Krisis Wibawa Sang Pendidik: Ketika "Bukan Donatur Dilarang Ngatur" Bertemu Ruang Kelas


Motto "bukan donatur dilarang ngatur", yang populer di kalangan Generasi Z, awalnya mungkin terdengar sebagai seruan untuk menghargai kontribusi nyata. Namun, ketika nilai ini bersinggungan dengan ranah pendidikan, khususnya hubungan antara siswa, orang tua, dan guru, ia memunculkan ironi dan bahkan tragedi. Fenomena merosotnya penghormatan terhadap guru, yang mencapai puncaknya dalam gelombang kriminalisasi pendidik, menjadi bukti nyata adanya pergeseran nilai dan ekspektasi yang perlu dianalisis secara kritis.

Dahulu, guru adalah figur otoritas yang dihormati, sumber ilmu dan panutan moral. Nasihat mereka diterima sebagai kebenaran, dan disiplin yang mereka terapkan dianggap sebagai bagian tak terpisahkan dari proses mendidik. Namun, lanskap sosial kini berbeda. Era keterbukaan informasi dan individualisme telah membawa serta pandangan yang lebih kritis terhadap otoritas, termasuk guru. Generasi Z, dengan semangat kemandirian dan penolakan terhadap dominasi tanpa kontribusi, secara tidak langsung menguji batas-batas otoritas tradisional di ruang kelas.

Motto "bukan donatur dilarang ngatur" dalam konteks pendidikan seringkali diinterpretasikan secara sempit oleh sebagian siswa dan orang tua. Pembayaran biaya sekolah atau kontribusi finansial lainnya dianggap sebagai "donasi" yang memberikan hak untuk "mengatur" atau setidaknya mengkritisi bahkan menuntut kinerja guru secara berlebihan. Ini memicu ekspektasi transaksional yang mereduksi peran guru dari seorang pendidik dan pembimbing menjadi sekadar penyedia "jasa" yang harus patuh pada "kemauan pelanggan".

Ironisnya, perluasan makna motto ini justru mengikis esensi pendidikan itu sendiri. Proses belajar mengajar yang ideal membutuhkan relasi yang didasari rasa hormat, kepercayaan, dan kolaborasi antara guru dan siswa. Ketika relasi ini tercemar oleh mentalitas "pembeli adalah raja" atau "yang membayar berhak mengatur," maka otoritas guru sebagai pembimbing tergerus. Siswa menjadi kurang terbuka terhadap nasihat dan disiplin, sementara guru menjadi lebih defensif dan takut mengambil tindakan tegas karena risiko kriminalisasi.

Fenomena kriminalisasi guru adalah simptom paling mengkhawatirkan dari krisis ini. Guru yang menjalankan tugas mendidik, bahkan ketika memberikan teguran atau tindakan disipliner yang bertujuan baik, kini berhadapan dengan ancaman tuntutan hukum. Ini menciptakan iklim ketakutan di kalangan pendidik dan secara tidak langsung melumpuhkan kemampuan mereka untuk membentuk karakter siswa. Bagaimana mungkin seorang guru bisa efektif mendidik tentang kedisiplinan dan tanggung jawab jika setiap tindakannya diawasi dengan kecurigaan dan berpotensi berujung ke pengadilan?

Tentu, tidak semua kritik terhadap guru tidak berdasar. Ada kalanya memang terjadi praktik pengajaran yang kurang efektif atau tindakan guru yang melampaui batas. Namun, penyelesaian masalah melalui jalur hukum sebagai opsi pertama, tanpa mengedepankan dialog dan mediasi, menunjukkan adanya erosi rasa saling percaya dan penghormatan terhadap profesi guru secara umum.

Kriminalisasi guru juga mencerminkan adanya pergeseran tanggung jawab. Dahulu, mendidik adalah urusan bersama antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Kini, beban dan tanggung jawab seringkali dilimpahkan sepenuhnya kepada guru, sementara orang tua cenderung mengambil posisi sebagai pengawas yang siap menuntut jika ada ketidaksesuaian dengan ekspektasi mereka.

Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapi fenomena ini? Kembali ke esensi motto "bukan donatur dilarang ngatur," kita perlu merefleksikan kontribusi apa yang sebenarnya diharapkan dari seorang guru. Bukankah kontribusi utama mereka adalah ilmu pengetahuan, pembentukan karakter, dan bimbingan untuk masa depan siswa? Kontribusi ini tidak bisa diukur hanya dengan uang sekolah yang dibayarkan.

Oleh karena itu, perlu adanya upaya bersama untuk mengembalikan wibawa guru. Ini meliputi:

  1. Peningkatan Kesadaran: Mengedukasi siswa dan orang tua tentang pentingnya menghormati guru sebagai profesional dan pendidik.
  2. Penguatan Perlindungan Hukum: Memberikan payung hukum yang jelas dan kuat bagi guru dalam menjalankan tugasnya, sekaligus memberikan panduan yang jelas mengenai batasan tindakan disipliner yang dibenarkan.
  3. Dialog dan Komunikasi: Mendorong terciptanya ruang dialog yang terbuka dan konstruktif antara guru, siswa, dan orang tua untuk menyelesaikan masalah secara musyawarah.
  4. Apresiasi yang Layak: Memberikan apresiasi yang layak kepada guru, baik secara moral maupun material, sebagai bentuk pengakuan atas dedikasi dan kerja keras mereka.

Jika kita terus membiarkan mentalitas "bukan donatur dilarang ngatur" mendikte hubungan di ruang kelas tanpa pemahaman yang mendalam tentang esensi pendidikan, kita berisiko kehilangan generasi penerus yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang kuat dan menghargai ilmu pengetahuan serta para pendidiknya. Krisis wibawa guru adalah krisis masa depan bangsa. Sudah saatnya kita bertindak untuk mengembalikan kehormatan dan keamanan bagi para pahlawan tanpa tanda jasa ini.


Komentar

Komentar via Facebook

Paling Sering Dikunjungi

Kebugaran Ulama di Era Digital: Muruah, Adat, dan Pergeseran Perspektif

Membongkar Narasi Sesat yang Menyasar Perlawanan Palestina

Tulisan Baru