Kebugaran Ulama di Era Digital: Muruah, Adat, dan Pergeseran Perspektif
Di tengah keriuhan media sosial, citra seorang ulama tak lagi hanya terbatas pada mimbar atau layar kaca. Kini, dengan mudahnya akses informasi, setiap gerak-gerik, termasuk penampilan fisik, menjadi sorotan publik. Fenomena ini memunculkan perdebatan menarik seputar muruah (kehormatan diri), kebugaran jasmani, dan bagaimana adat istiadat acapkali bersitegang dengan syariat Islam dalam penilaian masyarakat.
Kasus Ustadz Riza Muhammad yang kerap menjadi perbincangan karena menampilkan fisiknya yang bugar, dan kini semakin diperkuat dengan unggahan serta foto terbaru Ustadz Salim A. Fillah yang menunjukkan komitmennya pada olahraga, menjadi panggung sempurna untuk menelaah kompleksitas ini.
Kebugaran: Amanah dan Kekuatan untuk Berkhidmah
Islam, sebagai agama yang sempurna, secara fundamental mendorong umatnya untuk menjaga kesehatan dan kekuatan fisik. Sabda Nabi Muhammad SAW, "Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada mukmin yang lemah," (HR. Muslim) mengisyaratkan bahwa kekuatan — spiritual, akal, dan fisik — adalah bagian dari kesempurnaan seorang Muslim. Tubuh yang sehat adalah amanah Ilahi, modal utama untuk beribadah dengan khusyuk, berdakwah dengan energik, dan beraktivitas secara produktif.
Sosok ulama yang bugar, seperti yang ditunjukkan dalam foto Ustadz Salim A. Fillah di gym dengan otot lengan yang terbentuk, bukan sekadar gaya hidup semata. Ini adalah cerminan dari komitmen untuk menjaga stamina demi "daya tahan berkhidmah dalam ketaatan", sebagaimana yang diungkapkan Ustadz Salim A. Fillah. Kepadatan jadwal dakwah, berinteraksi dengan ribuan jamaah, dan perjalanan panjang tentu menuntut fisik yang prima. Dari perspektif ini, kebugaran adalah bentuk syukur dan investasi untuk bisa menjalankan tugas keagamaan dengan optimal, sekaligus mengikis stigma lama yang mungkin mengasosiasikan kesalehan dengan kelemahan fisik.
Muruah: Harmoni antara Batin dan Lahiriah
Namun, perdebatan muncul ketika aspek muruah dihadapkan dengan ekspresi kebugaran fisik ini. Apakah menampakkan otot, misalnya, mengurangi muruah seorang ulama?
Muruah, dalam Islam, adalah lebih dari sekadar menutup aurat. Ia adalah keseluruhan adab, kesopanan, dan kerendahan hati yang mencerminkan integritas seorang Muslim. Meskipun aurat telah tertutup (misalnya, kaus tanpa lengan bagi pria masih dalam batas aurat dari pusar hingga lutut), muruah juga menuntut perhatian pada:
- Adab Berpakaian: Tidak terlalu ketat, transparan, atau menarik perhatian berlebihan, meskipun aurat tertutup.
- Niat: Apakah tampilan fisik itu diniatkan untuk pamer (riya') atau justru untuk memotivasi dan bersyukur atas nikmat sehat. Niat adalah wilayah hati yang hanya Allah yang tahu.
- Konteks: Apa yang pantas di lingkungan gym atau arena olahraga, mungkin dipersepsikan berbeda di mimbar dakwah atau acara formal keagamaan.
Bagi ulama, standar muruah seringkali diharapkan lebih tinggi, mengingat peran mereka sebagai panutan. Inilah yang menjadi akar kritik sebagian netizen, yang mungkin memandang bahwa penampilan fisik yang terlalu menonjolkan diri dianggap kurang sesuai dengan murua'ah seorang pewaris Nabi.
Konflik Adat dan Syariat di Tengah Arus Informasi
Di sinilah kita melihat konflik antara adat (urf) dan syariat. Dalam hukum muamalah, urf memang diakui sebagai pertimbangan. Namun, ketika urf dijadikan standar mutlak untuk menilai perilaku individu, ia bisa menjadi pedang bermata dua di era informasi yang serba terbuka ini.
- Keberagaman Norma: Apa yang dianggap "pantas" di satu daerah bisa jadi sangat berbeda di daerah lain. Citra "ustad" yang ideal dalam urf tertentu bisa berbeda di urf lainnya.
- Akses Informasi Global: Di zaman ini, kita terekspos pada berbagai budaya dan interpretasi. Mengandalkan urf lokal yang sempit untuk menghakimi bisa berujung pada ketidakadilan dan salah paham.
- Mengaburkan Esensi Agama: Terlalu terpaku pada urf yang superfisial berisiko mengalihkan perhatian dari esensi ajaran Islam yang universal: ketaatan pada syariat, niat yang tulus, dan akhlak mulia.
Kasus kedua ulama ini, Ustadz Riza Muhammad dan Ustadz Salim A. Fillah, menjadi bukti nyata bagaimana persepsi publik cenderung didominasi oleh kacamata adat, bukan semata-mata syariat yang lebih universal. Keduanya, dengan cara dan niat masing-masing, menunjukkan komitmen terhadap kebugaran. Namun, reaksi publik bisa sangat bervariasi tergantung pada urf dan ekspektasi yang mereka miliki terhadap seorang ulama.
Menuju Kematangan dalam Beragama: Refleksi Muruah di Era Modern
Penting bagi kita, sebagai masyarakat Muslim, untuk senantiasa meninjau kembali cara kita menilai.
- Prioritaskan Syariat: Jadikan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagai standar utama dalam menilai setiap perilaku, di atas segala urf yang mungkin bias atau tidak relevan. Kebugaran fisik adalah anjuran syariat; niat pamer adalah tercela.
- Pahami Konteks dan Niat: Berusaha memahami tujuan di balik sebuah tindakan. Unggahan Ustadz Salim A. Fillah yang menegaskan bahwa olahraganya demi "daya tahan berkhidmah dalam ketaatan" adalah contoh niat mulia yang harus kita apresiasi.
- Bijak Bermedia Sosial: Hindari penghakiman yang terburu-buru dan stigmatisasi yang tidak berdasar syariat.
Pada akhirnya, muruah seorang Muslim, termasuk ulama, haruslah menjadi cerminan dari kedalaman iman dan keindahan akhlak yang universal, bukan sekadar kepatuhan buta pada tradisi lokal yang sempit. Era digital menuntut kita untuk menjadi Muslim yang lebih rasional, adaptif, dan mampu membedakan antara yang esensi dan yang sekadar kulit, demi menampilkan citra Islam yang sesungguhnya: dinamis, sehat, berakhlak mulia, dan relevan di setiap zaman.
Komentar
Posting Komentar
Terima Kasih atas masukan dan pendapat anda, semoga bermanfaat...