bermanfaat.

Kajian ringkas ini penulis harapkan mampu memberikan sedikit sumbangan terhadap cita-cita bersama, yaitu pembangunan umat dan mengembalikannya kepada trek yang seharusnya. Sebagaimana juga penulis harapkan, kajian ini bisa menjadi representasi bagi dunia tentang peran Islam dalam pembangunan peradaban manusia, khususnya dalam diskursus penegakan HAM.

Definisi HAM

Suatu kebutuhan mutlak, ketika menghukumi sesuatu haruslah terlebih dahulu memahami istilah-istilah yang digunakan dalam kajian tersebut. Kaidah umum yang selalu didengungkan para pakar Ushul Fikih adalah, “Al-Hukmu `ala syai’in far`un min tashawwurihi,” yang berarti, sebelum menghukumi sesuatu, hendaklah memahaminya terlebih dahulu.

Secara harfiah, pengertian hak adalah yang benar, tetap, kebenaran wajib, dan kepemilikan sah. Dalam bahasa Inggris disebut dengan right dan dalam bahasa Arab disebut dengan al-haqq, yang berarti lawan dari kebatilan.

 Apakah yang dimaksud dengan HAM? Dalam pembukaan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada tahun 1948, dijelaskan mengenai hak asasi manusia sebagai berikut, "Pengakuan atas keseluruhan martabat alami manusia dan kesamaan hak, yang tidak dapat dipindahkan kepada orang lain dari semua anggota keluarga, dan kemanusiaan adalah dasar kemerdekaan dan keadilan di dunia." Deklarasi tersebut bertujuan untuk melindungi kehidupan, kemerdekaan, dan keamanan pribadi; menjamin kebebasan menyatakan pendapat, berkumpul secara damai, berserikat, dan beragama, serta kebebasan bergerak; melarang perbudakan, penahanan sewenang-wenang, penahanan tanpa proses peradilan yang jujur dan adil, dan melanggar hak pribadi seseorang.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dijelaskan bahwa HAM adalah Hak yang dilindungi secara Internasional seperti hak untuk hidup, hak kemerdekaan, hak untuk memiliki, dan hak untuk mengeluarkan pendapat.

Ide mengenai HAM telah lama dicetuskan dan diterapkan dalam peradaban Islam. Sendi-sendi pokok HAM telah tertuang dalam syariat sejak turunnya Islam. Hal ini dapat dilihat dalam ajaran tauhid. Tauhid dalam Islam mengandung arti, bahwa hanya ada satu pencipta bagi alam semesta. Ajaran dasar pertama dalam Islam adalah lâ ilâha illa Allâh (tiada Tuhan selain Allah Subhânahu wa ta`âla). Seluruh alam dan semua yang ada dipermukaan bumi adalah ciptaan Allah, yang menghamba kepadaNya, manusia, hewan, tumbuhan dan benda tak bernyawa. Dengan demikian dalam tauhid terkandung ide persamaan dan persaudaraan seluruh manusia.

Dari ajaran dasar persamaan dan persaudaraan manusia tersebut, muncullah kebebasan-kebebasan manusia, seperti kebebasan dari perbudakan, kebebasan beragama, kebebasan mengeluarkan pendapat, dan lain-lain. Dari situ juga timbul hak-hak asasi manusia, seperti hak hidup, hak memiliki harta, hak bicara, hak berpikir, dan lain sebagainya.

Kondisi Penegakan HAM Masa Pra-Islam.

Islam muncul ketika peradaban manusia telah berada pada titik nadir bobroknya moral dan hilangnya esensi kemanusiaan. Pengakuan dan toleransi sesama manusia tidak ditemukan dalam aliran, sekte, atau agama manapun sebelum datangnya Islam. Bahkan dalam Islamlah keadilan itu benar-banar nyata dan hal tersebut tidak kita temukan pada peradaban lainnya.

Kita tahu, di dalam kepercayaan Yahudi, bangsa selain mereka dipandang sebagai hewan. Dogmatik Yahudi dan keturanannya merupakan mahluk yang paling mulia sekaligus bangsa pilihan Allah, memunculkan penghinaan dan legitimasi pembunuhan bagi selain Yahudi.
Begitu juga di kalangan Nasrani, dalam doa-doa mereka selalu mengutuk setiap keturunan Yahudi atas sikap pendahulu mereka kepada Isa al-Masih.

Di Athena—yang disebut-sebut sebagai asal dari demokrasi—keterjaminan hak-hak hanya bagi penduduk kota Athena. Sedangkan di luar itu tidak memiliki kesempatan untuk hidup dengan hak-haknya.
Ketika kerajaan Romawi memasuki Mesir, mereka membantai penduduknya, kemudian menjadikan mereka sebagai budak, menghancurkan tempat ibadah, dan memaksa mereka memeluk agama Kristen.
Di Arab, China, Romawi, maupun di belahan dunia lainnya, saat itu perempuan dibenci kelahiran dan kehadirannya di dunia. Sehingga kelahiran bagi mereka, adalah awal dari kematian mereka. Para bayi perempuan yang dilahirkan pada masa itu segera dikubur hidup-hidup. Kalau pun mereka dibiarkan hidup, mereka akan hidup dalam kehinaan dan tanpa kemuliaan. Allah berfirman, ”Ketika bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh."

Perempuan yang sempat hidup hingga dewasa akan dilecehkan dan tidak diberikan bagian dalam harta warisan. Mereka dijadikan sebagai pemuas nafsu lelaki belaka, ketika telah puas direguk, mereka segera dibuang, seakan tak ada harga dan nilainya sedikitpun. Pada masa itu pula, para lelaki berhak menikahi banyak wanita tanpa batas, tanpa mempedulikan esnesi keadilan dalam pernikahan.

Perbudakan merupakan salah satu cerita miris pada masa sebelum Islam. Pada masa tersebut, status dan kondisi budak amat terhina. Status budak diperoleh dari keturunan, tawanan perang, ataupun penculikan. Tidak menutup kemungkinan seperti yang dialami Nabi Yusuf, yang  ditemukan pada sebuah tempat, lalu dijadikan budak belian. Ataupun karena terlilit hutang lalu tidak bisa membayar, seorang bapak terpaksa merelakan anak perempuannya menjadi budak.

Budak bertugas menyelesaikan pekerjaan yang kotor dan hina serta berat (menurut para tuannya). Selain itu, budak benar-benar mesti mematuhi dan tunduk sepenuhnya (tanpa bisa protes) kepada majikannya. Bisa dikatakan hidup mati budak bergantung kepada sikap dan ucapan majikannya. Sebut saja Firaun, yang saat itu memperbudak kaum Bani Israil. Ia dengan tega dan semena-mena memerintahkan bala tentaranya untuk membunuh anak laki-laki yang lahir di negaranya, hanya karena tafsir mimpi dari para penasihatnya.

Pengaruh Integritas Rasulullah serta peranan Piagam Madinah terkait penegakan HAM.

Kedatangan seorang pembawa kabar gembira telah lama dinanti. Tutur kata dan tingkah laku yang sejuk telah lama menjadi buah bibir. Cahaya kebenaran yang akan mengungkap segala problema—yang tidak tersentuh oleh akal manusia—telah mengisi dada-dada yang penuh dengan keikhlasan. Rasa keadilan dan persaudaraan menghangat antarblok-blok kota dan dinding-dinding rumah warga. Kota yang telah lama dirundung kerusuhan yang tak berujung antardua kabilah besar, yaitu suku Aws dan Khazraj. Kegembiraan meliputi segenap kota. Kaum Anshar dengan penuh senyum bershalawat menyambut kedatangan Rasulullah Shallallâhu `alayhi wa sallam yang ontanya telah nampak di ufuk sana.

Di sinilah kita merasakan bagaimana integritas Rasulullah dengan risalah keislamannya yang dibawanya mampu menyatukan bangsa Arab yang terkenal dengan fanatik kesukuannya. Kerukunan kota Madinah  terwujud. Dua kabilah yang selalu berselisih tersenyum berpelukan. Kaum Anshar (penduduk Madinah) dipersaudarakan dengan Muhajirin (penduduk Makkah yang berhijrah dari Mekah ke Madinah). Keadilan dan toleransi dijaga dan dipatuhi. Rasulllah pun membangun Madinah sebagai sebuah 'Republik Kota'. Oleh sebab itu beliau merumuskan konstitusi yang mengikat seluruh warga Madinah yang heterogen. Isi konstitusi yang sangat komprehensif itu antara lain adalah jaminan kebebasan beragama. Mula-mula, konstitusi tersebut ditandatangani bersama Yahudi Bani Auf. Kemudian dengan Bani Qurayzha, Bani Nadhir dan Bani Qaynuqa`.

Piagam Madinah merupakan sebuah konstitusi yang dideklarasikan atas dasar ikatan kebersamaan dan kemanusiaan. Dengan kondisi masyarakat Madinah yang amat plural, Nabi Muhammad berhasil membangun tatanan kehidupan bersama, yang menjamin kehidupan berdampingan secara damai dan sejahtera. Praktiknya, Nabi mempererat persaudaraan Muhajirin dan Anshar berdasarkan ikatan akidah. Sedangkan terhadap mereka yang berlainan agama, beliau mempersatukannya dengan ikatan sosial, politik, dan kemanusiaan. Bukti konkretnya adalah adanya kesepakatan yang tertuang dalam piagam Madinah tersebut.
Inti dari Piagam Madinah meliputi prinsip-prinsip persamaan, persaudaraan, persatuan, kebebasan, toleransi beragama, perdamaian, tolong menolong, dan membela yang teraniaya, serta mempertahankan Madinah dari serangan musuh. Berikut adalah substansi ringkasan dari Piagam Madinah:

1. Monotheisme, yaitu mengakui adanya satu Tuhan. Prinsip ini terkandung dalam Mukaddimah, pasal 22, 23, dan 42.

2. Persatuan dan kesatuan (pasal 1, 15, 17, 25, dan 37). Dalam pasal-pasal ini ditegaskan bahwa seluruh penduduk Madinah adalah satu kesatuan. Hanya ada satu perlindungan. Bila orang Yahudi telah mengikuti piagam ini, berarti berhak atas perlindungan keamanan dan kehormatan. Selain itu, kaum Yahudi dan orang-orang Muslim secara bersama-sama memikul biaya perang.

3. Persamaan dan keadilan (pasal 1, 12, 15, 16, 19, 22, 23, 24, 37, dan 40). Pasal-pasal ini mengandung prinsip bahwa seluruh warga Madinah berstatus sama di mata hukum dan harus menegakkan hukum beserta keadilan tanpa pandang bulu.

4. Kebebasan beragama (pasal 25). Kaum Yahudi bebas menjalankan ajaran agama mereka sebagaimana juga umat Islam bebas menjalankan syariat Islam.

5. Bela Negara (pasal 24,37, 38, dan, 44). Setiap penduduk Madinah yang mengakui Piagam Madinah, mempunyai kewajiban yang sama untuk membela Madinah dari serangan musuh.

6. Pengakuan dan pelestarian adat kebiasaan (pasal 2-10). Dalam pasal-pasal ini disebutkan secara berulang-ulang bahwa adat kebiasaan yang baik di kalangan Yahudi harus diakui.

7. Supremasi syariat Islam (pasal 23 dan 24). Inti pokok dari supremasi ini adalah setiap perselisihan harus diselesaikan menurut ketentuan Allah dan sesuai dengan keputusan Nabi Muhammad.

8. Politik damai dan perlindungan internal, serta permasalahan eksternal, mendapatkan perhatian serius dalam piagam ini (pasal 15,17, 36, 37, 39, 40, 41, dan 47)

Esensi Khotbah Wada` sebagai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) Pertama dalam Sejarah.

Umat Islam dianugrahi Allah kemenangan yang gemilang demi tegaknya syiar Islam. Kaum muslimin memasuki kota Mekah yang telah lama dirindukan tanpa adanya pertumpahan darah. Masyarakat Arab berbondong-bondong memeluk agama Islam, Allah  berfirman, "Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan, kamu melihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia Maha menerima taubat."
Pembebasan besar dan sangat penting ini, tentu saja menghendaki undang-undang (social-policy) yang lebih komprehensif lagi. Umat Islam telah berada di gerbang kejayaannya, yaitu menjadi umat yang besar. Maka Rasulullah yang telah berada di penghujung tugas kerasulannya, menyampaikan sendi-sendi penting dari peradaban Islam. Sendi-sendi tersebut terangkum dalam khotbah Beliau saat melaksanakan Haji Wada`.
Haji Wada` atau haji perpisahan memberikan suatu esensi tersendiri bagi umat Islam, yaitu titik puncak sebagai tanda telah berdirinya sebuah peradaban baru. Umat manusia memasuki babak selanjutnya dalam rentetan sejarahnya. Segala pondasi dan fasilitas penunjang kemajuan telah disempurnakan Allah dalam syariat-Nya. Allah berfirman, "…pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu. Oleh sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Kuridhai Islam itu Jadi agama bagimu..."

Khotbah Wada' yang bertepatan dengan tanggal 19 Dzulhijjah 11 H itu, layaknya sebuah deklarasi universal dalam rangka menjaga hak asasi manusia. Rasulullah bersabda,"Sesungguhnya darah dan harta bendamu adalah suci (haram) bagimu, seperti hari yang suci ini, di bulan dan negeri yang suci ini, sampai kamu sekalian menghadap Allah…". Hadits ini bermakna bahwa menjaga nyawa dan harta merupakan hak sekaligus kewajiban bagi setiap orang. Tidak boleh dihilangkan tanpa ada alasan syar`i.

Piagam Madinah dan Khotbah Wada' memang merupakan masterpiece HAM dalam peradaban manusia. Keduanya patut disebut sebagai sebuah terobosan baru, yang belum pernah ada sebelumnya. Dalam Islam hak-hak asasi manusia dibahas secara lengkap dan menyeluruh. Kelebihannya, dalam Islam hak asasi manusia disajikan dalam bentuk kewajiban baik dalam al-Qur'an maupun Hadis. Kewajiban bagi Negara maupun individu untuk menjamin dan melindunginya.

Berikut beberapa teks dari al-Qur’an yang menegaskan tentang hak asasi manusia:
1. Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama. Allah berfirman, "Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal."
2. Hak untuk hidup. Allah berfirman, "Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwasanya barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya."
3. Penentangan segala bentuk kezaliman dan ketidakadilan. Allah berfirman, "Jika kamu memutuskan perkara mereka, Maka putuskanlah perkara itu dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil."
4. Kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beraspirasi. Allah berfirman, "Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat."
Begitu juga dengan sunah Nabi.  Nabi Muhammad telah memberikan contoh dalam penegakan dan perlindungan terhadap HAM. Hal ini tercermin dalam sikap beliau terkait persamaan dan keadilan. Diriwayatkan ketika Usamah bin Yazid akan membebaskan seorang  wanita kaum terpandang dari had, Rasulullah bersabda, “Demi Zat yang diri Muhammad di tanganNya, kalaulah Fatimah binti Muhammad yang mencuri, pasti kupotong tangannya.”

Sikap keadilan dalam hak asasi manusia dari Rasulullah ini diteruskan oleh penerus-penerus beliau. Mulai dari Khulafa Rasyidin sampai kepada Khalifah-khalifah selanjutnya yang berpegung teguh kepada agama Allah.

Pembebasan daerah-daerah  yang dijajah oleh Romawi Timur maupun Persia dilakukan dengan gemilang. Tidak pernah tercatat dalam sejarah, bahwa pemimpin Muslim memaksa rakyat untuk memeluk agama Islam. Tidak pernah kita dengar perbedaan derajat antara pendatang dengan pribumi. Tidak ada yang menyebutnya sebagai bentuk penjajahan. Rakyat menerima dan rela dengan agama Islam, meskipun dari berbagai macam golongan. Tak ada pembedaan di mata hukum, baik dari segi ras maupun agama. Daerah-daerah Islam menikmati cerahnya cahaya keilmuan, teknologi, kemajuan, dan keadilan ketika bangsa Eropa masih berada pada masa kegelapan.

Penegakan HAM di Negara-negara Barat

Beragamnya kebutuhan asasi manusia menghendaki undang-undang  yang menjamin terwujudnya hal tersebut. Namun dalam istilah modern, undang-undang tersebut dibentuk berupa hak-hak manusia. Denga artian setiap individu memiliki kebebasan untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Hal tersebut menunjukkan rancunya pemahaman terhadap hak manusia, yang cenderung dipaksakan dalam satu bentuk saja. Karena sebagaimana kita ketahui, manusia memiliki kebutuhan dan kecendrungan yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, di Barat ada kebebasan untuk meminum minuman keras, bertelanjang di jalanan, nikah sejenis, dan melakukan free sex. Mereka menyebutnya hak asasi. Siapa saja yang mencoba melarang, maka secara tidak langsung telah melanggar hak asasi manusia. Sebaliknya, semua perbuatan tersebut di dalam komunitas muslimin, dianggap melanggar hak orang lain dan mesti diberi hukuman. Berpakaian menutup aurat merupakan kebutuhan dan hak bagi seorang muslim. Namun di Barat, memakai jilbab dan cadar merupakan pelanggaran terhadap hak orang lain. Maka merupakan suatu keanehan dan ketidaklogisan, kalau dikatakan, dunia Barat lebih menghormati hak asasi manusia dibandingkan Islam.

Lucu sekali bila kita dengar Bangsa Barat berteriak-teriak mengkampanyekan penegakan hak asasi manusia di seluruh dunia. Seakan-akan hak asasi manusia telah mempunyai batas-batas yang disepakati sejak lama. Mereka lupa kalau hak asasi memiliki perbedaan menurut kecendrungan, ideologi, agama, dan daerah. Maka definisi atau gambaran hak asasi manusia tertentu, tidak bisa diterima hanya karena berasal dari bangsa yang tengah menghegemoni perpolitikan internasional seperti Amerika dan Negara-negara Eropa.
Semenjak diproklamirkan, batasan-batasan HAM menjadi aturan main dalam lalu lintas pergumulan dunia. Walaupun dalam faktanya, nilai-nilai yang dimuat dalam batasan-batasan HAM tersebut sangat sepihak. Namun karena menjadi aturan yang ditelorkan oleh badan tertinggi dunia (PBB), semua negara anggota PBB terikat dalam aturan tersebut, meskipun sangat mungkin berbenturan dengan agama dan budaya sebagian negara anggota, terutama negara-negara yang berpenduduk mayoritas muslim. Akibatnya, terjadi perbedaan pandangan terhadap HAM yang menyebabkan kebenaran HAM masuk ke dalam daerah realitif dan nisbi, sehingga menyebabkan kebenaran HAM selalu diperkosa oleh kelompok-kelompok yang kuat.
Dinamika perjalanan penegakan HAM setelah diproklamirkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa selalu saja berstandar ganda. HAM yang semulanya bertujuan untuk menciptakan keharmonisan, mewujudkan nilai-nilai kemanusiaan secara utuh agar terealisasi keselarasan antara sesama manusia di muka bumi ini, malah menjadi biang dari persoalan dan menjadi pangkal problematika kemanusiaan secara berkesinambungan.
HAM telah berubah wujud menjadi agama dan ideologi baru dalam pergumulan kepentingan dunia internasional di era global. Batasan-batasan HAM menjadi alat kolonialisasi Negara-negara Barat untuk memporak-porandakan Negara-negara Islam. Dengan dalih hak asasi manusia, Bangsa Barat sepertinya memiliki kamus tersendiri dan interpretasi permanen terkait batasan HAM, seakan kebenaran atas definisi HAM menjadi kitab suci baru yang harus ‘diimani’ oleh negara-negara yang berpenduduk muslim. Invasi militer yang dilakukan Amerika Serikat dan sekutunya ke Afganistan, Irak, dan mengintimidasi Iran menjadi contoh nyata, betapa HAM telah diperalat dan dinodai oleh kepentingan politik yang picik yang menanamkan kebencian terhadap Islam. Senjata pemusnah masal dan nuklir menjadi alasan, sedangkan mereka sendiri memilikinya.

Konsep perdamaian Timur Tengah yang menggambarkan keangkuhan dan penjajahan bangsa Israel terhadap Palestina dan Negara-negara Arab lainnya, menjadi contoh lain dalam penegakan HAM. Dengan berdalih dan bersembunyi dibalik nama HAM, setiap hari harus ditebus oleh rakyat Palestina dengan jeruji penjara, air mata pengungsian,  dan embargo ekonomi yang mengakibatkan penderitaan sosial, bahkan tetesan darah. Batasan-batasan HAM yang diharapkan humanis dan menjadi rujukan dalam membangun peradaban umat manusia modern, justru menjadi ambigu dan aneh. Dengan bertopeng HAM, Bangsa Barat telah merubah wujud humanisme yang tercermin dalam hak asasi manusia yang sesungguhnya sebagai galian kuburan masal.

Superstisi Barat Sebagai Pelopor Penegakan HAM

Propaganda yang selalu disebarkan Barat di dunia adalah bahwa deklarasi hak asasi manusia bersumber dan pertama kali diperkenalkan di dunia Barat. Kebohongan ini ditegaskan dengan menghapuskan peranan umat Islam sebelum munculnya peradaban Barat. Sejarah yang hanya dapat kita temukan selalu bercerita bahwa deklarasi hak asasi manusia dimulai dengan lahirnya Magna Charta di Inggris pada tahun (1215), disusul dengan Habean Corpus ACT (1679), dan Bill of Rights (1689) di Amerika Serikat, kemudian berturut-turut ditetapkan Declaration of Indepence (1776) dan Bill of Rights (1791), di Perancis ditetapkan Declaration des L'home etdu Citoyen (1789) yang merupakan HAM sebagai hasil revolusi Perancis di bawah kepemimpinan Jendral Lafayette. Seterusnya Hak Asasi  Manusia baru secara resmi dimulai dengan ditetapkannya Universal Declaration of Human Rights oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 10 Desember 1948.  

Kebenaran yang mesti kita sadari—layaknya seorang muslim—bahwa Islam telah mendeklarasikankan hak-hak asasi manusia secara paripurna dan lengkap sejak 14 abad yang lalu. Jauh sebelum munculnya revolusi Prancis yang menetapkan sebagiannya. Deklarasi HAM dalam Islam tidak hanya untuk satu bangsa tertentu. Tidak pula umat tertentu. Tapi deklarasi tersebut berlaku bagi setiap bangsa dan umat sepanjang masa. Jika PBB mendeklarasikan kebebasan adalah hak, maka Islam telah menjadikannya sebuah kewajiban agama (syar'i) yang dipertanggungjawabkan di hadapan Allah (ilahiyah). Tidak tercantum dalam sejarah, Islam pernah memaksa suatu umat untuk memeluknya sebagai agama. Setiap manusia bebas beragama sesuai dengan keyakinannya.

Perhatikan firman Allah, “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.”

Islam juga telah mendeklarasikan hak persamaan di antara manusia dalam hak dan kewajiban. Maka tidak ada keutamaan dari perbedaan suku bangsa, warna kulit, dan strata sosial. Berbeda dengan kebudayaan dan agama yang lain, Islam benar-benar tidak pernah mengenal apapun bentuk diskriminasi. Tidak ada apartheid maupun  pembagian kasta dalam Islam. Kemuliaan hanya diukur dari derajat ketaatan kepada Allah.
Allah mengatakan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu.”

Sebagaimana deklarasi hak persamaan di antara manusia, Islam juga telah lebih dahulu mendeklarasikan hak untuk mendapat pendidikan bagi setiap warga negara. Bahkan Islam menjadikannya kewajiban bagi setiap insan. Rasulullah bersabda, "Menuntut ilmu kewajiban bagi setiap muslim." Dari sini dapat memahami bagaimana kedudukan orang-orang berilmu di dalam Islam, dan bagaimana Islam memotivasi umatnya untuk berlomba-lomba dalam menuntut ilmu. Allah berfirman, "Allah mengangkat derajat orang yang beriman dan berilmu beberapa derajat."

  Islam juga menjamin hak penduduk untuk mendapat penghidupan yang layak. Hingga zaman di mana peradaban manusia telah berkembang sedemikian rupa seperti saat ini, belum ditemukan solusi yang lebih baik, selain yang ditawarkan Islam dalam penanganan kaum duafa dan fakir miskin. Dalam Islam telah ditemukan, bahwa Islam menjadikan seperempat dari hasil zakat yang dikumpulkan negara untuk kemaslahatan mereka.  

Syubhat dan tuduhan yang tidak jarang disematkan kepada Islam adalah bahwa Islam melanggengkan perbudakan dan tidak menghapuskannya. Sedangkan Barat sejak revolusi Prancis dan deklarasi PBB telah menetapkan penghapusan perbudakan. Maka betapa mudahnya menjawab syubhat ini. Ketika PBB mendeklarasikan penghapusan perbudakan, deklarasi tersebut menghapus sesuatu yang tidak ditemukan lagi di sebagian besar permukaan bumi. Malah perbudakan yang ada saat itu adalah perbudakan yang mereka ciptakan sendiri dari penjajahan. Sedangkan Islam, ketika datangnya, perbudakan merupakan hal lumrah dan terdapat di mana saja. Maka kondisi tidak memungkinkan penghapusan perbudakan secara langsung. Islam menggunakan berbagai metode penghapuskan perbudakan sedikit demi sedikit, antara lain seperti yang disebutkan Abdul Mun`im al-Bahy:
1. Pembatasan sebab perbudakan dengan hanya kepada tawanan perang yang menurut Imam pantas dihukum sedemikian. Jadi bukan pula kepada setiap tawanan. Sedangkan sebelumnya perbudakan memiliki banyak sebab.
2. Perintah memerdekakan budak untuk mendekatkan diri kepada Allah.
3. Menjadikan pemerdekaan budak sebagai tebusan dari sebagian dosa.
4. Menjadikan sebagian penghasilan Negara untuk membeli dan memerdekakan budak.
5. Membolehkan budak memiliki harta untuk memerdekakan dirinya yang dibayarkan secara angsuran.

Deklarasi Universal Tentang Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Islam

Isu hak asasi manusia yang telah dideklarasikan PBB mengisyaratkan kebebasan mutlak bagi manusia yang bertentangan dengan Islam. Islam sebagai agama yang syamil (paripurna) telah menetapkan hak dan kewajiban kepada setiap muslim. Sedangkan kebebasan mutlak hanya akan mendorong manusia untuk mengikuti hawa nafsunya. Deklarasi HAM oleh PBB yang terlihat semu, tidak membawa manfaat kecuali hanya melegalkan sekelompok pemilik modal untuk mengatur dunia. Untuk menghadapi dominasi kapitalisme yang terselundup dalam batasan-batasan HAM versi PBB, maka para pemikir dari Negara-negara muslim mendeklarasikan HAM dalam perspektif Islam pada tanggal 19 September 1981. Deklarasi ini disusun dalam Konferensi Islam di London dengan tema “al-Bayân al-Islâmy al-‘Alamy li al-Hûqûq al-Insân” (Deklarasi Islam Internasional Tentang Hak Asasi Manusia), yang terdiri dari 23 pasal. Inti utama yang tersampaikan dari deklarasi ini adalah keimanan kepada Allah dalam pembentukan tatanan agama dan masyarakat. Pada pendahuluan deklarasi ini, dikemukakan bahwa hak-hak asasi manusia dalam Islam bersumber dari keimanan kepada Allah. Dengan demikian hukum dan sumber segala HAM hanya berasal dari ketentuan Allah semata.

Salah satu kelebihan dari deklarasi ini adalah bahwa teksnya memuat acuan-acuan yang gamblang dan unik dari totalitas peraturan-peraturan yang berasal dari al-Qur’an dan Sunah, serta hukum-hukum lainnya yang ditarik dari kedua sumber tersebut, dengan metode-metode yang dianggap sah menurut hukum Islam.
Berikut sekelumit potongan mukaddimah deklarasi hak asasi manusia dalam perspektif Islam 19 September 1981, "Sesungguhnya hak-hak manusia dalam Islam bukanlah pemberian dari seorang raja maupun hakim, dan tidak pula berasal dari ketetapan yang bersumber kekuasaan atau pemerintahan Negara setempat. Sesungguhnya hak-hak manusia hanya bersumber dari Allah. Hak-hak tersebut tidak boleh dihapus, dihilangkan, ditangguhkan, dilanggar, maupun ditoleransi pemenuhannya."  

Penutup

Kesimpulan ringkas yang dapat kita serap dari paparan di atas, bahwa Islamlah yang melepaskan peradaban manusia dari kungkungan kebodohan, hawa nafsu, dan sifat primitif manusia. Artinya, Islamlah yang membawa kemajuan dan kecerahan, menyemaikan kebebasan dan keadilan, dan memanusiakan manusia. Islam telah sejak lama menetapkan batasan-batasan hak seseorang yang tidak boleh dilanggar. Jauh sebelum munculnya deklarasi PBB yang ternyata tetap tidak sempurna dan selalu berstandar ganda.
Dengan ini, penulis mengimbau kepada setiap kaum muslimin untuk selalu berupaya mendalami Islam. Memahami dan menyampaikan hakikat ajaran Islam demi terpenuhi hak-hak Islam, sehingga terlepas dari syubhat dan tuduhan-tuduhan keji, merupakan suatu kewajiban. Dan sikap berdiam diri pada hal demikian merupakan suatu kezaliman.
 

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran Al-Karim
_______. 2007. Hal al-Islâm huwa al-Hal. Kairo: Dâr al-Syurûq
Al-Amin, Jalal. 2009.  Khurâfah Taqaddum wa Takhalluf. Kairo: Dâr al-Syurûq
Al-Assal, Ahmad Muhammad. 2009. al-Islâm wa Binâ’ al-Mujtama`. Kairo: Maktabah Wahbah.
Al-Bahy, Abdul Mun`im. tt.  Hûquq al-Insân A`lanahâ Islâm qabla Arba`ata `Asyara Qarna. Riyadh: Ma'had Lughah al-'Arabiyah
Al-Ghazali, Muhammad.  2009. Hûqûq al-Insân. Kairo: Nahdhah Misr
Al-Sirjani, Ragib. 2010. Mâdzâ Qaddama al-Muslimûn li al-`Alam. Kairo: Muassasah Iqra
Dahlan, Abdul Aziz. 1996. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve.
Halimah. 2011. “hak asasi manusia”. http://halimahlj-halimahelje.blogspot.com/2011/10/makalah-hak-asasi-manusia.html (dikunjungi 19 Maret 2012).
Imarah, Muhammad. 2010. al-Samâhah al-Islâmiyah Wa Huqûq al-Insân. Kairo: Dâr al-Salâm
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Majma` al-Lughah al-Arabiyah al-Misry. 2009. al-Mu`jam al-Wajîz. Kairo: Kementrian Pendidikan Mesir
Putra, Dalizar. 1995. Hak Asasi Manusia Menurut Al-Qur'an. Jakarta: PT. al-Husna Zikra.
Shahîh al-Bukhâri
Shahîh Muslim
Sudjana, Egi. 2002. HAM dalam Perspektif Islam. Jakarta: Nuansa Madani.
Uwais, Abdul Halim Uwais. 2010. al-Hadhârah al-Islâmiyah; Ibda al-Mâdhi wa Afâq al-Mustaqbal. Kairo: Dâr al-Shahwah.

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Apakah Perang Iran-Israel Nyata atau Pura-pura? Membedah Perang Proksi dan Perebutan Pengaruh di Timur Tengah

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Tulisan Baru