Prinsip Utama Seorang Muslim
Pondasi Keislaman
Aqidah merupakan bahan dasar pokok dalam membentuk seorang muslim. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memulai dakwahnya dengan menanamkan dasar-dasar aqidah kepada para sahabatnya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa memupuknya hingga tertancap kuat di hati para sahabat-sahabatnya. Aqidahlah yang menjadi sorotan pertama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam membangun umatnya. Sebab dengan aqidah yang kuat maka terbentuklah pribadi yang taat dengan segala yang dating dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Lalu terbentuklah keluarga yang shaleh yang mampu memberi kebaikan kepada sekitarnya. Lalu terbentuklah masyarakat beraqidah kuat. Terbentuklah masyarakat yang menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan laranganNya, dalam arti syari'at Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai pedoman hidup dan petunjuk kepada kebenaran sekaligus kedamaian sejati.
Aqidah merupakan pembeda utama pribadi seorang mukmin dengan kafir. Bagi seorang mukmin aqidah merupakan pendorong sekaligus batas dalam setiap amal perbuatanya. Keluarga yang beraqidah akan hidup rukun saling mencintai karena Allah. Masyarakat yang beraqidah tidak akan mudah dipecahbelah. Mereka saling mencintai karena merasa pribadi lainnya adalah saudara seiman bagi mereka. Imanlah yang menjadi pemersatu mereka. Bukan kesamaan daerah, kesamaan warna, kesamaan bahasa, bahkan bukan kesamaan darah. Tapi mereka disatukan karena Islam, membentuk masyarakat Islam, menghasilkan peradaban Islam, sehingga terwujudlah Islam Rahmatan Lil"alamin dalam arti yang sesungguhnya.
Dengan begitu dapat kita pahami bahwa Aqidah merupakan pondasi dari keislaman seseorang. Dapat kita simak dari Hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits Arba'in hadits ke-dua.
Dari Umar Radiyallahu ‘anhu , beliau berkata: “Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berambut hitam legam, tidak ada pada-nya tanda-tanda selepas bepergian dan tidak ada seorangpun di antara kami yang menge-nalinya. Dia datang dan duduk menghadap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian merapatkan lututnya kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam seraya berkata: “Wahai Muhammad terangkan kepadaku apa itu Islam?”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menja-wab:
اْلاِسلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إَلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتُحِجُّ الْبَيْتِ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.
Islam itu ialah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi ke-cuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, ber-puasa di bulan Ramadahan, dan menjalani ibadah haji di Baitullah (al-Haram) jika engkau mampu mengadakan perjalanan kepadanya”.
Pemahaman Tauhid
Kalimat yang pertama kali harus kita perhatikan adalah dua syahadat yang dengannya seorang kafir menjadi muslim. Dengan demikian kalimat itu adalah kalimat yang sangat besar dan harus dipahami dengan benar.
Kalimat لاإله إلا الله adalah sebenar-benar ucapan dan sebaik-baik dzikir. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan kali-mat tersebut. Kalimat ini mengandung per-nyataan bahwa tidak ada yang berhak dii-badahi kecuali hanya Allah saja. Konsekwen-sinya adalah orang yang mengikrarkan kalimat tersebut harus bertekad untuk tidak beribadah kepada siapapun kecuali kepada Allah. Tidak beribadah dalam bentuk apapun semisal berdo’a, tawakal, sujud dan ruku’, dan berkurban kecuali kepada Allah, untuk Allah dan dengan cara yang Allah kehendaki.
Dalam kalimat tersebut terkandung dua perkara, yaitu peniadaan (nafi’) dan pene-tapan (itsbat). Peniadaan atas segala macam sesembahan yang diibadahi dan penetapan ibadah hanya untuk Allah. Tidak bisa salah satunya dikatakan tauhid kecuali harus ber-sama yang lainnya. Artinya, peniadaan tanpa penetapan adalah atheisme sedangkan penetapan tanpa peniadaan adalah paga-nisme dan kesyirikan.
Inilah yang diistilahkan dengan tauhid uluhiyah atau tauhid ubudiyah dan inilah makna yang terkandung dalam kalimat tauhid
لاإله إلا الله .
Seseorang yang telah mengikrarkan tauhid uluhiyah dengan keyakinan dan amalan dengan sendirinya mereka harus beriman bahwa Allah adalah yang menciptakan dan mengatur seluruh alam beserta isinya atau yang kita pahami sebagai tauhid rububiyah. Juga meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama yang mulia serta sifat-sifat yang tinggi yang dikenal dengan Tauhid Asma’ wa sifat. Keyakinan ini didasari berita yang datangnya dari al Qur-an dan lisan Rasul-Nya dalam ha-dits-hadits yang shahih. Beriman kepadanya merupakan ibadah kepada Allah yang terkandung dalam kalimat لاإله إلا الله.
Akan tetapi, seorang yang percaya bah-wa Allah adalah penguasa dan penciptanya belum tentu mereka beribadahnya hanya kepada Allah semata.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ (الزخرف: 9)
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik): “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 9)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنىَّ يُؤْفَكُوْنَ. (الزخرف: 87)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan me-reka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipa-lingkan (dari menyembah Allah)?. (az-Zukhruf: 87)
Sesungguhnya dalam tauhid rububiyah -pun terkandung konsekwensi tauhid uluhiyah juga. Artinya orang yang mengerti bahwa Allah adalah penguasa, pencipta dan pemilik alam semesta, maka sudah seharusnya ia beribadah hanya kepada Allah, meminta dan berdoa hanya kepada-Nya.
Oleh karena itulah kalimat لاإله إلا الله lebih luas dan lebih lengkap kandungan maknanya daripada kalimat لا خالق إلا الله (“Tidak ada pen-cipta kecuali Allah” ) atau kalimat لا مالك إلا الله (“Tidak ada penguasa kecuali Allah”). Belum dapat dikatakan masuk Islam seorang kafir musyrik yang mengatakan: “Saya percaya bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah”, sampai ia mengikrarkan bahwa “tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah” dengan yakin dan kemudian dibuk-tikan dengan amalannya.
Dengan demikian tiga macam tauhid tersebut yakni uluhiyah, rububiyah dan asma wa sifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan semuanya terkandung dalam kalimat syahadat لاإله إلا الله yang merupakan ma’rifatullah atau pengenalan seorang ham-ba terhadap Allah:
1. Mengenal hak-hak-Nya; yaitu hak untuk diibadahi, ditaati, dicintai dengan setinggi-tingginya cinta, berharap kepada-Nya, bergantung kepada-Nya, takut kepada-Nya dan sebagainya.
2. Mengenal rububiyah-Nya yaitu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan bu-mi serta seluruh alam semesta. Dialah yang memilikinya, yang mengaturnya dan yang berhak menakdirkan segala sesuatu yang terjadi dengan hikmah dan keadilan-Nya.
3. Mengenal nama-nama, sifat-sifat dan per-buatan-Nya yakni menetapkan dengan keimanan dan keyakinan seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Allah ke-nalkan diri-Nya dalam al-Qur’an dan yang dikenalkan oleh Rasulullah dalam riwayat-riwayat yang shahih.
Wahai temanku!
Hal inilah yang perlu tertancap kuat dalam hati setiap muslim. Bahwa aqidah adalah diatas segalanya. Aqidah diatas segala hawa nafsu, aqidah diatas kepentingan pribadi, aqidah diatas kepentingan kelompok atau golongan, bahkan aqidah berada di atas raja dan penguasa.
Barulah setelah itu terbentuk peradaban Islam yang yang berpondasi kuat. Peradaban yang sepenuhnya menyerahkan urusannya kepada Allah. Beriman dengan segala yang datang dari Allah berupa aqidah, syari'ah, akhlaq, sistem politik, tata negara, ekonomi, dan sebagainya.
Rujukan:
Syarah Arbain Nawawi oleh Syekh Shaleh Abdul Aziz. Darul Iman. Iskandariah
Aqidah merupakan bahan dasar pokok dalam membentuk seorang muslim. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam memulai dakwahnya dengan menanamkan dasar-dasar aqidah kepada para sahabatnya. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam senantiasa memupuknya hingga tertancap kuat di hati para sahabat-sahabatnya. Aqidahlah yang menjadi sorotan pertama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam membangun umatnya. Sebab dengan aqidah yang kuat maka terbentuklah pribadi yang taat dengan segala yang dating dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Lalu terbentuklah keluarga yang shaleh yang mampu memberi kebaikan kepada sekitarnya. Lalu terbentuklah masyarakat beraqidah kuat. Terbentuklah masyarakat yang menjalankan segala perintah Allah dan meninggalkan laranganNya, dalam arti syari'at Islam yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai pedoman hidup dan petunjuk kepada kebenaran sekaligus kedamaian sejati.
Aqidah merupakan pembeda utama pribadi seorang mukmin dengan kafir. Bagi seorang mukmin aqidah merupakan pendorong sekaligus batas dalam setiap amal perbuatanya. Keluarga yang beraqidah akan hidup rukun saling mencintai karena Allah. Masyarakat yang beraqidah tidak akan mudah dipecahbelah. Mereka saling mencintai karena merasa pribadi lainnya adalah saudara seiman bagi mereka. Imanlah yang menjadi pemersatu mereka. Bukan kesamaan daerah, kesamaan warna, kesamaan bahasa, bahkan bukan kesamaan darah. Tapi mereka disatukan karena Islam, membentuk masyarakat Islam, menghasilkan peradaban Islam, sehingga terwujudlah Islam Rahmatan Lil"alamin dalam arti yang sesungguhnya.
Dengan begitu dapat kita pahami bahwa Aqidah merupakan pondasi dari keislaman seseorang. Dapat kita simak dari Hadits Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits Arba'in hadits ke-dua.
Dari Umar Radiyallahu ‘anhu , beliau berkata: “Tatkala kami sedang duduk bersama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam pada suatu hari, tiba-tiba muncul di hadapan kami seorang lelaki yang berpakaian sangat putih, berambut hitam legam, tidak ada pada-nya tanda-tanda selepas bepergian dan tidak ada seorangpun di antara kami yang menge-nalinya. Dia datang dan duduk menghadap Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam kemudian merapatkan lututnya kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam seraya berkata: “Wahai Muhammad terangkan kepadaku apa itu Islam?”. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menja-wab:
اْلاِسلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَ إِلَهَ إَلاَّ الله وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَتُقِيْمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ، وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ، وَتُحِجُّ الْبَيْتِ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً.
Islam itu ialah engkau bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi ke-cuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah rasul (utusan) Allah dan engkau menegakkan shalat, menunaikan zakat, ber-puasa di bulan Ramadahan, dan menjalani ibadah haji di Baitullah (al-Haram) jika engkau mampu mengadakan perjalanan kepadanya”.
Pemahaman Tauhid
Kalimat yang pertama kali harus kita perhatikan adalah dua syahadat yang dengannya seorang kafir menjadi muslim. Dengan demikian kalimat itu adalah kalimat yang sangat besar dan harus dipahami dengan benar.
Kalimat لاإله إلا الله adalah sebenar-benar ucapan dan sebaik-baik dzikir. Tidak ada satu makhluk pun yang tidak membutuhkan kali-mat tersebut. Kalimat ini mengandung per-nyataan bahwa tidak ada yang berhak dii-badahi kecuali hanya Allah saja. Konsekwen-sinya adalah orang yang mengikrarkan kalimat tersebut harus bertekad untuk tidak beribadah kepada siapapun kecuali kepada Allah. Tidak beribadah dalam bentuk apapun semisal berdo’a, tawakal, sujud dan ruku’, dan berkurban kecuali kepada Allah, untuk Allah dan dengan cara yang Allah kehendaki.
Dalam kalimat tersebut terkandung dua perkara, yaitu peniadaan (nafi’) dan pene-tapan (itsbat). Peniadaan atas segala macam sesembahan yang diibadahi dan penetapan ibadah hanya untuk Allah. Tidak bisa salah satunya dikatakan tauhid kecuali harus ber-sama yang lainnya. Artinya, peniadaan tanpa penetapan adalah atheisme sedangkan penetapan tanpa peniadaan adalah paga-nisme dan kesyirikan.
Inilah yang diistilahkan dengan tauhid uluhiyah atau tauhid ubudiyah dan inilah makna yang terkandung dalam kalimat tauhid
لاإله إلا الله .
Seseorang yang telah mengikrarkan tauhid uluhiyah dengan keyakinan dan amalan dengan sendirinya mereka harus beriman bahwa Allah adalah yang menciptakan dan mengatur seluruh alam beserta isinya atau yang kita pahami sebagai tauhid rububiyah. Juga meyakini bahwa Allah memiliki nama-nama yang mulia serta sifat-sifat yang tinggi yang dikenal dengan Tauhid Asma’ wa sifat. Keyakinan ini didasari berita yang datangnya dari al Qur-an dan lisan Rasul-Nya dalam ha-dits-hadits yang shahih. Beriman kepadanya merupakan ibadah kepada Allah yang terkandung dalam kalimat لاإله إلا الله.
Akan tetapi, seorang yang percaya bah-wa Allah adalah penguasa dan penciptanya belum tentu mereka beribadahnya hanya kepada Allah semata.
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُوْلُنَّ خَلَقَهُنَّ الْعَزِيْزُ الْعَلِيْمُ (الزخرف: 9)
Dan sungguh jika kamu tanyakan kepada mereka (orang-orang musyrik): “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?”, niscaya mereka akan menjawab: “Semuanya diciptakan oleh Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui.” (az-Zukhruf: 9)
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُوْلُنَّ اللهُ فَأَنىَّ يُؤْفَكُوْنَ. (الزخرف: 87)
Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: “Siapakah yang menciptakan me-reka, niscaya mereka menjawab: “Allah”, maka bagaimanakah mereka dapat dipa-lingkan (dari menyembah Allah)?. (az-Zukhruf: 87)
Sesungguhnya dalam tauhid rububiyah -pun terkandung konsekwensi tauhid uluhiyah juga. Artinya orang yang mengerti bahwa Allah adalah penguasa, pencipta dan pemilik alam semesta, maka sudah seharusnya ia beribadah hanya kepada Allah, meminta dan berdoa hanya kepada-Nya.
Oleh karena itulah kalimat لاإله إلا الله lebih luas dan lebih lengkap kandungan maknanya daripada kalimat لا خالق إلا الله (“Tidak ada pen-cipta kecuali Allah” ) atau kalimat لا مالك إلا الله (“Tidak ada penguasa kecuali Allah”). Belum dapat dikatakan masuk Islam seorang kafir musyrik yang mengatakan: “Saya percaya bahwa yang menciptakan langit dan bumi adalah Allah”, sampai ia mengikrarkan bahwa “tiada yang berhak diibadahi kecuali Allah” dengan yakin dan kemudian dibuk-tikan dengan amalannya.
Dengan demikian tiga macam tauhid tersebut yakni uluhiyah, rububiyah dan asma wa sifat adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dan semuanya terkandung dalam kalimat syahadat لاإله إلا الله yang merupakan ma’rifatullah atau pengenalan seorang ham-ba terhadap Allah:
1. Mengenal hak-hak-Nya; yaitu hak untuk diibadahi, ditaati, dicintai dengan setinggi-tingginya cinta, berharap kepada-Nya, bergantung kepada-Nya, takut kepada-Nya dan sebagainya.
2. Mengenal rububiyah-Nya yaitu bahwa Allah-lah yang menciptakan langit dan bu-mi serta seluruh alam semesta. Dialah yang memilikinya, yang mengaturnya dan yang berhak menakdirkan segala sesuatu yang terjadi dengan hikmah dan keadilan-Nya.
3. Mengenal nama-nama, sifat-sifat dan per-buatan-Nya yakni menetapkan dengan keimanan dan keyakinan seluruh nama-nama dan sifat-sifat Allah yang Allah ke-nalkan diri-Nya dalam al-Qur’an dan yang dikenalkan oleh Rasulullah dalam riwayat-riwayat yang shahih.
Wahai temanku!
Hal inilah yang perlu tertancap kuat dalam hati setiap muslim. Bahwa aqidah adalah diatas segalanya. Aqidah diatas segala hawa nafsu, aqidah diatas kepentingan pribadi, aqidah diatas kepentingan kelompok atau golongan, bahkan aqidah berada di atas raja dan penguasa.
Barulah setelah itu terbentuk peradaban Islam yang yang berpondasi kuat. Peradaban yang sepenuhnya menyerahkan urusannya kepada Allah. Beriman dengan segala yang datang dari Allah berupa aqidah, syari'ah, akhlaq, sistem politik, tata negara, ekonomi, dan sebagainya.
Rujukan:
Syarah Arbain Nawawi oleh Syekh Shaleh Abdul Aziz. Darul Iman. Iskandariah
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...