Spirit Ekonomi dalam Bahasa Al-Qur'an
Menarik ketika kita bertadabbur Al-Qur’an, tampak bahwa perdagangan menempati posisi penting dalam kehidupan manusia. Manusia, pada hakikatnya, sedang berdagang dengan Allah—menukar amal dengan ganjaran, menimbang niat dan perbuatan di “pasar” dunia untuk memperoleh keuntungan di akhirat. Ada yang beruntung karena dagangannya diterima, dan ada pula yang merugi karena menukar kebenaran dengan kesia-siaan. Nabi ﷺ bahkan menyebut bahwa salah satu penghasilan terbaik adalah bay‘ mabrūr—perniagaan yang jujur dan diberkahi.
Kenyataan bahwa Al-Qur’an pertama kali diamanatkan kepada masyarakat yang hidup dari perdagangan tampak jelas dalam bahasa dan gagasan kitab suci itu sendiri. Mekah, kota kelahiran Islam, adalah simpul ekonomi antara Syam dan Yaman, dan bangsa Quraisy dikenal sebagai pengelola kafilah besar yang membawa barang dagangan lintas negeri. Dalam Surah Quraisy (106:2), Allah mengingatkan nikmat perjalanan musim dingin dan musim panas—simbol kemakmuran dan dinamika sosial bangsa pedagang itu.
C.C. Torrey, seorang sarjana Amerika dalam karyanya The Commercial-Theological Terms in the Koran (Leiden, 1892), menunjukkan bahwa istilah-istilah perdagangan dalam Al-Qur’an bukanlah kiasan kebetulan, melainkan perangkat konseptual yang digunakan Allah untuk menyampaikan inti ajaran-Nya. Dengan kata lain, Allah berbicara kepada manusia dalam bahasa yang mereka pahami—bahasa laba dan rugi, catatan transaksi, timbangan, pinjaman, dan upah—agar manusia menyadari nilai moral setiap perbuatannya.
Dalam Al-Qur’an, seluruh amal manusia dianggap sebagai transaksi yang dicatat dan akan diaudit di hadapan Tuhan. Setiap orang akan menerima kitābahu, laporan amalnya, “dengan tangan kanan” atau “dengan tangan kiri” (QS. 69:19, 25; 84:7, 10). Setelah laporan itu diterima, manusia akan dihadapkan pada hisāb, perhitungan yang cermat atas seluruh tindakannya (QS. 69:20, 26; 84:8). Proses ini digambarkan sebagai momen pertanggungjawaban total, sebagaimana pedagang yang harus menghitung untung-rugi setiap transaksi.
Kemudian, Allah menegakkan mīzān, timbangan keadilan yang tidak akan meleset sedikit pun (QS. 21:47). Dalam Surah al-Qāri‘ah, manusia digambarkan ditimbang amalnya: “Barang siapa berat timbangan (amal baik)nya, maka dia dalam kehidupan yang diridhai; dan barang siapa ringan timbangannya, tempat kembalinya adalah jurang yang dalam” (QS. 101:6–8).
Hubungan antara manusia dan Tuhan dalam kerangka ini juga bersifat perjanjian moral. “Dan setiap orang bertanggung jawab atas apa yang telah dikerjakannya” (QS. 74:38); sedangkan janji dan kesetiaan kepada Allah diikat dalam ‘ahd yang mengikat hamba-hamba-Nya (QS. 52:21). Dalam transaksi teologis ini, manusia tidak dibiarkan tanpa imbalan. Setiap amal baik diberi ajr (upah) yang adil (QS. 57:19, 27; 84:25; 95:6). Upah itu tidak sekadar materi atau kenikmatan surga, melainkan ridha Ilahi sebagai keuntungan tertinggi.
Lebih jauh, Al-Qur’an memperkenalkan konsep spiritual yang sangat menarik: qardan ḥasanan—“pinjaman yang baik kepada Allah.” Allah berfirman, “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakannya untuknya” (QS. 2:245; juga 5:12; 57:11,17; 64:17; 73:20). Dalam metafora ini, amal saleh digambarkan sebagai investasi yang tidak akan rugi, karena peminjamnya adalah Tuhan sendiri—Zat yang Maha Kaya dan Maha Menepati janji.
Dengan demikian, konsep-konsep seperti kitāb, hisāb, mīzān, ‘ahd, ajr, dan qard bukan sekadar istilah keagamaan, tetapi struktur logika moral yang diambil dari dunia perdagangan, untuk menanamkan nilai tanggung jawab dan keadilan. Bahasa ini mendidik manusia agar sadar bahwa setiap tindakan—sekecil apa pun—adalah transaksi eksistensial yang akan ditagih kelak.
Maka, berdagang dengan Allah bukan hanya kiasan spiritual. Ia adalah cara hidup: cara memaknai dunia sebagai ruang transaksi moral, tempat manusia menanam amal sebagai modal, dan memetik keberkahan sebagai laba. Siapa yang berdagang dengan jujur di dunia, ia akan beruntung di hadapan Tuhan. Siapa yang menipu dalam transaksi kehidupannya, maka ia akan merugi dalam hisab akhirat. Di sinilah letak keindahan Al-Qur’an—mengajarkan tauhid melalui bahasa pasar, dan menanamkan kesadaran akhirat melalui etika ekonomi.
Namun ketika kita menatap keadaan umat Islam hari ini, tampak betapa jauh jarak antara spirit perdagangan Al-Qur’an dan realitas sosial kita. Umat yang dahulu membangun peradaban melalui kejujuran, keberanian, dan semangat berniaga kini banyak yang terjebak dalam pola pikir ketergantungan. Orientasi pendidikan Islam lebih diarahkan untuk mencetak pegawai dan pekerja, bukan pelaku dan pemilik usaha. Kita berbangga dengan gelar, tetapi lupa pada nilai produktivitas dan kemandirian yang diajarkan oleh Nabi ﷺ dan para sahabat—mereka yang berdagang bukan hanya untuk mencari nafkah, tetapi untuk menegakkan marwah dan kekuatan umat.
Ironisnya, bangsa-bangsa lain telah menguasai “pasar dunia,” baik dalam makna ekonomi, teknologi, maupun ide. Mereka mengendalikan arus perdagangan, menentukan harga, dan menulis aturan. Sementara umat Islam, yang dahulu diajar oleh wahyu untuk menjadi pelaku aktif dalam “perniagaan dengan Allah,” kini justru menjadi konsumen di pasar global, bekerja dalam sistem ekonomi yang mereka tidak kuasai. Kita menjadi pengguna dari hasil kreativitas orang lain, dan pembeli dari produk-produk yang dibuat atas dasar logika kapital yang sering kali bertentangan dengan nilai Qur’ani.
Padahal, Al-Qur’an tidak pernah mendorong umatnya untuk pasif. Wahyu pertama, “Iqra’!”, adalah panggilan untuk bertindak, berpikir, mencipta, dan mengelola dunia. Prinsip-prinsip tijarah dalam Al-Qur’an—kejujuran, keseimbangan, tanggung jawab, dan kerja keras—seharusnya menjadi dasar bagi kebangkitan ekonomi Islam modern. Setiap Muslim seharusnya memandang pekerjaannya bukan semata mencari gaji, tetapi sebagai bentuk partisipasi dalam perniagaan besar antara manusia dan Allah.
Kemandirian ekonomi adalah bagian dari ibadah sosial. Ia memastikan umat tidak menjadi lemah di hadapan kekuatan lain, sebagaimana sabda Nabi ﷺ, “Tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah.” Umat yang hanya berharap upah dari sistem orang lain pada akhirnya akan kehilangan kemerdekaan berpikir dan bertindak. Tetapi umat yang berdagang—dalam arti luas: mencipta, memproduksi, berinovasi, dan memberi nilai tambah—adalah umat yang meneladani ruh tijarah ma‘a Allah, perdagangan yang tak akan rugi.
Sudah saatnya pendidikan Islam diarahkan untuk melahirkan generasi pelaku—mereka yang tidak sekadar mencari pekerjaan, tetapi menciptakan pekerjaan; tidak hanya memohon rezeki, tetapi mengelolanya dengan etika Qur’ani. Sebab sesungguhnya, di antara tanda umat yang beruntung adalah mereka yang mampu menimbang amal dan usahanya dengan mīzān keadilan, mencatatnya dengan kesadaran kitāb Ilahi, dan menyerahkan hasilnya sebagai qard hasan di jalan Tuhan. Itulah perdagangan sejati—antara iman dan amal, antara bumi dan langit.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...