Fundamentalisme Dalam Pandangan Islam

Pemahaman Istilah

Istilah fundamentalisme bukanlah istilah yang berasal dari khazanah peradaban Islam. Istilah ini kita impor dari perkembangan pemikiran yang terjadi di Barat. Jamak diketahui bahwa istilah ini berkembang di tengah masyarakat barat yang beragama Kristen. Istilah ini mereka gunakan sebagai nama untuk kelompok radikal Kristen yang kaku, jumud, dan mendahulukan teks dari pada akal. Ketika istilah ini dipakaikan kepada risalah dan nilai-nilai Islam yang memiliki peradaban tersendiri, hal ini menimbulkan konflik di tengah umat yang berbeda-beda pemahaman dalam menyimpulkannya.

Kata ‘fundamental’ secara harfiah berarti kembali ke dasar dan pokok ajaran. Melihat kepada makna asal dari kata ini bisa dikatakan sebenarnya istilah ini tidak asing dalam keilmuan Islam walaupun berasal dari luar. Dengan merujuk kepada bahasa Arab kata ‘fundamental’ bisa diterjemahkan kepada ‘al ushul’ yang artinya pokok dan dasar.

Kata ‘al ushul’ dalam khazanah keilmuan Islam sangat dikenal. Setiap cabang keilmuan Islam memiliki ushul-nya. Ilmu Aqidah memiliki ushul yang dikenal dengan ushul al din, ilmu fiqh memiliki ushul yang dikenal dengan ushul al fiqh, ilmu tafsir dan hadis memiliki ushulnya berupa kaidah-kaidah dan istilah-istilah tersendiri, begitu juga dengan ilmu-ilmu lainnya. Sebuah kata hikmah yang dikenal oleh para penuntut ilmu di dunia Islam adalah: “Man adhaa’al ushul, hurrimal wushul”. Artinya, siapa saja yang kehilangan ushul maka dia tidak akan pernah sampai (kepada hakikat ilmu).

Oleh sebab itu, ketika istilah fundamentalisme dipakaikan kepada Islam, maka tidak lain artinya adalah kembali kepada ushul (pokok dan dasar ajaran Islam), beramal dengannya, dan berdakwah kepadanya. Pokok dan dasar ajaran Islam kalau dilihat dari sumbernya, maka terangkum dalam tiga hal, yaitu: Al Qur’an, Al Sunnah Al Nabawiyah, dan Ijma’ al Ummah. Sedangkan kalau dilhat kepada unsur-unsur dasar pembentuknya terangkum dalam empat hal, yaitu: Aqidah dan keyakinan-keyakinan asasi yang menjadi pondasi agama Islam, ritual ibadah yang menjadi rukun-rukun agama, hukum dan undang-undang, dan terakhir nilai-nilai akhlak yang mulia.      

Maka fundamentalis haqiqi dalam Islam adalah mereka yang berpegang teguh kepada dasar dan pokok ini semuanya, baik dari segi pemahamannya, keyakinannya, perbuatannya maupun dakwahnya. Dari sisi ini jelaslah bahwa fundamentalisme dalam Islam bukan lah suatu hal yang buruk apalagi sebuah kejahatan.

Imam Syafi’I Rahimahullah pernah berkata:
إن كان رفضا حب آل محمد      فليشهد الثقلان أني رافضي
Artinya: Jika rafidhah itu adalah kecintaaan kepada keluarga Nabi Muhammad Saw, maka saksikanlah oleh dunia bahwa aku seorang rafidhi.

Maka disini kita juga mengatakan bahwa kalau lah fundamentalisme itu adalah berpegang teguh kepada ajaran Islam yang benar; secara aqidah, syari’ah, manhaj hidup, berdakwah kepadanya, bangga dengannya, selalu membelanya, maka hendaklah dunia menyaksikan bahwa kita adalah fundamentalis!

Corak dan Ragam Fundamentalisme

Hanya saja masalahnya, kalau kita ingin bicara jujur, yang mengaku fundamentalis dalam perkembangan dunia Islam modern banyak corak dan ragamnya. Bukan satu corak atau satu ragam. Sehingga ketika penggunaan istilah fundamentalis kepada salah satu corak atau ragam, maka yang lain juga terkena imbasnya. Masalah ini lah yang membuat istilah fundamentalisme menjadi ambigu dan membingungkan. Ada yang menjadi risih, takut, dan benci ketika mendengar istilah ini, dan ada pula yang dengan senang hati menerimanya. Corak dan ragam tersebut ada yang takfir (gampang mengkafir-kafirkan), kekerasan (tindak terorisme, anarkisme dan selainnya), radikal (keras, jumud, kaku), dan terakhir moderat.

Corak takfir menjadi sifat dan ciri khas kelompok yang membangun fikrah pergerakannya di atas pengkafiran masyarakat secara umum. Mereka dengan mudah melabeli kafir kepada orang lain yang tidak mau menganut prinsip-prinseip mereka atau bergabung dengan jama’ah mereka. Kelompok ini membawa bahaya yang sangat besar karena akan berujung kepada penghalalan darah dan harta orang lain dengan tuduhan kafir dan murtad.

Corak kekerasan menjadi sifat dan ciri khas kelompok yang menggunakan kekuatan dan senjata untuk melawan apa saja bentuk kebatilan menurut mereka, tapi kelompok ini tidak sekeras kelompok dengan corak pertama dalam berpikir. Dasar dari pergerakan mereka adalah jihad melawan siapa saja yang menghalang-halangi tegaknya syari’ah Allah Swt dan nahi mungkar dengan kekuatan atau dengan tangan sebagaimana disebutkan di dalam hadis. Hanya saja dalam menegakkan prinsip-prinsip mereka, mereka sering melewati batas dan syarat yang telah ditetapkan oleh agama. Tidak jarang yang menjadi korban malah orang-orang yang tidak bersalah sedangkan Islam sangat keras agar umat berhati-hati dalam urusan darah. Bahkan dalam keadaan perang sekalipun Islam melarang untuk membunuh anak-anak, perempuan, lansia, ahli ibadah, petani, menebang pohon, menghancurkan bangunan, dan mencukupkan apa yang memang dibutuhkan dalam peperangan.

Corak radikal dalam artian jumud dan kaku dalam berpikir menjadi sifat dan ciri khas kelompok yang tekstual dalam pemahaman fiqh, mencari yang susah dalam berfatwa, menjauhkan umat dari dakwah, dan bersikap keras dalam bergaul dan bermasyarakat. Mereka mengingkari pembaharuan dalam agama, menolak ijtihad dalam fiqh, menolak fatwa yang memudahkan, menolak dakwah yang menarik minat umat, tidak mampu menimbang mana yang hanya persoalan cabang dan tidak terlalu penting dengan hal-hal mana yang sangat urgent dalam pandangan syari’at. Maka jadi lah mereka bersikap keras kepada umat, mempersusah urusan agama, kalimat mereka selalu seputar haram dan bid’ah, padahal al Qur’an, al Sunnah, dan salaf al ummah sangat menentang untuk bermudah-mudah mengatakan haram. 

Masalah yang selalu menyibukkan kelompok dengan corak ini tidak lah masalah-masalah yang berkaitan dengan keberlangsungan umat ini apalagi kemajuannya. Mereka selalu sibuk dengan penampilan luar dan mengabaikan makna, sibuk dengan bentuk tapi lupa hakikat, sibuk dengan kulit tapi lupa akan isi, sibuk dengan persoalan cabang (juz’iyat) dan lupa kepada pokok (kulliyat), sibuk dengan yang tidak pasti (dzanniyat) dan lupa dengan yang pasti (qat’iyat), dan sibuk dengan hal-hal yang ulama berbeda pendapat padanya dan lupa dengan hal-hal yang telah disepakati ulama. Maka kita lihat mereka mengharamkan bermukim di negara-negara Barat, mengharamkan wanita bekerja atau keluar rumah, mengharamkan ikut serta pencalonan legislatif dan pemilu tapi harus tunduk dengan calon yang terpilih walaupun merugikan Islam, mengharamkan ucapan selamat kepada teman atau tetangga yang non-muslim di hari-hari raya mereka sebagai bentuk persaudaraan sosial, dan lain sebagainya. Dengan corak seperti ini mereka memang jauh dari kekerasan berdarah, hanya saja kekerasan mereka lebih kepada bentuk verbal, baik lisan atau tulisan.

Corak terakhir yang menurut penulis adalah sifat dan ciri dari kelompok fundamentalis yang benar dan berada di jalan yang tepat dalam mengemban amanah dakwah adalah corak moderat (wasatiyah). Kelompok ini memiliki induk penyebaran dan kendaraan pergerakan dimana-mana, paling banyak pengikutnya, paling kuat pondasinya, dan paling panjang sejarahnya. Bisa dikatakan bahwa mereka adalah jumhur dari mereka yang bisa digelari Islam fundamentalis.

Kelompok ini menganut manhaj taysir (memudahkan) dalam berfatwa, dan tabsyir (menggembirakan) dalam berdakwah. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw:
يسروا و لا تعسروا, و بشروا و لا تنفرو
 Artinya: “Mudahkanlah jangan dipersulit, beri kabar gembiralah jangan menjauhkan (membuat orang kabur dan takut)). Hadis Muttafaq ‘alaih.

Keadaan ini menghendaki kebebasan dari taqlid dan ta’assub mazhab, dan beramal dengan kaidah: berubahnya fatwa dengan berubahnya masa, tempat, kebiasaan dan keadaan. Maka setiap ulama berijtihad sesuai dengan waktu dan lingkungannya sebagaimana para ulama terdahulu berijtihad sesuai dengan waktu dan lingkungan mereka. Bahkan diantara mereka ada yang berubah-ubah fatwanya sepanjang hidup mereka seperti Imam Syafi’I Rahimahullah. Begitu juga Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahullah yang tidak jarang ditemukan banyak riwayat tentang pendapatnya dalam satu perkara. Tidak lain hal ini karena perubahan waktu, tempat dan keadaan. Dan begitu juga kita lihat para ulama yang berasal dari satu mazhab berbeda dengan pendiri mazhabnya dalam banyak masalah, karena mereka mendengar apa yang beliau belum dengar, melihat apa yang belum beliau lihat, seperti yang terjadi dalam mazhab Imam Abu Hanifah Rahimahullah.

Corak moderat (wasatiyah) ini dapat dilihat dari sikap mereka terhadap persoalan-persoalan besar yang selalu menjadi perbincangan di tengah umat:

  1.  Wasat (pertengahan) antara para penyeru kepada taqlid mazhab yang sempit dan antara penyeru anti mazhab yang melampaui batas. 
  2. Wasat antara pengikut sufi walau menyimpang dan berbuat bid’ah, dan antara pembenci dan penghujat sufiyah walau lurus, tidak menyimpang.
  3. Wasat antara mereka yang berpegang kepada akal walau menyalahi nash syariat, dan antara mereka yang memerangi akal walau dalam konteks pemahaman nash.
  4. Wasat antara mereka yang mengingkari ilham hingga menafikan keberadaannya, dan antara mereka yang berlebih-lebihan hingga menjadikannya sebagai sumber syari’at.
  5. Wasat antara mereka yang bersikap keras walau dalam masalah furu’ (cabang), dan antara mereka yang bermudah-mudah walau dalam masalah ushul (pokok).
  6. Wasat antara mereka yang menyeru kepada kejumudan walau dalam urusan sarana dan wasilah, dan antara mereka yang melampaui batas walau dalam urusan mendasar, pokok, dan tujuan.
  7. Wasat antara mereka yang mengajak kepada pembaharuan dan ijtihad walau dalam masalah pokok agama dan hal-hal yang telah pasti (qath’i), dan antara mereka yang mengajak kepada taqlid dengan membenci ijtihad walau dalam masalah masa kini yang belum terpikirkan di masa lampau.
  8. Wasat antara mereka yang mengabaikan nash yang tetap (qath’i) demi menjaga maqasid syari’ah, dan antara mereka yang mengabaikan maqasid syari’ah dengan alasan menjaga nash.
  9. Wasat antara mereka yang bermudah-mudah mengkafirkan hingga mengkafirkan semua kaum muslimin yang menolak prinsip mereka, dan antara mereka yang bermudah-mudah membiarkan saja walau sudah jelas kalimat-kalimat dan perbuatan murtad dari mereka.
  10. Wasat antara mereka yang berlebih-lebihan dalam mengharamkan sehingga seolah-olah tidak ada di dunia ini yang halal, dan antara mereka yang berlebih-lebihan menghalalkan seolah-olah tidak ada di dalam agama ini yang haram.


Begitulah beberapa sifat dan ciri fundamentalis moderat dalam beberapa permasalahan. Hanya sayangnya untuk saat ini mayoritas masyarakat muslim sering terjatuh kepada salah satu kutub ekstrim kecuali sedikit.

Lawan dan Tantangan Fundamentalisme

Islam fundamentalis tentu saja memiliki banyak lawan, dari luar maupun dalam. Dari luar sudah jelas ditimbulkan oleh rasa dengki, takut, dan rakus. Hanya saja semua itu hal yang biasa, malah yang paling penting itu adalah musuh dari kalangan umat Islam sendiri, atau yang masih menamakan diri mereka muslim.

Diantara umat Islam ada yang sangat memusuhi kelompok yang memiliki sifat-sifat fundamentalis walau beragam corak dan ragamnya. Baik yang radikal maupun yang moderat. Di tingkat politik, dari kalangan pemerintah ada yang memusuhi fundamentalisme karena takut kehilangan kekuasaan dan sumber penghasilannya, ada yang karena tidak tahu hakikat ajaran Islam, dan ada pula yang memang memihak kepada musuh-musuh Islam demi kepentingan pribadi.

Di tingkat sosial kemasyarakatan, mereka yang membenci fundamentalise Islam adalah mereka yang menikmati berbagai fasilitas hidup, bisnis, pekerjaan atau penghasilan yang mereka sangka bahwa Islam tidak akan membiarkan mereka memilikinya. Dan diantara mereka ada yang tenggelam dalam kenikmatan hidup dan syahwat, halal maupun haram, karena menurut mereka Islam akan membatas-batasi kebebasan mereka menikmatinya.

Di tingkat pemikiran adalah mereka yang telah dicuci otaknya oleh pendidikan dan gaya berfikir Barat. Mereka memandang fundamentalisme Islam sebagaimana guru-guru mereka memandang Islam. Mereka melihat Islam sebagai ancaman berikutnya terhadap peradaban Barat setelah runtuhnya Soviet. Sayangnya pendapat mereka tentang fundamentalisme Islam ini juga dikuatkan oleh sebagian mereka yang menisbatkan diri kepada fundamentalis dengan buruknya pemahaman mereka terhadap Islam, dan jeleknya sikap dan adab mereka walau atas nama Islam.     

Penutup

Sebagai penutup perlu ditekankan bahwa pemahaman fundamentalisme sebagaimana yang dipahami Barat tidak bisa dipakaikan kepada umat Islam. Karena Islam bukanlah Kristen. Kepribadian Nabi Muhammad Saw menurut kaum muslimin tidak lah seperti kepribadian Yesus menurut umat Kristen. Ulama umat Islam tidak lah seperti pendeta-pendeta Gereja. Pemerintahan Islam berbeda dengan pemerintahan Gereja. Sejarah Islam dan peradabannya berbeda dengan sejarah dan peradaban Kristen. Menyamakan keduanya dan mencurigai Islam akan berwajah seperti Gereja kalau berkuasa dan berdaulat adalah kesimpulan yang salah kaprah.
_____

Ditulis oleh Yahya Ibrahim, Lc.

Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

🧭 Pertarungan Penentu Abad Ini: Jika Iran atau Israel Kalah, Apa Nasib Palestina?

Apakah Perang Iran-Israel Nyata atau Pura-pura? Membedah Perang Proksi dan Perebutan Pengaruh di Timur Tengah

Konflik Timur Tengah: Melampaui Tabir Sektarianisme dan Membaca Geopolitik Sesungguhnya

Tulisan Baru